Peristiwa-peristiwa Berjejalan
Keyakinan akan kebenaran yang diproduksi di laman-laman media sosial telah mengalahkan kebenaran obyektif yang ditegakkan dengan susah payah. Kemana kita akan bergerak?
Seperti tergesa-gesa Naura berbicara dengan seseorang lewat telepon seluler. Pada saat bersamaan, ia mendatangi rumah Pak Amat dan Bu Amat, yang kebetulan memerlukan seorang pembokat.
Ketika mereka bertemu, terjadilah loncatan-loncatan peristiwa. Lontaran-lontaran omongan Naura dengan seseorang di telepon, disambar ”jawaban-jawaban” Pak Amat dan Bu Amat yang sesungguhnya sedang bercakap-cakap untuk topik berbeda.
Meski mereka bertemu secara fisik dan mencoba berbicara tentang keinginan Naura bekerja sebagai pembokat di rumah Pak Amat dan Bu Amat, ketiganya gagal berkomunikasi. Seseorang di telepon selalu mengalihkan pembicaraan menjadi omongan-omongan atau cerita-cerita yang melantur.
Sutradara Putu Wijaya lewat pertunjukan Peace 1 (Mozaik Damai), Jumat (12/10/2019), di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, seolah menyindir realitas kehidupan sehari-hari kebanyakan orang belakangan ini.
Peristiwa-peristiwa berdatangan dari segenap penjuru dengan berbagai cara. Ia seolah dipentaskan sebagai parodi hidup, yang membuat kita terbenam dalam-dalam, lalu tertawa dengan getir.
Belum beberapa menit kita menyaksikan adegan penusukan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto oleh seseorang bernama Abu Rara, yang terus direproduksi televisi, perhatian sudah teralihkan kepada Kolonel Hendi Suhendi di Kendari. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Kodim 1417/Kendari yang baru dijalaninya selama sebulan.
Pencopotan itu terjadi karena ulah istrinya, Irma Nasution, yang membuat komentar negatif di laman media sosial. Di Bandung, Sersan Dua J dari Detasemen Kavaleri Berkuda ditahan selama 14 hari, juga gara-gara komentar nyinyir sang istri terhadap peristiwa yang sama di media sosial.
Pementasan Teater Mandiri dalam forum Bali International Literary Symposium, 10-13 Oktober 2019, itu adalah peristiwa-peristiwa yang tertumpuk oleh peristiwa-peristiwa baru. Sesungguhnya, lakon yang diberi tajuk Peace 1 (Mozaik Damai) ini terdiri dari empat lakon berbeda.
Pertama, monolog Perempuan Sejati yang diperankan Jais Darga, PRT (Ari, Ulil, dan Koyah), kemudian monolog Oh (Taksu Wijaya), dan terakhir Peace berupa permainan layar dan cahaya yang menutup semua pementasan. ”Ini ibarat medley kalau dalam lagu,” kata Putu Wijaya.
Saya menangkap kesan, Putu tidak sekadar menjejalkan lakon-lakon itu dalam satu bingkai pementasan, tetapi ia sedang ”bermain-main” dalam tataran semantik sebagai bentuk responsnya terhadap realitas.
Kata ”peace” dan ”piece” sebagai pronunciation punya kesamaan meski memiliki arti yang berbeda. ”Peace” yang bermakna damai dihadap-hadapkan dengan ”piece”, yang berarti potongan-potongan.
Kedamaian yang berada pada tataran ideal tidak mungkin bisa terwujud jika berbagai potongan peristiwa berjejal-jejal dan setiap detik mendatangi kita. Ketika potongan-potongan itu terus-menerus menyerbu dalam jangka waktu tertentu, ia menyebabkan distraksi, kemacetan berpikir, dan disorientasi.
Banyak orang kemudian digiring menuju apa yang disebut sebagai ruang gema yang setara. Kita cenderung memilah diri untuk kemudian bergabung dengan orang-orang atau kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan pandangan tentang banyak hal, sebagaimana yang terjadi dalam grup Whatsapp (WA), misalnya.
Pada grup-grup inilah Anda merasa memiliki kesempatan untuk menyalurkan hasrat berkomunikasi yang sesuai dengan keinginan Anda. Padahal, setiap saat pula Anda akan mendapatkan postingan-postingan yang berdatangan dari segala penjuru melalui anggota grup. Sering kali pula, postingan-postingan itu Anda amplifikasi ke berbagai laman media sosial lainnya.
Akibat perasaan sepaham yang Anda bawa ketika memasuki sebuah grup WA, jarang, bahkan tidak pernah, akan ada verifikasi. Secara serta-merta Anda akan teruskan kepada kelompok grup WA lainnya, tempat Anda juga tergabung.
Begitulah salah satu karakter buruk media sosial. Hoaks yang merajalela, bahkan memicu berbagai peristiwa kerusuhan, terus-menerus direproduksi. Banyak orang tahu bahwa hoaks secara sengaja diproduksi sebagaimana yang terjadi di dunia media arus utama.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sepanjang Agustus 2018 sampai April 2019 terdapat 1.731 postingan hoaks. Pada April 2019 tercatat 486 hoaks, berupa kabar bohong, berita palsu, fitnah, dan ujaran kebencian.
Begitulah salah satu karakter buruk media sosial. Hoaks yang merajalela, bahkan memicu berbagai peristiwa kerusuhan, terus-menerus direproduksi.
Kabar-kabar ini dipergunakan untuk menyerang seseorang atau kelompok orang dengan maksud menjatuhkannya atau setidaknya membuat citranya menjadi buruk.
Putu Wijaya membuat parodi atas peristiwa-peristiwa dengan menebar teror sehingga para penyimaknya merasa terancam. Peristiwa pembokat yang jauh lebih ”gaya” dibandingkan dengan calon majikannya menyindir realitas manusia yang makin materialistik.
Kegagahan pengacara muda yang selalu merasa mampu melawan negara dengan silat lidah ilmu hukumnya menyindir bibit-bibit subversi yang disemai lewat dalil-dalil ”kebenaran” formal. Bukankah hampir setiap hari belakangan ini kita berhadapan dengan realitas semacam ini?
Teknologi komunikasi dan informasi pada ujungnya kemudian menjadi ironi. Tujuan mempermudah jalinan relasi antar-individu atau kelompok justru berbalik memperkeruh situasi.
Baca juga: Teater Demokrasi
Jejaring media sosial yang lahir sebagai anak kandung teknologi digital memberi dampak signifikan terhadap penghancuran. Masih ingat kerusuhan di Wamena, Papua?
Puluhan tersangka telah ditahan. Polisi mengklaim kerusuhan yang meluluhlantakkan kota Wamena itu dipicu oleh berita hoaks tentang perlakuan rasial seorang guru kepada muridnya. Hasil verifikasi menunjukkan, kabar itu sepenuhnya berita bohong alias fitnah dengan agenda mempertajam kebencian.
Kita sama-sama telah menyaksikan bersama betapa kabar bohong itu begitu mudah memicu tindakan-tindakan anarkistis. Di sisi lain, komentar-komentar nyinyir diproduksi setiap detik oleh media sosial karena merasa tidak sependapat dengan seseorang atau kelompok orang. Jadi, ketika media sosial lahir, ia seolah-olah meledakkan hasrat bersuara dengan klaim kebenaran mutlak ada pada diri sendiri.
Sejak tahun 1992, Steve Tesich yang menulis di The Nation telah menyebut istilah post-truth, sebuah istilah untuk menggambarkan kondisi masyarakat Amerika yang nyaman hidup dalam kebohongan.
Baca juga: Pasar Kejujuran
Pada 2016, kamus Oxford menobatkan kata post-truth sebagai ”Word of The Year” saat Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Di negara ini, terbukti pula post-truth merajalela dalam penyelenggaraan Pilgub DKI Jakarta beberapa tahun lalu.
Ancaman rezim post-truth akan terus-menerus melanda negeri ini, apalagi ia kini bergandeng tangan dengan populisme, yang menjadikan paham keagamaan sebagai basis gerakan. Populisme dan media sosial menjadi paham dan media paling ”efektif” menyebarkan hoaks.
Sebagai negara multikultur, yang dihuni oleh beragam etnis dan agama, Indonesia termasuk wilayah paling rentan. Keyakinan akan kebenaran yang diproduksi di laman-laman media sosial telah mengalahkan kebenaran obyektif yang ditegakkan dengan susah payah.
Ke mana kita akan bergerak? Tentu selalu berpihak kepada kebenaran yang terverifikasi dan... Anda hanya akan mendapatkannya pada media-media arus utama.