Penyerangan Wiranto dan Perginya Nurani Kemanusiaan
Saat berhadapan dengan suatu fenomena, janganlah terburu-buru melakukan penafsiran pribadi.
Martin Heidegger (1889-1976)
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·4 menit baca
Peristiwa penyerangan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Jenderal TNI (Purn.) Wiranto pada Kamis (10/10/2019) minggu lalu merupakan tragedi teror terhadap pejabat negara. Sayangnya, opini yang tersebar di publik adalah hal-hal di luar kejadian penyerangan itu. Akibatnya, tragedi kemanusiaan justru tertutupi oleh konstruksi teori yang diciptakan banyak pihak.
Menyimak percakapan warganet di media sosial pascakejadian, terdapat dua tahap yang dapat dikelompokkan. Pertama, pemberitaan media massa serta percakapan warganet mengenai informasi seputar peristiwa. Tahap pertama ini didorong oleh unggahan dari media massa yang berlomba-lomba memberitakan peristiwa berdasarkan fakta di lapangan.
Pantauan dari laman Drone Emprit pada 10 Oktober 2019 di media sosial Twitter mengukuhkan pola pertama ini. Berdasarkan pengamatan hingga pukul 14.00 WIB atau dua setengah jam pascakejadian, pemberitaan penusukan terhadap Wiranto langsung menyerap perhatian warganet.
Informasi mengenai kejadian penusukan yang diberitakan oleh media massa mainstream menjadi rujukan warganet untuk menyebarkan berita secara alami di Twitter.
Topik pembahasan pun masih seputar informasi peristiwa, seperti lokasi, penyerang atau pelaku, serta gambaran (kronologi) kejadian. Menurut analisis Drone Emprit, pola percakapan antar warganet hingga pukul 14.00 masih dalam tahap penyebaran informasi, belum terjadi pro dan kontra atas peristiwa. Meski demikian, tahap ini tidak berlangsung lama karena pembicaraan mulai berkembang seiring opini yang tercuit oleh warganet.
Dengan cepat, tahap kedua dimulai dengan keingintahuan warganet yang semakin besar dan melahirkan konstruksi ide yang beragam. Mulai dari isu terorisme, jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dalih pengalihan isu, hingga dugaan peristiwa rekayasa atau “setingan”. Tak lupa, kekhasan warganet Indonesia yang menyelipkan sisi humor dalam komentar-komentar juga hadir sejalan dengan tersebarnya informasi.
Seiring dinamika unggahan warganet di Twitter, Drone Emprit memperbarui analisis mereka terhadap platform burung biru ini. Hasilnya, terdapat tiga tema besar berdasarkan topik pembicaraan warganet.
Ketiganya, yakni pembicaraan seputar perkembangan berita (paling kecil frekuensinya), pembicaraan bernuansa kecaman dan langsung mengaitkan dengan ISIS atau JAD, dan terakhir berisi pembicaraan yang cenderung berisi candaan, ajakan untuk abaikan, ataupun dugaan rekayasa.
Perkembangan berita merupakan tema yang frekuensinya paling kecil. Sedangkan pembicaraan warganet yang cenderung berisi candaan hingga dugaan rekayasa merupakan topik yang paling besar frekuensinya.
Pembicaraan seputar perkembangan berita sudah muncul pada jam-jam awal kabar Wiranto diserang di Twitter. Komentar bernuansa candaan menyusul ketika senjata (kunai) yang dipakai oleh pelaku penyerangan dirilis oleh pihak kepolisian. Sementara itu, pengungkapan latar belakang pelaku memicu munculnya komentar dukungan atas tindakan penyerangan dan hadirnya berbagai teori konspiratif.
Sebagai lanjutan, Drone Emprit turut memetakan linimasa percakapan warganet dari awal hingga pantauan terakhir (Jumat, 11 Oktober 2019, pukul 04.00 WIB). Dukungan atas tindakan penyerangan, candaan yang dikaitkan dengan serial animasi “Naruto”, dan drama atau konspirasi muncul di waktu yang berbeda, tetapi tetap bertahan hingga esok harinya.
Sayangnya, perhatian terhadap Menko Polhukam Wiranto yang menjadi korban justru sedikit sekali dibicarakan. Pembicaraaan warganet yang menunjukkan empati tidak terlalu terlihat dibandingkan topik pembicaraan seputar penyerangan tersebut. Melihat fenomena di atas, apakah ini merupakan tanda mulai lumpuhnya rasa kemanusiaan?
Di Balik Konspirasi
Terlepas dari sosok Wiranto dan sepak terjangnya di pemerintahan, warganet justru tidak menunjukkan empati dan bahkan curiga atas musibah yang menimpanya. Memang, di mata masyarakat yang tidak menyukainya, mantan Panglima TNI ini kerap dikaitkan dengan peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi misalnya, komentar Wiranto mengenai pembubaran HTI, demo mahasiswa, dan kericuhan di Wamena.
Imbasnya, masyarakat turut abai atas tindakan mengerikan yang terekam kamera dan telah tersebar di media sosial. Padahal, video bermuatan kekerasan itu dengan mudah dibagikan, diakses, dan dilihat oleh siapa pun, termasuk anak-anak. Herannya, fokus masyarakat justru berkembang liar dengan mengarang spekulasi dan teori konspirasi dalam beragam versi.
Inilah tantang masyarakat yang seringkali disebut juga era pascakebenaran. Dalam konsep pascakebenaran, seseorang yang tidak objektif akan cenderung menyerap informasi sesuai dengan apa yang ia percayai. Akibatnya, fakta apa pun yang tidak sesuai dengan yang ia percayai, tidak akan diterimanya.
Cara berpikir demikian memang berbahaya karena seseorang akan cenderung pula melupakan subjek penting dalam suatu peristiwa. Jika merujuk pada kejadian penyerangan di atas, maka subjek manusia yang ditusuk menjadi hal yang dianggap tidak lebih penting daripada teori konspirasi yang beredar luas. Bisa dikatakan, sensasi akan mengalahkan esensi peristiwa.
Kecenderungan untuk segera menyerap sebuah informasi tanpa mengambil jarak ini pernah ditelaah oleh Martin Heidegger (1889-1976). Menurutnya, ketika berhadapan dengan suatu fenomena, seseorang janganlah terburu-buru melakukan penafsiran pribadi.
Sikap terburu-buru inilah yang secara tidak sadar telah memengaruhi masyarakat seiring kemajuan teknologi dan terutama media sosial saat ini. Padahal, Heidegger telah mewanti-wanti efek buruk teknologi bagi masyarakat. Ramalannya bisa saja terbukti, budaya serba cepat menjadikan masyarakat menerima dan menyebarkan informasi tanpa mengolahnya lebih dulu.
Ironisnya, komentar sinis dan satire justru mewarnai linimasa media sosial. Teori-teori konspirasi maupun spekulasi yang diperbincangkan dan beredar luas juga belum teruji kebenarannya. Fakta keras mengenai aksi kekerasan terhadap seorang manusia yang sudah jelas terungkap justru diragukan.
Ajakan Kemanusiaan
Persoalan kemanusiaan memang menjadi hal yang laten bagi Indonesia. Musibah yang menimpa Wiranto justru menunjukkan bahwa pesan kemanusiaan kerap masih diabaikan. Tentu saja, tidak ada pihak yang ingin kejadian ini terulang kepada siapa pun.
Dengan logika yang sama, beberapa peristiwa kemanusiaan lain di Indonesia tak dianggap lebih menarik daripada kisah--kisah teori konspirasi yang membumbuinya. Salah satu contohnya, nasib pengungsi dan proses rekonsiliasi atas kericuhan di Wamena, Papua.
Selain itu, ada juga pengungsi yang menjadi korban karena gempa bumi di Pulau Ambon, Maluku, dan sekitarnya yang masih membutuhkan perhatian masyarakat.
Dari dinamika pascamusibah yang dialami Wiranto, masyarakat dapat belajar mengenai pentingnya kejernihan dalam berkomentar dan mendudukkan suatu perkara. Harapannya, pola pikir yang jernih dan jelas senantiasa terpelihara saat menanggapi suatu musibah. (LITBANG KOMPAS)