Mereka Menolak Tunduk kepada Pasar
Sebagai produsen, petani kerap tak punya kuasa menentukan harga padinya. Mereka dipaksa tunduk pada pasar. Namun, tidak bagi sekelompok petani di Jawa Barat. Mereka berjuang agar berdaulat atas hasil produksinya.
Sebagai produsen, petani kerap tak punya kuasa menentukan harga padinya. Mereka dipaksa tunduk pada pasar. Namun, tidak bagi sekelompok petani kreatif di Jawa Barat. Mereka ingin berdaulat atas hasil produksinya.
”Sebentar malam, 600 karung beras isi 7 kilogram dikirim ke Sindang (Indramayu). Berasnya yang bagus, premium,” kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Mulus Muhaemin (37) saat menelepon pekerja di pabrik penggilingan beras di Desa Mundak Jaya, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Kamis (10/10/2019).
Beras itu untuk program pemerintah, yakni bantuan pangan nontunai (BPNT). Beras jenis premium berwarna putih, bersih, dan tanpa kutu itu dijual ke agen (e-warong) seharga Rp 10.200 per kilogram (kg). Demi menjamin kualitas beras, Muhaemin mengecek langsung ke pabrik penggilingan mitra kelompok.
Mulai bulan ini, Gapoktan Tani Mulus mengirim 4,2 ton beras ke Sindang untuk BPNT. Sebelum itu, sejak 2017, kelompok ini sudah mengirim 47 ton beras ke Kota Cirebon untuk program serupa dan sekitar 6 ton per bulan ke Bongas, Indramayu.
Selain BPNT, mereka juga mengirim beras premium dengan kemasan cap ”Tani Mulus” ke supermarket Yogya dan Carrefour di Indramayu, Cirebon, bahkan Bandung. Selama ini, kata dia, sebagai penghasil 1,7 juta ton padi, Indramayu nyaris tak punya beras bermerek sendiri. Beras Indramayu kerap dilabeli merek lain.
Kelompok itu tidak hanya menghasilkan beras putih, tetapi juga beras merah dan hitam yang kadar gulanya lebih rendah. Beras putih dijual oleh kelompok itu seharga Rp 11.500 per kg untuk ritel modern. Angka ini jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 7.300 per kg. Sementara beras merah dipatok Rp 16.000 per kg dan beras hitam Rp 18.000 per kg.
Di ritel modern, harga stabil. Sementara di pasaran, harga bisa anjlok atau naik, tergantung dari permintaan dan stok. Untuk menjaga kepercayaan anggota, kuitansi penjualan beras digantung di sudut Sekretariat Gapoktan Tani Mulus yang beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu.
Di ruangan itu tampak catatan panen kelompok hingga foto Muhaemin bersalaman dengan Presiden Joko Widodo saat menerima penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara kategori Pelaku Ketahanan Pangan, 21 Desember 2015.
Aneka piala dan penghargaan lain juga terpajang di dekat kemasan beras premium 1 kg. Penghargaan itu seperti piagam penghargaan dari Gubernur Jawa Barat terkait pembangunan ketahanan pangan tahun 2014 dan piagam penghargaan Bupati Indramayu dalam kategori serupa tahun 2015.
”Permintaan beras bisa mencapai 460 ton per bulan. Namun, kemampuan kami baru 46 ton,” lanjutnya.
Beras itu berasal dari 174 anggota Gapoktan Tani Mulus yang mengelola lahan sekitar 150 hektar. Petani juga mendapatkan pendampingan untuk memproduksi padi berkualitas dari memberikan benih unggul hingga menggunakan pupuk organik.
Melawan pasar
Kelompok tani juga menyerap gabah petani dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan tengkulak dan HPP. Gabah beras premium lalu digiling di pabrik milik H Muhalim (44), mitra gapoktan.
Setahun terakhir, mereka bermitra karena mesin penggilingan beras milik kelompok kurang bagus. Adapun gabah beras merah dan hitam diproses di pabrik kelompok seluas 250 meter persegi, bantuan Kementerian Pertanian.
Dengan membuat beras secara mandiri, petani tidak perlu khawatir harga hasil panennya jatuh. Sebaliknya, saat harga gabah melonjak seperti saat ini, Rp 6.000 per kg GKP, Muhalim tertolong. Beras produksi pabriknya, misalnya, ditawar Rp 9.200 per kg di Pasar Induk Cipinang.
”Untung ada gapoktan. Jadi, kami punya tempat penjualan lain. Kalau mengandalkan pasar induk, harganya enggak sesuai ongkos produksi. Susah lawan pasar,” ujar Muhalim.
Akan tetapi, pasokan gabah ke gapoktan juga terkendala. Muhaemin mengakui, sejumlah anggota telanjur terlilit utang sehingga wajib menjual gabahnya ke tengkulak meski harganya rendah. Itu sebabnya, kelompok sulit memenuhi permintaan pasar ritel.
”Tahun 2010-2015, kami pernah menerapkan sistem resi gudang. Kelompok membeli gabah petani dengan harga di atas HPP dan dibayarkan sekitar 75 persen. Gabah lalu disimpan di gudang. Sisanya, dibayar saat harga gabah tinggi. Namun, upaya itu terhenti karena tidak ada pinjaman perbankan,” ujarnya. Pinjaman yang dimaksud adalah kredit ketahanan pangan dan energi.
Meski belum sempurna, Gapoktan Tani Mulus sudah berupaya menyelesaikan problem klasik petani: harga jatuh saat panen. ”Pernah, harga 1 kuintal gabah sama dengan pupuk kimia 3 kuintal. Sekarang, kami tidak khawatir lagi itu terjadi karena ada gapoktan. Panen awal tahun ini saja, gabah saya dibeli Rp 4.100 per kg GKP. Padahal, di tengkulak jatuh, Rp 3.800 per kg,” ungkap Rawinda (38), petani.
Ketika harga gabah melonjak, mencapai Rp 5.800 per kg seperti saat ini, gapoktan menawar gabah kering giling petani hingga Rp 6.000 per kg. Ia pun telah menjual 3 ton gabah hasil panennya ke gapoktan dan meraup Rp 18 juta. Jumlah ini hampir menutupi modal produksinya sebesar Rp 24 juta untuk menggarap lahan 1,4 hektar. Padahal, ia masih punya 9 ton gabah.
Kehadiran Gapoktan Tani Mulus turut meningkatkan produksinya. Ia mengaku memanen hingga 7 ton gabah dari lahan 7.000 meter persegi. ”Padahal, beberapa tahun lalu, hanya 5 ton. Ini karena penggunaan pupuk organik,” katanya.
Residu yang rendah pada beras Tani Mulus menjadi salah satu alasan bisa diterima di pasar ritel. Berdasarkan hasil uji laboratorium di beras Tani Mulus yang dilakukan PT Saraswanti Indo Genetech pada 2016, tidak terdeteksi residu melebihi ambang batas, seperti flutolanil, diquat, dan chlordane.
Beras Tani Mulus juga telah terdaftar sebagai pangan segar asal tumbuhan dari Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Jawa Barat pada 2016 hingga 2021. Pengujian dilakukan setiap tahun.
”Kami juga tengah menjajaki ekspor beras premium dengan perusahaan di Swiss. Sudah ada nota kesepahaman. Universitas Padjadjaran turut membantu. Namun, kami masih menunggu perkembangannya,” ucap Muhaemin.
Beras organik
Upaya menolak tunduk pada pasar juga dilakukan petani organik di Desa Pringkasap, Pabuaran, Kabupaten Subang, yang tergabung dalam Paguyuban Bumi Mandiri. Paguyuban beranggota 58 petani ini mampu membuat produk beras tanpa pestisida bermerek ”Pringkasap”. Gabah petani dibeli oleh paguyuban dengan harga Rp 10.000 per kg. Jauh di atas HPP yang Rp 4.600 untuk GKG.
”Harga pupuk dan pestisida naik setiap musim, tetapi harga beras ditentukan tengkulak. Akhirnya, petani merugi. Ini tidak boleh berulang,” ujar Dedi Mulyadi, penggagas beras organik setempat.
Produk petani pun dijual ke Jakarta dan Bandung via daring seharga Rp 20.000 per kg untuk beras putih, Rp 25.000 per kg untuk beras merah, dan beras hitam Rp 35.000 per kg.
Dengan beras organik, petani tidak hanya mendapatkan harga layak, tetapi juga mengeluarkan ongkos produksi yang lebih kecil. Ia mencontohkan, menanam padi secara konvensional menghabiskan Rp 10 juta per hektar, tetapi hasilnya 6-7 ton GKG.
Akan tetapi, dia hanya mengeluarkan ongkos Rp 5 juta per hektar dengan cara organik dan panen bisa mencapai 6 ton GKG. Ongkos produksi bisa ditekan karena pupuk didapatkan dari kotoran ternak warga, tanpa membeli di kios. Beras organik juga punya prospek bagus ke depannya.
”Setiap bulan, permintaan beras organik mencapai 10 ton. Tetapi, kami baru mampu memenuhi 2 ton karena keterbatasan modal untuk membeli gabah petani,” ungkapnya.
Gapoktan Tani Mulus dan Paguyuban Bumi Mandiri menjadi contoh kecil upaya petani menolak tunduk pada pasar yang merugikan mereka. Bahkan, mereka mampu menciptakan pasarnya sendiri lewat penataan distribusi dan inovasi. Kalau petani saja bisa, seharusnya pemerintah pun mampu. (MELATI MEWANGI/ABDULLAH FIKRI ASHRI)