Antusiasme Masyarakat Lintas Zaman Sambut Pelantikan Presiden
Antusiasme rakyat selalu tampak setiap kali pelantikan presiden. Sejak Presiden pertama RI Soekarno hingga yang akan dilantik Minggu (20/10/2019) ini, Joko Widodo bersama pasangannya, Ma’ruf Amin.
Karnaval budaya di sepanjang Jalan MH Thamrin hingga Istana Merdeka, Jakarta, boleh jadi gagal. Begitu pula keinginan mengarak Presiden-Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Namun, hal itu tak mengurungkan niat, khususnya pendukung Jokowi-Amin, untuk memeriahkan pelantikan keduanya sebagai Presiden-Wakil Presiden 2019-2024, Minggu (20/10/2019).
Jauh-jauh hari, salah satu kelompok relawan Jokowi di pemilu presiden, Pro Jokowi atau Projo, sudah merancang karnaval budaya di sepanjang Jalan MH Thamrin hingga Istana untuk merayakan pelantikan Jokowi-Amin.
Tak hanya itu, mereka telah merancang akan mengarak Jokowi-Amin di sepanjang jalan tersebut hingga masuk ke Istana Merdeka. Bahkan, arak-arakan ini disebut Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi spektakuler dan tak pernah terjadi sebelumnya.
”Salah satunya, kami berencana mendatangkan gajah dari Way Kambas, Lampung, untuk arak-arakan itu,” ujar Budi.
Undangan pun sudah disebarkan kepada seluruh kelompok sukarelawan Jokowi-Amin dan masyarakat tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di kalangan diaspora. Kian dekat waktu pelantikan, tak sedikit yang memastikan akan hadir, termasuk warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Namun, empat hari jelang pelantikan, mereka harus kecewa. Seluruh rangkaian acara dibatalkan karena Presiden Jokowi tak ingin perayaan berlebihan. Kekecewaan mereka bisa dilihat di media sosial. Salah satunya, melalui gambar tiga gajah menangis tersedu-sedu dilengkapi tulisan, ”Ga jadi ke Jakarta”.
Kekecewaan terobati
Kekecewaan itu baru terobati setelah Ketua Panitia Syukuran Inaugurasi Presiden-Wakil Presiden Indonesia 2019-2024, Andi Gani Nena Wea, Sabtu, memastikan bahwa perayaan pelantikan tetap digelar.
Acara akan digelar di sepanjang Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, dari Patung Kuda hingga Taman Pandang Istana, depan Istana Merdeka. Menurut rencana, akan ada sejumlah panggung yang akan diisi grup-grup band musik dan layar besar di setiap panggung untuk melihat seremoni pelantikan Jokowi-Amin dalam Sidang Paripurna MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Sukarelawan Jokowi-Amin akan bercampur baur dengan pendukung Jokowi-Amin dan publik lainnya di sepanjang jalan itu. Mereka datang tidak hanya dari Jakarta, tetapi juga luar Jakarta. Acara syukuran, menurut Andi, akan digelar meriah dengan tetap memegang pesan kesederhanaan yang diminta Presiden.
Baca juga : Wapres China hingga PM Australia Hadiri Pelantikan Presiden Jokowi
Mengulang sejarah
Kemeriahan itu bisa jadi mengulang antusiasme masyarakat yang muncul saat Jokowi bersama Jusuf Kalla dilantik pada 20 Oktober 2014 dan juga muncul setiap kali pelantikan presiden-wakil presiden sebelumnya.
Senin (20/10/2014) siang, saat Jokowi-Kalla dilantik, ribuan warga telah memenuhi kawasan sekitar Sudirman-Thamrin dan Monas untuk menyaksikan bersama momen pelantikan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, dari layar besar.
Warga yang berasal dari berbagai kalangan tak semata ingin menyambut, tetapi menjadi saksi sejarah atas kehadiran pemimpin baru Indonesia tersebut. Mereka berusaha untuk menyumbangkan sesuatu guna merayakan pelantikan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Misalnya, sejumlah artis dan penyanyi menggelar panggung hiburan bertajuk ”Konser Tiga Jari” di Lapangan Monas. Kalangan petani pun membawa hasil tanamnya dalam bentuk gunungan bahan pangan yang merupakan lambang rasa syukur.
Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, kecintaan rakyat pada Jokowi serupa dengan yang terjadi pada Presiden pertama RI Soekarno. ”Keduanya memiliki kesamaan, yaitu pemimpin yang merakyat,” ujarnya.
Kecintaan masyarakat begitu kuat. Sebagaimana tampak pada pelantikan Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat di Balairung atau Siti Hinggil Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949. Ketika itu, ibu kota berkedudukan di Yogyakarta.
Jokowi merupakan mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta yang hadir dengan citra kerakyatan. Ia yang tidak memiliki garis keturunan baik dari pemimpin politik maupun kaum aristokrat sehingga menjadi simbol kepemimpinan rakyat. Selain itu, kebiasaannya turun ke lapangan atau blusukan semakin menambah nilai tersebut.
Baca juga Kode Prabowo lewat Lincoln, Mao Zedong, dan Hideyoshi
Citra kerakyatan dalam diri Soekarno pun amat kuat. Pada masanya, ia disebut sebagai ”penyambung lidah rakyat” karena perjuangannya membebaskan masyarakat dari kolonialisme.
Maka, tidak heran jika kecintaan masyarakat begitu kuat. Sebagaimana tampak pada pelantikan Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) di Balairung atau Siti Hinggil Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949. Ketika itu, ibu kota berkedudukan di Yogyakarta.
Meski Soekarno sudah dipilih sebagai Presiden pertama RI sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pelantikannya secara resmi baru dilakukan pada 1949. Saat pelantikan, rakyat dari berbagai kalangan dan usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, antusias mendatangi keraton.
Mereka berdesakan masuk, bahkan sebagian menonton dari luar pagar untuk menyaksikan pengambilan sumpah jabatan yang diucapkan Soekarno. ”Antusiasme serupa bahkan terjadi saat Bung Karno akan kembali ke Jakarta dari Yogyakarta (karena perpindahan ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta) pada akhir Desember 1949,” kata Asvi.
Pilihan rakyat
Menurut Asvi, tingginya animo masyarakat terhadap pelantikan presiden juga terjadi karena rasa memiliki publik yang kuat. Hal itu terutama terjadi sejak presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, mulai 2004.
Pasangan presiden-wakil presiden pertama yang dihasilkan dari pemilihan langsung itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) yang memimpin Indonesia periode 2004-2009.
Rasa memiliki yang kuat mendorong masyarakat untuk bersikap kritis. Mereka betul-betul ingin memastikan mandat rakyat dilaksanakan. Ekspresi rakyat itu kemudian disalurkan dengan menggelar unjuk rasa di sejumlah daerah.
Baca juga : Apresiasi Publik dan Tantangan Ekonomi
Salah satunya adalah demonstrasi mahasiswa di Istana Gedung Agung dan Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), DIY. Bagian Humas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) DIY pada 2004 mengatakan, aksi sekadar dilakukan untuk mengingatkan agar SBY-JK betul-betul mewujudkan janji yang diucapkan selama masa kampanye (Kompas, 21/10/2004).
Saat itu, SBY-JK diminta untuk tidak lagi membuat perjanjian utang dengan beberapa lembaga, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Consultative Group on Indonesia (CGI), dan Bank Dunia. Mahasiswa juga mendesak pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak, menuntaskan kasus megakorupsi, menghentikan siaran media yang bermuatan pornografi, serta merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca juga : Di Balik Turunnya Kepuasan Publik terhadap Kinerja Jokowi
Tuntutan serupa disampaikan massa gabungan mahasiswa dan buruh di Jakarta. Ratusan orang yang bergerak dari kawasan Jalan MH Thamrin menuju Istana Merdeka itu menuntut agar SBY-JK benar-benar mewujudkan janji perubahan.
Antusiasme publik dalam bentuk unjuk rasa kembali terulang saat pelantikan SBY dan Boediono pada 2009. Pengunjuk rasa menyuarakan agar pemerintah membuat kebijakan yang prorakyat, menolak neoliberalisme, dan mewujudkan pendidikan murah. Selain itu, mereka juga menuntut pemerintah menuntaskan kasus korupsi Bank Century yang merugikan negara hingga Rp 6,7 triliun.
”Kami tidak menolak pelantikan Yudhoyono-Boediono. Kami hanya mengingatkan dan akan mengawasi terus pemerintah supaya janji-janji kampanye selama pilpres direalisasikan. Selain itu, kembalikan fungsi KPK yang diamanatkan reformasi,” kata Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta Danang Tri Hartanto (Kompas, 21/10/2009).
Saat pelantikan Jokowi-Amin, bukannya tidak ada niat untuk menggelar unjuk rasa. Niat tersebut diutarakan sejumlah elemen mahasiswa yang kecewa karena Presiden Jokowi tak kunjung mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK.
Massa mahasiswa pun menggelar unjuk rasa di sejumlah daerah, akhir September lalu, menolak UU KPK tersebut. Pasalnya, regulasi baru itu berpotensi melumpuhkan KPK dalam memberantas korupsi.
Baca juga : Tirani Sosial
Niat unjuk rasa itu ditentang aparat keamanan sepekan sebelum pelantikan. Selama lima hari menjelang pelantikan, aparat keamanan melarang unjuk rasa. Alasannya semata karena dunia internasional akan melihat pelantikan Jokowi-Amin.
Apa pun bentuknya, antusiasme publik itu hendaknya dibayar oleh para pemimpin terpilih, khususnya saat ini Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dengan sepenuhnya melayani rakyat dan senantiasa berpihak kepada rakyat.
Ini seperti pesan Bung Karno, ”Janganlah kita lupakan, demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada di atas rakyat.”