Mendalami Kemiskinan Itu Melelahkan, tetapi Jangan Menyerah
Memikirkan pemberantasan kemiskinan itu sungguh melelahkan. Pernik-pernik terkait kisah kemiskinan sangat beraneka warna. Tidak mungkin hal itu bisa dipahami tanpa terjun langsung ke lapangan. Melelahkan? Iya!
Memikirkan pemberantasan kemiskinan itu sungguh melelahkan. Tali-temalinya berbelit-belit, masalah begitu banyak hingga seperti tidak berujung. Aparat pemerintahan, yang harusnya ada di lini depan pemberantasan kemiskinan, kadang malah membuat masalah lebih akut.
”Paragraf ini mungkin membuat Anda menutup buku ini untuk tidak dibaca, dan idealnya, lupakan saja segala urusan soal dunia kemiskinan ini: Persoalan tampak begitu besar, pelik. Tujuan kami menulis buku ini adalah membujuk Anda untuk tidak menyerah.”
Demikian kutipan di halaman 15 buku berjudul Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Global Poverty. Terjemahan judul buku itu lebih kurang ”Ekonomi Kemiskinan: Pemikiran Ulang Radikal Upaya Pemberantasan Kemiskinan Global”.
Buku ini terbit pada 2011, ditulis dua dari tiga penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2019, kebetulan suami-istri, Abhijit V Banerjee dan Esther Duflo, sama-sama profesor ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Bersama Michael Kremer dari Harvard, ketiganya diganjar penghargaan itu oleh Akademi Sains Kerajaan Swedia.
”Atas pendekatan mereka berupa eksperimen-eksperimen langsung di lapangan, Hadiah Nobel Ekonomi 2019 dianugerahkan,” demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Akademi Sains Kerajaan Swedia Profesor Goran K Hansson, Senin (14/10/2019), di Stockholm, Swedia.
Peringatan Banerjee dan Duflo rasanya amat pas. Kisah-kisah kemiskinan itu mengiris nurani, bisa bikin jengkel dan pusing. Buku itu, antara lain, mendapatkan penghargaan Financial Times and McKinsey Business Book of the Year Award dan Financial Times Business Book of the Year.
SD Inpres sukses
Isi buku itu adalah perihal kemiskinan di banyak negara, termasuk Indonesia. Ada banyak kisah kemiskinan di Indonesia dengan segala sedu sedannya. Satu hal menarik, buku itu memuat kembali sebagian isi tesis doktoral Duflo untuk perolehan gelar PhD atau doktor ekonomi di MIT. Tesis itu berjudul ”Essays in Empirical Development Economics”.
Salah satu babnya berisikan program SD Inpres di Indonesia tahun 1973 hingga 1978. Bab lain dari tesis itu soal kesehatan anak dan sumber daya rumah tangga di Afrika.
”Program Inpres itu sukses,” demikian kesimpulannya. Duflo pun meraih gelar PhD pada Juni 1999. Saat menjalani tesis itu, Banerjee dan Joshua Angrist adalah dua dosen pembimbing. Bukan karena topik SD Inpres ini Duflo dan Banerjee meraih Nobel. Ini hanya bagian dari rangkaian riset lapangan mereka tentang kemiskinan dan cara pemberantasannya.
SD Inpres yang dicanangkan almarhum Presiden Soeharto mampu menaikkan minat sekolah. Lulusannya memiliki gaji lebih tinggi daripada generasi sebelumnya, yang tidak beruntung seperti mereka soal kesempatan pendidikan gratis. Kelebihan penelitian ini, sebagaimana dikembangkan lagi pada penelitian-penelitian lanjutan, adalah cara menarik kesimpulan.
Baca juga : Para Ekonom Itu Berpeluh di Lapangan demi Kaum Papa
Duflo membandingkan gaji para lulusan SD Inpres dengan generasi lebih tua yang tidak menikmati SD Inpres. Hasilnya, lulusan SD Inpres bergaji lebih baik. ”Kita hendaknya menyimpulkan sesuatu berdasarkan penelitian, bukan berbasis intuisi,” demikian Duflo saat menggelar jumpa pers di depan Kampus MIT, Senin (14/10/2019).
Dia juga melihat efek sukses pengadaan pelayanan kesehatan terhadap sukses program SD Inpres. Anak-anak SD relatif lebih sehat sehingga sehat memasuki bangku sekolah. Persiapan pengadaan guru, umumnya lulusan pendidikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), juga memadai untuk mendukung program SD Inpres.
Program SD Inpres ini juga lulus karena asumsi pas. SD Inpres dibangun di daerah dengan penduduk tingkat sekolah rendah. ”Andaikan ada pemikiran tingkat pendidikan rendah disebabkan minat sekolah rendah, betapa program ini akan gagal,” demikian Duflo. Tingkat pendidikan rendah karena sekolah-sekolah tidak tersedia. Dicanangkanlah program Inpres untuk menjangkau warga.
Masalah berbelit-belit
Kisah SD Inpres ini hanya bagian dari kisah di buku itu. Kisah lain, di India, misalnya, ada warga yang tidak mau mendapatkan layanan kesehatan walau ada kematian anak-anak akibat penyakit. Mengapa? Karena ada kepercayaan, seorang anak meninggal akibat melihat hantu.
Ada proyek infrastruktur pemerintah di Indonesia yang berkualitas rendah, jalan rusak begitu tersapu hujan. Proyek dengan nilai dan luas serupa tidak cepat rusak. Masalah terletak pada penggelapan dana saat dua proyek itu disandingkan.
Ada warga Indonesia, seorang bapak bermata pencarian sebagai petani, mendadak tak bisa bekerja. Penyebabnya, pemilik pertanian memecat bapak itu, dalam buku disebut Pak Solhin, mungkin maksudnya Solihin. Cikal bakalnya adalah harga pupuk naik, maka biaya produksi naik. Akibatnya, pemilik lahan memutuskan pemakaian petani upahan untuk menekan biaya.
Ada kasus Pak Sudarno, mendadak sakit. Biaya sakit muncul sehingga berdampak pada pengurangan anggaran untuk makanan. Ini membuat nutrisi keluarga menurun. Dari sini muncul saran agar ada asuransi kesehatan dengan layanan relatif berkualitas.
Ada kisah keluarga yang memulai usaha, terjebak utang. Mereka dililit rentenir. Utang dibayar rutin pada awalnya, tetapi plafon utang bertambah karena bunga pinjaman mencekik. Ada juga kasus aduan warga miskin karena ditipu rekanan. Aduan ini membuat pengadu terbenani karena aparat pengusut harus disuap.
Punya harga diri
Pada buku terungkap kaum papa atau miskin juga punya harga diri. Walau miskin, tawaran pemerintah, politisi, atau lembaga sosial belum tentu mereka ambil atau gunakan jika mereka tidak dilayani dengan baik.
Pada kasus di India, walaupun miskin, warga menjalani pesta perkawinan relatif mahal. Sebab, ini soal harga diri dan tuntutan adat.
Terpotret juga politisi lokal mengiming-imingi warga miskin untuk memilih. Misalnya, di India calon anggota legislatif lokal berseru agar dipilih karena satu etnis. Warga memilih caleg ini bukan karena satu etnis. Mereka tak kenal caleg lain karena tidak pernah hadir sebelum pemilu atau programnya tidak jelas. Akibatnya, asas primordialisme bermain.
Pada buku terungkap kaum papa atau miskin juga punya harga diri.
Gambaran soal kemiskinan tidak serupa penyelesaiannya walau kasusnya sama. Ada perilaku dari kaum papa itu yang harus dikenali. Dan, dengan itu, dasar kebijakan disusun agar program anti-kemiskinan berjalan baik sesuai dengan ruang dan waktu.
Pernik-pernik terkait kisah kemiskinan beraneka warna. ”Tidak mungkin hal ini bisa dipahami tanpa terjun langsung ke lapangan,” demikian Duflo dan Banerjee.
Melelahkan? Iya!
Duflo sendiri pernah diingatkan agar jangan mengambil tema ilmu ekonomi pembangunan dalam kariernya. Ini bukan karier emas untuk ekonom. ”Saya tetap jalan dengan pilihan ini,” kata Duflo.
Duflo didukung oleh seorang ekonom MIT, Bengt Holmström, salah satu dari dua peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2016. ”Holmstrom mendukung kami menggeluti bidang ini,” kata Duflo. Tentu ada ekonom MIT sebelumnya, Paul Samuelson, penerima Nobel Ekonomi pertama dari MIT pada 1970, ahli ekonomi pembangunan.
Duflo terbentuk ke arah bidangnya. Dia kuliah di Ecole Normale Superieure, sebuah universitas elite di Paris, penggembleng akademisi Perancis soal pelatihan saksama. Idealisme ibunya, Violaine Duflo, seorang dokter anak, mendorongnya berpikir soal kaum papa.
Tentu, dosen pembimbingnya, yang jadi suaminya, Banerjee, sangat membantu. Saat kecil, meski Banerjee dari kaum berpunya, hidupnya tak jauh dari kaum papa di Kalkutta, India. Di masa kecil, Banerjee sering kalah dalam perlombaan olahraga dengan anak-anak seusianya.
Kekaguman Duflo pada kisah Bunda Teresa, yang mengakomodasi kaum papa di Kalkutta, juga turut membuatnya tertarik pada isu ini. Panggilan jiwa yang diterjemahkan dengan aksi lapangan, lingkungan yang kondusif dan mendukung, itulah takdir Duflo. Tentu dia memuji suami, dan Michael Kremer dan mahasiswanya, serta MIT yang memungkinkan semua ini. (AFP/AP/REUTERS)