Dari Maret ke Oktober, Tanggal-tanggal Pelantikan Presiden RI
Jika diterjemahkan dalam konteks tanggal pelantikan presiden, sepertinya tanggal pelantikan presiden di Indonesia tidak akan menjadi prioritas untuk dijadikan undang-undang, bahkan tidak akan dimasukkan dalam konstitusi.
Sudah lima kali sejak Presiden Abdurrahman Wahid dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 1999, pelantikan presiden Indonesia dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober.
Selama Orde Baru, penetapan presiden di Indonesia selalu dilaksanakan pada bulan Maret. Entah disengaja atau tidak, penetapan presiden berada di sekitar tanggal 11 Maret. Tentu saja, hal itu mengingatkan pada tanggal yang keramat di masa Orde Baru, 11 Maret, tanggal penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Dari arsip Kompas, tercatat pelantikan Presiden Soeharto oleh MPR dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 1967 (pejabat Presiden), 23 Maret 1973, 23 Maret 1978, 11 Maret 1983, 11 Maret 1988, 11 Maret 1993, dan 11 Maret 1998.
Setelah sebelumnya berlangsung pada Maret, setelah Reformasi, pelantikan presiden di Indonesia dilaksanakan pada bulan Oktober.
Menilik alasannya, penetapan tanggal pelantikan presiden di Indonesia tidak memiliki alasan khusus selain mengikuti pelaksanaan UUD 1945 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Sebenarnya, apa yang mendasari pemilihan tanggal tersebut? Apakah kebetulan semata?
Penetapan Jokowi-Amin
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dilantik pada 20 Oktober 2019. Hal itu didasarkan pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) RI Nomor 5 Tahun 2018. Aturan tersebut merupakan perubahan atas PKPU RI Nomor 7 Tahun 2017. Dalam PKPU tahun 2018 tersebut dituliskan bahwa sumpah janji pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih dilaksanakan pada 20 Oktober 2019.
Dasar yang digunakan KPU untuk menetapkan tanggal tersebut adalah UUD 1945 Pasal 7 yang menyatakan, ”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Mengingat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, penetapan presiden dan wakil presiden selanjutnya harus dilakukan lima tahun setelahnya, yakni pada 20 Oktober 2019.
Jarak lima tahunan tersebut dapat ditarik hingga 20 Oktober 1999 saat pelantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Di sini, terdapat dasar yang berbeda dalam pelantikan.
Sidang Umum MPR 1999
Pelantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada 20 Oktober 1999 mendapatkan kekuatan hukum dari Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/1999. Ketetapan tersebut ditandatangani pada hari yang sama dengan Sidang Umum MPR dengan agenda pemilihan presiden di MPR yang jatuh pada 20 Oktober 1999.
Kesepakatan tentang penetapan tanggal pemilihan presiden sendiri merupakan hasil dari peserta Sidang Umum MPR yang berlangsung pada 1-3 Oktober 1999.
Dalam arsip Kompas, 3 Oktober 1999, diberitakan, ”Seluruh peserta Sidang Umum MPR sepakat mengagendakan pemilihan presiden pada 20 Oktober 1999, sedangkan pemilihan wakil presiden pada 21 Oktober. Sidang Umum MPR akan mendengarkan pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie pada 14 Oktober malam, sesudah Badan Pekerja MPR melaksanakan rapat selama 6-14 Oktober.”
Selama Orde Baru, penetapan presiden di Indonesia selalu dilaksanakan pada bulan Maret.
Pada masa tersebut, pemilihan presiden dilaksanakan oleh anggota MPR. Terdapat 691 anggota MPR yang menggunakan hak pilihnya. Abdurrahman Wahid, Gus Dur, meraih dukungan 373 suara, sedangkan Megawati 313 suara. Lima suara menyatakan abstain (Kompas, 21/10/1999).
Segera setelah terpilih, menurut Tap MPR Nomor VI/MPR/1999 Pasal 21, presiden bersumpah atau berjanji di hadapan Majelis. Dengan dasar itulah, Presiden Abdurrahman Wahid langsung diambil sumpah sebagai Presiden pada tanggal ia terpilih sebagai presiden, 20 Oktober 1999.
Artinya, tidak ada alasan tertentu yang menunjukkan pentingnya tanggal 20 Oktober digunakan sebagai tanggal pelantikan presiden di Indonesia. Alasan yang ada adalah demi memenuhi aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Sebaiknya Oktober
Walaupun tak ada alasan tertentu, terdapat cerita yang sempat terekam dalam pemberitaan Kompas, 20 September 1999, tepat satu bulan sebelum pemilihan presiden.
Pada Minggu, 19 September 1999, sekelompok orang yang tergabung dalam Kelompok Kerja Editor mengadakan perbincangan dalam jamuan minum teh bersama di Jakarta. Beberapa tokoh hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain Akbar Tandjung, Marzuki Darusman, Abdillah Toha, Arif Arryman, Laksamana Sukardi, Faisal Basri, Muhaimin Iskandar, Kwik Kian Gie, Mochtar Buchori, dan Sabam Sirait.
Kesimpulan dari pertemuan tersebut adalah bahwa perlu segera diadakan pemilihan presiden.
Setelah Reformasi, pelantikan presiden di Indonesia dilaksanakan pada bulan Oktober.
Secara tegas, para tokoh dalam pertemuan tersebut menyatakan bahwa praktis, kegiatan pemerintahan sudah berhenti sekarang ini (September 1999). Indonesia dapat dikatakan berhenti. Mentalitas pegawai negeri rontok, birokrasi macet, bahkan sampai ke tingkat direktur jenderal. Ini karena tiadanya kepastian, hingga perlu segera ada pemilihan presiden. Tak jadi soal siapa yang menjadi presiden, tetapi harus ada kepastian (Kompas, 20/9/1999).
Rakyat dan dunia bisnis tak begitu mempersoalkan siapa yang jadi presiden, yang diperlukan adalah kepastian agar bisa ada ketenangan. Sebab, kalau negeri kita absen dari pemerintahan, ketidakpastian menjadi lebih membahayakan dasar-dasar dan persatuan negara. Bahkan, kalau pada Oktober ini tidak ada pemilihan presiden, bisa terjadi kekosongan dan krisis konstitusi (Kompas, 20/9/1999).
Artinya, menurut pandangan berbagai tokoh tersebut, terdapat faktor-faktor obyektif yang memerlukan pemilihan presiden dilakukan sekaligus pada SU MPR bulan Oktober 1999. Hal tersebut penting sekali untuk mengatasi ketidakpastian di bidang politik dan ekonomi.
Demi kepastian dan ketenangan
Sejauh mana pengaruh seruan yang disampaikan para tokoh bangsa tersebut terhadap kesepakatan MPR menetapkan tanggal 20 Oktober 1999 sebagai tanggal pemilihan presiden tidak ada yang dapat memastikan.
Yang pasti, seruan tersebut hanyalah salah satu dorongan moral dari para tokoh bangsa. Para tokoh bangsa tersebut juga tidak menunjukkan tanggal yang spesifik, 20 Oktober misalnya, sebagai usulan. Yang lebih penting adalah bahwa adanya presiden diperlukan demi kepastian dan ketenangan.
Sebegitu pentingnya kepastian pelantikan presiden, di AS, waktu pelantikan presiden masuk dalam Konstitusi dan dilaksanakan setiap tanggal 20 Januari, setelah tahun pemilihan presiden.
Hal tersebut tercantum dalam Amandemen 20 Konsititusi AS yang diratifikasi pada 23 Januari 1933. Perubahan tersebut dilakukan dengan tujuan memangkas waktu transisi pergantian presiden yang sebelumnya dilaksanakan setiap tanggal 4 Maret setelah tahun pemilihan presiden.
Oleh karena itu, sejak diratifikasi, kebanyakan presiden di AS dilantik pada tanggal 20 Januari dengan beberapa perkecualian, seperti Harry S Truman (12 April 1945), Dwight D Eisenhower (21 Januari 1957), Lyndon B Johnson (22 November 1963), Gerald R Ford (9 Agustus 1974), Ronald Reagan (21 Januari 1985), dan Barack Obama (21 Januari 2013).
Perkecualian tersebut biasanya terjadi karena pergantian presiden terjadi pada pertengahan masa pemerintahan sehingga harus diganti dengan presiden yang baru. Dengan kepastian tersebut, pelantikan presiden di AS menjadi saat yang ditunggu-tunggu dan dirayakan bersama oleh seluruh rakyat AS walaupun bukan hari libur nasional.
Sejauh ini, walaupun tanggal penetapan presiden di Indonesia tidak masuk konstitusi, pelaksanannya telah lima kali jatuh pada tanggal 20 Oktober. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari PKPU yang mendasarkan pada UUD 1945 tentang masa jabatan presiden selama lima tahun.
Terhadap suatu rutinitas dan kebiasaan, Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya, Minggu (20/10/2019), ingin mendobrak rutinitas dan di sisi lain meningkatkan produktivitas.
Ia bercerita, ”Pak ayo kita pindah lokasi, kalau kita tidak pindah, akan jadi kebiasaan dan itu akan dianggap sebagai aturan dan, bahkan, nantinya akan dijadikan seperti undang-undang.”
Apabila diterjemahkan dalam konteks tanggal pelantikan presiden, sepertinya tanggal pelantikan presiden di Indonesia tidak akan menjadi prioritas untuk dijadikan undang-undang, bahkan tidak akan dimasukkan dalam konstitusi.
Ajakan yang lebih penting dalam pelantikan presiden kali ini adalah bekerja semaksimal mungkin agar keberadaan pemerintah dan program-programnya benar-benar dirasakan oleh rakyat.
Akan tetapi, demi kepastian terselenggarannya pemerintahan di Indonesia, bukan tidak mungkin tanggal pelantikan presiden, suatu saat nanti, akan dimasukkan dalam konstitusi. (LITBANG KOMPAS)