Keluarga Belum Bisa Menjelaskan Mengapa Mereka Tiba-tiba Kritis
Keluarga korban kekerasan saat demonstrasi pelajar dan mahasiswa akhir September lalu masih bertanya-tanya, mengapa anggota keluarganya menjadi korban kekerasan, tiba-tiba mereka dilaporkan kritis, lalu meninggal.
Hingga Selasa (15/10/2019), keluarga Akbar Alamsyah (19) belum tahu bagaimana bisa pemuda pengangguran ini sampai di Rumah Sakit Pelni, Jakarta. Kondisinya parah tidak sadarkan diri. Keluarga baru mendapat kabar dua hari setelah demonstrasi, Jumat, 27 September, tentang kondisi Akbar.
Keluarga kaget. Mereka tidak menyangka Akbar tiba-tiba menderita luka separah itu. Lantaran parah, Akbar dirujuk ke Rumah Sakit Polri dan kemudian menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSDAD), Jakarta.
”Kepalanya besar seperti ada tumor dan terdapat jahitan. Wajahnya lebam, bibirnya jontor, dan ada bekas jahitan. Akbar juga harus cuci darah karena mengalami infeksi saluran kantung kemih,” kata Fitri Rahmayani (25), kakak korban, kepada Kompas.
Baca juga : Faisal Amir dalam Perawatan Intensif
Selama menjalani perawatan di Polri, polisi menetapkan Akbar sebagai tersangka kasus perusakan, penghasutan, dan provokasi selama demonstrasi mahasiswa berlangsung. Adapun surat penetapan Akbar sebagai tersangka diterima keluarga melalui kurir jasa pengiriman. Sejak saat itu, hingga kemudian Akbar mengembuskan napas terakhir pada 10 Oktober 2019, keluarga masih belum paham, sesungguhnya apa yang terjadi padanya.
Kondisi serupa dialami keluarga tukang parkir Maulana Suryadi (23). Menurut keterangan polisi, Maulana ditangkap bersama beberapa orang lain di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Setelah itu, Maulana tidak sadarkan diri dan meninggal. Kematiannya diduga karena sesak napas setelah terpapar gas air mata.
Maspupah, ibu korban, menyangsikan dugaan itu meskipun anaknya memiliki riwayat asma. Sebab, ia mendapati wajah anaknya bengkak dan telinganya mengeluarkan darah ketika melihat Maulana di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat 1 RS Sukanto, Kamis (26/9/2019). Bahkan, telinga dan hidungnya masih mengeluarkan darah hingga dikuburkan.
Tergeletak
Menanggapi keraguan warga, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono menyebutkan, polisi menemukan Akbar Alamsyah tergeletak di trotoar. Kemudian petugas membawanya agar segera mendapat pertolongan medis. ”Akbar dirujuk ke Rumah Sakit Pelni karena keterbatasan peralatan medis,” kata Argo.
Baca juga : Kematian Akbar Alamsyah Menyisakan Tanya
Ia menambahkan, belum ada informasi dari pihak dokter terkait penyebab kematian Akbar. Sebelumnya Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra memastikan bahwa Akbar bukan korban kekerasan aparat kepolisian. ”Dugaannya, yang bersangkutan luka bukan akibat kekerasan,” katanya.
Asep melanjutkan, Akbar ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri di depan pagar Kompleks Parlemen. Saksi yang diperiksa menyebutkan, Akbar terjatuh setelah berupaya melompati pagar guna menghindari bentrokan dengan aparat.
Polisi juga memastikan Maulana tidak mengalami penganiayaan. Argo menyebutkan, keluarga sudah melihat sendiri kondisi jenazah Maulana dan menolak otopsi. Bahkan, keluarga telah menandatangani surat pernyataan bermeterai bahwa penyebab kematiannya karena sesak napas.
Akbar dan Maulana merupakan dua dari empat orang tewas dalam gelombang demonstrasi mahasiswa dan pelajar di sejumlah wilayah di Tanah Air. Selain mereka, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari, Sulawesi Tenggara, Randy dan Yusuf, meregang nyawa karena luka tembak.
Baca juga : Keluarga Faisal Amir: Usut Tuntas Kasus Kekerasan Mahasiswa
Selama demonstrasi, masyarakat melaporkan ke Tim Advokasi untuk Demokrasi bahwa ada 390 orang yang mengadukan sanak saudaranya hilang. Laporan itu merujuk pada peristiwa yang berlangsung 25 September-3 Oktober 2019.
Pengaduan ini terjadi lantaran tertutupnya kepolisian terkait data orang-orang dalam aksi demonstrasi yang ditangkap. Akbar, misalnya, pemuda itu hilang ketika menyaksikan demonstrasi pelajar di Kompleks Parlemen, Rabu (25/9/2019). Dua hari berselang, keluarga baru mendapatkan kabar dari grup percakapan bahwa Akbar ditangkap polisi. Setelah ditelusuri, keluarga menemukannya dalam keadaan koma di RS Sukanto, Kramatjati, Jakarta Timur.
Transparan
Kepolisian diminta menjelaskan secara terbuka terkait korban tewas itu. Polisi juga didesak menghindari tindakan eksesif yang bisa menimbulkan korban dalam penanganan unjuk rasa di masa mendatang.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengatakan, polisi berwenang membubarkan unjuk rasa yang berlangsung anarkistis ataupun telah melewati batas waktu sesuai ketentuan perundang-undangan.
Baca juga : Yusuf dan Randi, Duka Abadi dari Kendari
”Tidak dibenarkan melempari aparat dengan batu, merusak fasilitas, atau memblokade jalan. Tidak salah jika kemudian polisi menindak tegas. Tidak boleh bertindak anarki atas nama HAM. Namun, dalam pengamanan dan penegakan hukum, kepolisian harus berpedoman pada aturan dan prosedur standar operasi,” tutur Poengky.
Dalam Prosedur Tetap Kapolri Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki, terdapat dua ancaman gangguan, yakni ancaman gangguan yang belum menjadi anarki dan gangguan nyata anarki. Unjuk rasa pada September lalu memang berakhir dengan bentrokan. Sebagian massa bertindak anarki dengan melempar ataupun melawan petugas serta merusak dan membakar fasilitas umum.
Sesuai prosedur, dalam situasi tersebut, cara bertindak yang dilakukan polisi ialah pemimpin satuan memerintahkan pelaku untuk menghentikan semua tindakan anarkistis. Apabila pelaku tidak mengindahkan perintah, segera dilakukan tindakan melumpuhkan sesuai ketentuan.
Petugas diperbolehkan meminta bantuan kekuatan atau perkuatan secara berjenjang jika tidak mampu menangani pelaku anarki. Kepala satuan wilayah, kepala satuan fungsi, atau pemimpin satuan lapangan bertanggung jawab terhadap seluruh tindakan anggotanya.
Baca juga : Komnas HAM Akan Klarifikasi Kematian Maulana Suryadi
Berdasarkan prosedur itu, Poengky menekankan pentingnya peran pimpinan dan pengawasan internal dalam mengevaluasi tindakan-tindakan anggota di lapangan. ”Bagi yang dianggap menggunakan kekerasan berlebihan, maka harus diperiksa oleh profesi dan pengamanan,” katanya.
Cermat
Sulit menghindari ekses di lapangan. Dalam waktu seketika, aksi unjuk rasa damai bisa saja berubah menjadi anarki. Polisi pun mudah terprovokasi untuk menghadapi dengan represif.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengatakan, pimpinan unit hingga kompi di lapangan tidak mampu mengontrol tindakan anggotanya sehingga sulit mencegah bentrokan. Antisipasi potensi rusuh pun cenderung berlebihan dan analisis intelijen tidak tajam.
”Yang kemudian terjadi adalah polisi mengejar dan memukul pendemo di dalam masjid. Bahkan jatuhnya korban jiwa akibat tembakan aparat,” ujar Neta.
Padahal, hak asasi manusia dilindungi dalam kerusuhan. Hal itu tercantum dalam Pasal 42-44 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Pasal 42 Ayat 1 secara jelas mengatur bahwa setiap anggota Polri dalam situasi kerusuhan massal wajib melaksanakan tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat secara profesional dengan tetap menghargai dan melindungi HAM terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi pada setiap saat dan dalam keadaan apa pun.
Baca juga : Penanganan Demonstrasi Dinilai Belum Membaik
Sementara Pasal 43 Ayat 2 menyebutkan, setiap anggota Polri dalam rangka mengatasi kerusuhan dilarang melakukan tindakan berlebihan yang dapat mengakibatkan kerusakan tempat kejadian atau lingkungan tanpa alasan yang sah. Hal itu dipertegas lagi dalam Pasal 43 Ayat 3 bahwa setiap anggota Polri dalam melaksanakan penindakan kerusuhan dengan alasan apa pun harus tetap mengupayakan sesedikit mungkin timbulnya korban jiwa atau kerusakan yang tidak perlu.
Bahkan, dalam Pasal 44, setiap anggota Polri dilarang melakukan tindakan kekerasan dengan dalih untuk kepentingan umum atau untuk penertiban kerusuhan dan setiap anggota Polri dilarang keras melakukan tindakan kekerasan terhadap orang yang telah menyerahkan diri atau yang ditangkap.
”Polri harus menganalisis secara cermat pola-pola penanganan massa yang dilakukannya akhir-akhir ini. Tujuannya, agar tidak terjadi bentrokan yang merugikan serta merusak citra,” ucapnya.
Neta melanjutkan, tidak mudah bagi Polri untuk profesional dan menahan diri dalam menghadapi situasi anarkistis. Kondisi semakin sulit lantaran tuntutan agar Polri mampu menjaga keamanan dengan maksimal serta mencegah unjuk rasa tidak berujung kerusuhan.
”Polri dalam dilema, di satu sisi tidak boleh bersikap represif dan di sisi lain harus menjaga keamanan masyarakat. Di situlah sikap profesional Polri diuji. Pimpinan unit hingga kompi di lapangan harus senantiasa cermat dan terukur dalam mengawasi anggotanya dalam mengambil tindakan di lapangan,” kata Neta.