Tingginya derajat apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini belum menjadi jaminan semakin ringan langkah pengelolaan negara.
Oleh
BESTIAN NAINGGOLAN
·4 menit baca
Tingginya derajat apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini belum menjadi jaminan semakin ringan langkah pengelolaan negara. Peliknya berbagai persoalan bangsa yang belakangan ini mencuat menjadi penanda dalam memasuki periode kedua pemerintahannya.
Jelang berakhirnya periode pertama pemerintahannya, tak kurang banyak tuntutan persoalan bangsa yang kini justru menjadi fokus pergulatan kerja Presiden Jokowi. Dalam politik, misalnya, pada saat upaya menyatukan keterbelahan politik sisa Pemilu 2019 dirintis, justru pada saat yang sama mencuat benih konflik lain yang berujung pada kekerasan. Kerusuhan di sejumlah tempat di Papua, aksi-aksi penolakan terhadap produk undang-undang negara, hingga ancaman radikalisme yang tidak surut menjadi pertaruhan politik eksistensi pemerintahannya.
Persoalan ekonomi pun tidak kurang serius. Upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian, menciptakan pertumbuhan, meningkatkan kesejahteraan, hingga capaian pembangunan fisik infrastruktur yang menjadi trademark pemerintahannya kali ini tengah diuji kerentanannya dalam menghadapi tekanan ekonomi global yang makin tak ramah.
Di tengah pergulatan persoalan itu, memang bagian terbesar publik mengapresiasi kiprah Jokowi. Bahkan, jika dapat dinyatakan sebagai suatu keberhasilan, kurun lima tahun terakhir pemerintahannya terbilang mampu menjaga harmonisasi relasi politik antara publik dan kekuasaan negara yang ia genggam. Dalam menjalankan pemerintahan, sejauh ini ia mampu berselancar dan mengendalikan ombak pasang ataupun surut persoalan.
Hasil survei opini publik menguatkan hal tersebut. Setidaknya dua kesan yang tersimpulkan. Pertama, Jokowi mampu menjaga sentimen publik tetap positif terhadap kinerja pemerintahan ataupun citra dirinya. Dari sisi kepuasan publik, pada saat awal pemerintahannya, tidak kurang 65,1 persen yang menyatakan ”puas”. Saat ini, pada akhir periode pertama pemerintahannya, sebagian besar publik (58,8 persen) masih menyatakan ”puas”.
Terkait citra dirinya pun setali tiga uang, tetap positif. Apabila sejak awal ia berkuasa sebanyak 89,9 persen menyatakan citra Jokowi ”baik”, pada survei kali ini sebanyak 73,3 persen menilainya ”baik”. Meski terjadi sedikit penurunan, persentase itu masih terbilang tinggi.
Kedua, sekalipun kinerja dan citranya terbilang positif, hasil survei juga mengindikasikan kecenderungan penurunan. Kecenderungan demikian konsisten terjadi sejak 1,5 tahun terakhir. Pada April 2015 sempat terjadi lonjakan kepuasan publik tertinggi (72,2 persen), tetapi selepas itu cenderung menurun. Kondisi demikian menjadi berbeda sekaligus patut dicermati lantaran pada periode sebelum April 2015, setiap penurunan apresiasi pada kinerja pemerintahan dalam waktu yang tidak lama akan segera diikuti peningkatan kepuasan.
Pesan yang disimbolkan hasil survei, apresiasi di satu sisi dan di sisi lain adanya tren penurunan kepuasan tersebut, layak menjadi bagian dalam menyertai jalannya periode kedua pemerintahan. Becermin pada yang terjadi secara global, terdapat gambaran bagaimana para pemimpin negara dinilai berhasil ataupun justru gagal dalam menghadapi ”persidangan” opini warganya.
Dua presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan (1981-1989) dan Bill Clinton (1993-2001), misalnya, dikenang mampu membalikkan keterpurukan menjadi kejayaan pada setiap periode kepresidenannya. Sempat terseok, hingga hanya diapresiasi sepertiga bagian publik, tetapi dalam menutup periode kedua jabatan pemerintahannya justru berbalik dan menuai dua pertiga apresiasi kepuasan publik.
Sebaliknya, di negeri jiran, tatkala Presiden Filipina Corazon Aquino (1986-1992) berkuasa, pada awal masa pemerintahannya, pemimpin yang dimunculkan dari hasil people power itu meraup apresiasi hampir tiga perempat bagian warga, sekaligus menjadi catatan tertinggi sejarah survei opini publik di Filipina.
Namun, persoalan ekonomi yang terus mengimpit dan tekanan-tekanan politik yang dihadapi terus-menerus menggerus pamor pemerintahannya. Sedemikian tingginya ekspektasi publik, pada akhir usia pemerintahannya tidak berbalas kepuasan.
Di negeri ini, bukankah fakta semacam itu pula yang kerap terkisahkan? Tingginya popularitas ataupun apresiasi terhadap kinerja Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) dan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) pada awal masa pemerintahannya berakhir dengan ketidakpuasan publik yang tidak kurang tinggi.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), sekalipun apresiasi publik relatif lebih tinggi dan ia mulus memperpanjang periode kepemimpinannya, tidak sedikit pandangan minor terhadap capaiannya selama itu.
Itulah mengapa, sekalipun Presiden Jokowi sepanjang periode pertama kekuasaannya dinilai publik relatif berhasil mengendalikan gelombang persoalan bangsa, tidak menjadi jaminan mutlak keberhasilan. Namun, setidaknya, kepiawaiannya dalam mempertahankan dukungan publik lima tahun terakhir dapat menjadi modal politik dan sosial kuat dalam mengarungi periode kedua pemerintahannya. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS)