Sensasi Naik Pesawat Amfibi Rusia
Tanpa ampun, sang pilot menghantamkan tubuh pesawat ke permukaan air, sambil membiarkan pesawat tetap melaju dengan kecepatan 200 kilometer/jam. Tubuh pesawat berguncang seakan sedang mengalami turbulensi hebat. Bruk!
Pesawat itu terbang makin rendah lalu mendekatkan dasar tubuhnya ke laut di Selat Bangka. Tanpa ampun, sang pilot kemudian menghantamkan tubuh pesawat ke permukaan air, sambil membiarkan pesawat tetap melaju dalam kecepatan 200 kilometer per jam.
Tumbukan antara badan pesawat dan permukaan air menciptakan guncangan berkali-kali yang mengocok perut. Menyesal rasanya menghabiskan seporsi nasi padang (pasti tahu kan sebanyak apa nasinya), sebelum ikut mengangkasa bersama pesawat asal Rusia itu, Sabtu (24/10/2015), dalam operasi pemadaman kebakaran lahan di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Pengalaman empat tahun silam bersama pesawat Beriev Be-200 sungguh tak terlupakan. Untuk pertama kalinya, saya menumpang pesawat amfibi yang ”berjalan” di atas air. Sayangnya, pengalaman itu terjadi karena adanya bencana kebakaran hutan dan lahan yang menyengsarakan masyarakat.
Kesempatan itu datang secara mendadak sehingga tidak memungkinkan saya melakukan cukup persiapan. Saat itu, Jumat (23/10/2015) malam, menjelang pukul 21.00, saya masih berada di kantor Redaksi Kompas di Palmerah Selatan.
Ketika hendak bersiap pulang ke kos, saya dipanggil datang ke meja Wakil Redaktur Pelaksana Mas Sutta Dharmasaputra (kini Wakil Pemimpin Redaksi). Beliau mengabarkan bahwa Kompas bisa mengirim satu wartawannya untuk ikut terbang dengan pesawat Be-200 dalam rangka pemadaman kebakaran lahan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerja sama dengan perusahaan Asia Pulp and Paper Group (APP) mendatangkan dua unit Be-200 milik Kementerian Keadaan Darurat Rusia untuk membantu Indonesia menangani kebakaran lahan yang disebut-sebut terparah sepanjang sejarah kebakaran lahan di Tanah Air. Saya kemudian ditugaskan berangkat.
Indonesia belum memiliki pesawat amfibi untuk kepentingan penanggulangan bencana sehingga merasakan penerbangan pesawat ”dua alam” bakal jadi pengalaman langka. Saya tidak ingin menyia-nyiakannya, meski terasa berat karena tepat keesokan paginya saya harus meluncur ke Bandara Soekarno-Hatta untuk terbang ke Pangkal Pinang, Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, tempat pesawat amfibi itu diparkir.
Saya terlebih dahulu memesan tiket pesawat sambil berdoa masih ada kursi kosong untuk penerbangan ke Bangka. Waktu yang tersisa hanya hitungan jam. Padahal, saya belum menyiapkan pakaian yang akan dibawa dan yang jelas saya butuh tidur sejenak. Untungnya saya masih sanggup bangun tepat waktu untuk berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta.
Tiba di Bandara Depati Amir pada Sabtu (24/10/2015) pagi, saya mencari lokasi parkir pesawat-pesawat penanggulangan kebakaran. Petugas kemudian mengarahkan saya agar ikut terbang terlebih dahulu dengan helikopter. Tujuannya, untuk mendokumentasikan aksi Be-200 saat menggelontorkan air dari perutnya dan menyiram api pelalap pohon-pohon di hutan tanaman industri (HTI).
Pewarta dari sejumlah kantor berita juga turut terbang dengan helikopter itu. Salah satu fotografer meminta duduk di depan agar mudah mendapatkan sudut pandang terbaik. Toh, media-media lain bisa menggunakan fotonya juga asalkan berlangganan produk dari kantor beritanya. ”Nanti Kompas pakai foto gue aja, he-he-he,” begitulah kira-kira ucapan kawan tersebut.
Sepertinya, para pewarta foto begitu bersemangat mengincar potret pesawat amfibi yang sedang bertugas memadamkan api kebakaran lahan. Apalagi, sebelumnya, saya memfoto secara eksklusif pesawat amfibi lain yang didatangkan Malaysia, Bombardier 415 MP, saat sedang menjatuhkan air di atas area lahan terbakar di Sumatera Selatan. Foto itu muncul di halaman satu koran Kompas edisi Jumat 16 Oktober 2015.
Oleh karena saya duduk di belakang, di bagian tengah pula, saya tidak leluasa memotret Be-200. Ditambah perangkat pemotretan yang tidak selengkap kawan-kawan pewarta foto, gambar Beriev Be-200 in action terbaik yang berhasil saya abadikan adalah seperti yang keluar di harian Kompas edisi Senin 26 Oktober 2016.
Waktu istirahat makan siang pun menjelang. Helikopter yang kami tumpangi mendarat di Bandara Pangkal Pinang. Begitu juga si Be-200. Nasi padang sudah disiapkan bagi kami semua. Oleh karena saya belum sarapan dengan porsi yang memadai, saya habiskan saja nasi padang itu dengan lahap. Tindakan yang kemudian saya sesali.
Setelah hanya bisa menyaksikan Be-200 menembus awan asap bolak-balik sambil menggelontorkan air, tiba saatnya untuk menjadi bagian dari aksi pesawat itu. Sekitar pukul 14.00, Be-200 terbang kembali untuk operasi pemadaman sesi kedua. Berada di dalamnya, saya memperhatikan bagian-bagian perangkatnya.
Yang pertama tertangkap mata adalah tulisan-tulisan beraksara Rusia yang sama sekali tidak saya mengerti. Tidak ada tulisan latin dengan bahasa Inggris untuk membantu penumpang non-Rusia memahami petunjuk pada setiap perangkat.
Namun, ada yang menarik perhatian saya. Tampak layar yang di depannya terdapat tuas pengendali dengan sejumlah tombol di kepala tuas. Tampilan tuas itu mirip joystick untuk memainkan gim.
Rupanya, layar itu menampilkan citra dari sebuah kamera yang terpasang pada sayap pesawat. Kamera bisa diputar-putar sesuai kebutuhan. Saya pun meminta agar lensa kamera diarahkan ke jendela pesawat sehingga saya bisa tahu, bagaimana wajah saya terlihat di layar tadi.
Anggota staf di pesawat itu, Vladimir Tereschenko, meminta kami memasang sabuk pengaman pada bangku masing-masing saat pesawat tinggal landas. Setelah stabil di udara, Tereschenko mempersilakan saya melihat pilot dan kopilot bekerja mengemudikan pesawat di ruang kokpit. Saya kemudian kembali ke bangku saya karena pesawat bersiap turun ke Selat Bangka untuk menyerok air.
Pertunjukan dimulai
Perlahan namun pasti, permukaan laut tampak semakin dekat dengan sayap, seperti terlihat dari balik kaca jendela. Jantung berdegup kencang seiring beragam pikiran yang melintas. Bagaimana jika akhirnya pesawat mati mesin di laut? Bagaimana jika kemudian tenggelam? Saya cemas memikirkan cara menyelamatkan diri seandainya situasi buruk terjadi.
Dan, pesawat pun bersentuhan dengan air. Bruk! Bruk! Bruk!
Tubuh pesawat berguncang seakan sedang mengalami turbulensi hebat. Kecemasan meningkat. Namun, itulah proses pesawat menyerok dan menyimpan air. Setelah sekitar 6.000 liter air terangkut, pesawat beranjak mengudara kembali dan bermanuver ke area HTI yang mengepulkan asap. Jrussss.... Air pun ditumpahkan.
Setelah air ludes, Be-200 kembali lagi ke Selat Bangka untuk pengambilan air dan penyiraman kedua. Setelah itu, berbalik lagi untuk pengambilan ketiga dan penyiraman ketiga, begitu seterusnya. Saya mulai terbiasa ketika proses pengambilan air terjadi untuk yang ketiga kalinya. Kecemasan saya menurun dan saya bisa lebih fokus mendokumentasikan aksi Be-200. Video tentu tidak boleh ketinggalan.
Namun rupanya, setelah lima kali pengambilan air, efek guncangan pada perut yang belum usai mengolah nasi padang mulai terasa. Cemas yang datang di awal pertunjukan, berganti rasa mual di pertengahan. Makanan dari perut sepertinya sudah mencapai leher. Salah-salah, saya bisa diperintah pilot negeri ”beruang merah” untuk mengepel lantai pesawat akibat apa yang keluar dari mulut saya.
Oleh karena itu, saya kemudian lebih memprioritaskan beristirahat di bangku setelah merasa dokumentasi cukup. Pesawat masih saja bolak balik mengambil dan menyiramkan air.
Kepala saya makin pening karena pesawat seperti mendarat dan tinggal landas berkali-kali, plus melakukan manuver-manuver yang makin merontokkan badan. Usaha berkali-kali untuk memejamkan mata pun tidak berhasil membuat saya terlelap. Saya hampir menyerah.
Beruntung, setelah menggelontorkan air untuk kesepuluh kalinya, operasi pemadaman berakhir. Be-200 kembali ke kandang di Pangkal Pinang. Fiuuh. Untunglah, mabuk udara ini tidak sampai membuat saya mesti mengepel lantai pesawat.
Begitu pintu penumpang dibuka dan cahaya sore memasuki pesawat, saya melangkah ringan dan kembali ceria. Meski efek mual pada perut belum 100 persen sirna, saya masih cukup kuat untuk mewawancarai Vladislav Podobnyy, pilot Be-200 yang berbaik hati mengizinkan saya ikut serta di pesawatnya.
Saya berdoa Be-200 tidak perlu sampai datang lagi ke sini untuk memadamkan api. Saya bermimpi, upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut, termasuk dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut, sukses meniadakan bara. Mimpi yang masih jauh dari kenyataan, sepertinya. Berita kebakaran lahan kembali meramaikan harian Kompas tahun ini.
Sampai jumpa lagi Beriev Be-200, tetapi bukan saat Indonesia berduka, ya!