Ujian Berat untuk Toleransi di ”Kota Wali” Cirebon
Penangkapan sejumlah terduga teroris di Cirebon, Jawa Barat, sepekan terakhir, tidak hanya mengungkap tempat persembunyian mereka. Fenomena itu ikut mengusik toleransi di ”Kota Wali”.
Penangkapan sejumlah terduga teroris di Cirebon, Jawa Barat, sepekan terakhir, tidak hanya mengungkap tempat persembunyian mereka. Fenomena itu ikut mengusik toleransi di ”Kota Wali”. Napas toleransi yang telah hidup ratusan tahun itu pun seakan mulai terasa sesak.
Zaki Mubarak (59), Ketua Forum RW Panjunan, Kota Cirebon, belum tidur sejak Minggu malam hingga Senin (14/10) siang. Matanya memerah. Sebagai aparat setempat, ia turut terjaga saat tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap dan menggeledah rumah BA, terduga teroris, di RW 003 Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk. Jaraknya sekitar 900 meter dari Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota.
Akan tetapi, bukan temuan sangkur dan buku-buku terkait pengorbanan diri di rumah BA saja yang membuatnya sulit terlelap. ”Dia (BA) dari Sumatera Barat, bukan orang asli sini. Padahal, di sini keturunan Tionghoa, Arab, Jawa, Sunda, bahkan Padang hidup berdampingan,” ujar Zaki, keturunan Arab yang membuka dua warung makan masakan Padang.
Penangkapan terduga teroris di wilayahnya mengusik pikirannya. Apalagi, katanya, kasus serupa terjadi dua atau tiga tahun lalu di Panjunan. Terorisme tidak sejalan dengan nilai keterbukaan terhadap perbedaan yang berlaku di Panjunan.
Baca juga : Mimpi Cirebon dari Wilayah Pesisir
Di RW 005, wilayahnya, misalnya, sekitar 40 persen dari 180 keluarga merupakan keturunan Arab. ”Namun, di sini tiga ketua RT orang setempat (Cirebon), dua RT sisanya dipimpin keturunan Arab dari Yaman dan Tionghoa. Panjunan itu seperti Indonesia mini, semuanya ada” tuturnya.
Bahkan, BA yang baru setahun menetap di rumah keluarga istrinya di Panjunan diterima dengan baik oleh warga. Tidak ada kecurigaan sedikit pun terhadap penjual es tersebut.
”Selama ini, tidak ada berita negatif tentang yang bersangkutan. Tidak ada kegiatan khusus di rumahnya. Komunikasi hanya sebatas tegur sapa,” ucap Syarief Rachman, Ketua RW 003 Panjunan.
”Tidak ada pesan khusus dari orangtua tentang keberagaman. Kami yang berbeda agama dan budaya sejak kecil sudah main bareng,” ujar Suljani (69), keturunan Tionghoa yang menjadi Ketua RW 009, lokasi Masjid Jagabayan.
Sejak abad ke-14, Panjunan merupakan tempat para pendatang, baik dari Arab maupun China. Alasannya, daerah yang dekat laut itu menjadi pintu gerbang pendatang, sekaligus area berdagang lintas bangsa dan negara.
Syahdan, Pangeran Walangsungsang alias Somadullah, perintis kesultanan Cirebon, di suatu tempat bertemu dengan banyak binatang buas. Ia lalu membaca doa, ”Audzu bi kalimatillahittammati kuliha min syarri maa kholaq” (Aku berlindung pada kalimat Allah yang sempurna dari segala makhluk), sebanyak tiga kali. Ia berucap fa anjaena yang berarti telah selamat. Tempat itu lalu disebut Panjunan (Wildan, 2012: 164).
Makna Panjunan tersebut masih kontekstual dengan kehidupan warga yang berbeda latar belakang agama dan budaya tetapi tetap berdampingan. Itu sebabnya, ketika Densus 88 Antiteror menyisir Panjunan, napas toleransi di daerah itu seakan ditampar keras.
Sejarah toleransi
Setelah penggeledahan di Panjunan, tim Densus 88 bergerak ke Desa Bojong Lor, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. Di sana, tim menggeledah tempat tinggal YF, terduga teroris yang juga pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Cirebon. Bapak tiga anak yang membuka jasa servis alat elektronik itu juga terkait dengan terduga teroris lainnya di Cirebon.
Dari penggeledahan yang digelar dua kali, tim menyita sejumlah botol dan jeriken berisi cairan kimia. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengungkapkan, temuan baru itu dapat menjadi bahan peledak dengan unsur utama triaseton triperoksida (TATP). Bom itu juga diisi urea, metanol, gotri, paku, dan racun abrin dari tanaman saga rambat (Abrus precatorius) (Kompas, 16/10/2019).
Sekretaris Desa Bojong Lor Tanto Sutanto kaget dengan temuan itu. Selama 10 tahun terakhir menetap di desanya, YF yang cacat pada tangan kiri tidak pernah terlibat masalah sebelumnya.
”Saya hanya bertegur sapa kalau ketemu YF. Istrinya adalah ibu rumah tangga, asli sini. Kalau YF orang Orimalang, desa tetangga,” ujarnya.
Dalam catatan Kompas, pada 2016, Densus 88 Antiteror meringkus J, warga Orimalang yang terkait peristiwa bom Thamrin Jakarta. Dua pelaku lainnya juga merupakan warga Orimalang dan Bakung, Jamblang.
Baca juga : Keberagaman dari Jamblang
Fakta ini cukup mengagetkan karena Jamblang selama ini dikenal sebagai salah satu pojok toleransi di Cirebon. Di sana ada Wihara Dharma Rhakita di Desa Jamblang yang dibangun sekitar abad ke-15. Satu kayu wuwungan kelenteng itu berasal dari pohon yang sama dengan kayu untuk membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada 1480, sekitar 16 kilometer dari kelenteng.
Konon, pohon besar itu hanya bisa dipotong oleh Njoo Kiet Tjit atau dikenal Ki Buyut Cigoler. Ia lalu meminta sepotong balok untuk membangun kelenteng di Jamblang. Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon kala itu, mengizinkan.
”Meski penyebar agama Islam, beliau menghormati budaya dan agama lain,” kata Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat.
Saling menghargai terlihat sampai sekarang. Kini, pengurus wihara tersebut bahkan ada yang beragama Islam. Keberagaman di Jamblang juga tampak pada sejumlah keluarga yang anaknya beragama Islam, tetapi paman atau kakeknya beragama Kristen. Bahkan, nasi jamblang, kuliner setempat yang terkenal, dengan komposisi aneka lauk yang dibungkus daun jati pun menggambarkan keberagaman masyarakat.
Zona merah
Setelah Panjunan dan Jamblang, penyisiran tim Densus 88 Antiteror berlanjut ke Desa Kali Tengah, Kecamatan Tengah Tani, Sutawinangun (Kedawung), Cikalahang (Dukupuntang), dan Panembahan (Weru). Selain YF dan BA, Densus 88 juga menangkap S, LT, W, dan A. Adapun RF, terduga lainnya yang pernah tinggal di Cirebon, ditangkap di Kabupaten Indramayu, tetangga Cirebon.
Tim masih mendalami peran para terduga teroris tersebut. Namun, sel JAD Cirebon itu diduga masuk dalam grup Whatsapp terkait penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pada 10 Oktober lalu di Pandeglang, Banten.
Kepala Polres Cirebon Ajun Komisaris Besar Suhermanto mengatakan, Cirebon menjadi tempat persinggahan dan persembunyian para terduga teroris karena letaknya yang strategis, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Akses menuju Ibu Kota juga dapat melalui jalan tol, jalan nasional, hingga kereta api.
”Akan tetapi, bukan berarti Cirebon sebagai zona merah darurat terorisme. Masyarakat Cirebon terbuka kepada siapa saja, termasuk pendatang. Cirebon sendiri, kan, artinya campuran,” kata Suhermanto.
Baca juga : Rindu Nikmat Seduh Kopi di Kota Wali
Cirebon memang dikenal berasal dari kata sarumban yang diucapkan menjadi caruban, lalu carbon (Cirebon). Artinya, campuran dari masyarakat beragam latar belakang. Wali Sanga, sembilan tokoh besar penyebar agama Islam, juga memberi nama Nagari Puser Bumi atau pusat bumi kepada Cirebon. Di sana, para wali kerap bertemu. Itu sebabnya, daerah ini juga disebut ”Kota Wali”.
Meski demikian, bagi pengajar Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Marzuki Wahid, Cirebon kini dalam zona merah atau darurat terorisme. Setidaknya 28 warga Cirebon dan sekitarnya menjadi terduga teroris pada 2011-2018. Pada April 2011, bom meledak di masjid di Markas Polres Cirebon Kota. Pelakunya, Syarif, warga setempat.
”Penangkapan terduga teroris di Cirebon saat ini hanyalah bagian permukaan dari fenomena gunung es. Mereka sudah tumbuh bertahun-tahun lalu,” ucap Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.
Sel teroris di Cirebon, katanya, muncul dari pemahaman eksklusif yang berujung tindakan radikal, kekerasan, hingga teror terhadap kelompok masyarakat yang tidak sesuai pemikirannya. Benih itu tersebar di Cirebon sejak Reformasi.
Tokoh-tokoh dan ormas Islam garis keras membangun komunitasnya di masjid, mushala, dan majelis taklim. Mereka seolah berlindung di balik demokrasi dan Pancasila agar bebas berpendapat dan berserikat. Di sisi lain, mereka mengharamkan demokrasi dan konstitusi itu sendiri.
Mereka juga memanfaatkan keterbukaan warga Cirebon terhadap sesuatu yang baru, termasuk ideologi.
”Mereka juga memanfaatkan keterbukaan warga Cirebon terhadap sesuatu yang baru, termasuk ideologi,” lanjutnya.
Dalam buku Menggagas Fiqh Ikhtilaf, Potret dan Prakarsa Cirebon (2017), benih-benih intoleran disemaikan juga di lembaga pendidikan formal.
Buku itu mencatat, pada 2015, GP Ansor NU Kabupaten Cirebon menemukan dua SMA di Cirebon yang disusupi radikalisme. Sekitar 11 siswa menolak mengikuti upacara bendera Merah Putih dan mata pelajaran Sejarah Indonesia. Ada pula buku ajar TK yang mengandung sejumlah kalimat, seperti ”rela mati bela agama” atau ”gegana ada di mana-mana”.
”Pemda seperti diam dan tidak peduli. Bahkan, mereka dengan mudahnya memberikan izin mendirikan bangunan kepada kelompok intoleran tersebut. Pemda harus menyadari ini dan menggencarkan literasi ideologi Pancasila, bukan malah membiarkan paham intoleran berbalut agama terus hidup,” kata Marzuki.
Pemda seperti diam dan tidak peduli. Bahkan, mereka dengan mudahnya memberikan izin mendirikan bangunan kepada kelompok intoleran tersebut.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu mendapatkan edukasi tentang antiradikalisme dan antiterorisme. Tanpa itu, kata Marzuki, masyarakat menjadi permisif dengan benih-benih terorisme.
Itu sebabnya, ketika Densus 88 Antiteror menangkap terduga teroris di Cirebon, sebagian besar warga meresponsnya dengan kaget atau tidak percaya. Terorisme belum dianggap ancaman sehingga sulit terdeteksi oleh warga.
Ketika polisi bergerombol datang ke Desa Bojong Lor, Jamblang, misalnya, Suratmi (35) malah berpikiran lain. ”Saya pikir, suami saya mau digerebek karena punya utang. Padahal, perasaan kami semua sudah lunas. Kan, saya pernah bekerja ke Arab untuk bangun rumah. Syukurlah, ternyata bukan rumah kami, tetapi rumah tetangga. Katanya, karena teroris,” ujar tetangga YF, pemimpin JAD Cirebon, itu.