Rangkap Jabatan Menteri Ancam Fokus Kerja
Pada awal periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, Presiden pernah menginstruksikan menterinya untuk tidak rangkap jabatan. Instruksi ini hendaknya dihidupkan kembali agar menteri bisa fokus pada tugasnya.
Sehari setelah dilantik, Presiden Joko Widodo memanggil sejumlah calon menteri kabinetnya ke Istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/10/2019). Di antara para calon menteri itu, tak sedikit yang menjabat posisi eksekutif di perusahaan dan pejabat teras partai politik. Dengan beratnya tugas menteri, dan juga mencegah konflik kepentingan, rangkap jabatan seharusnya dihindari.
Salah satu di antara calon menteri yang dipanggil adalah Wishnutama. Pria yang pernah menjadi Direktur Kreatif Upacara Pembukaan Asian Games 2018 itu saat ini masih tercatat sebagai Komisaris Utama PT Net Visi Media.
Seusai bertemu dengan Presiden, dia tak menampik ditawari jabatan menteri. Presiden Jokowi memintanya untuk membantu meningkatkan kemampuan kreativitas Indonesia. Tugas yang akan diembannya berhubungan pula dengan dunia pariwisata, seperti merancang acara-acara yang berdaya saing internasional. Atas tawaran tersebut, dia juga tak menolaknya.
Dia bahkan sudah berencana untuk mundur dari jabatannya di PT Net Visi Media. ”Ya, ya, segera resign,” katanya singkat.
Selain Wishnutama, Komisaris Utama Mahaka Media Group Erick Thohir yang bertemu Presiden Jokowi dan ditawari jabatan menteri juga menegaskan akan mundur dari perusahaan yang dia pimpin tersebut.
”Karena tak boleh conflict of interest (konflik kepentingan) tentu harus mundur meskipun berat secara pribadi,” kata Erick yang pada Pemilu Presiden 2019 dipercaya menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin.
Baca juga : Erick Thohir, Bos Media yang Merambah ke Giuseppe Meazza
Pendiri Gojek, Nadiem Makarim, figur lain yang dipanggil Jokowi dan juga ditawari jabatan menteri, bahkan menyatakan telah mengundurkan diri dari posisi chief executive officer atau direktur utama dari perusahaan rintisan terbesar di Indonesia tersebut. ”Saya sudah tidak ada posisi ataupun kewenangan apa pun di dalam Gojek,” ujar Nadiem.
Kesediaan mundur selain karena kesadaran atas beratnya tugas menteri dan upaya untuk mencegah konflik kepentingan, juga karena keharusan mereka mundur dari posisi komisaris atau direksi pada perusahaan swasta ataupun negara saat menjadi menteri sudah diatur oleh Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Baca juga : ”Berlian” di Genggaman Nadiem Makarim
Pasal 23 Huruf b UU Kementerian Negara menyebutkan, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris ataupun direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta.
Lantas, bagaimana dengan mereka yang menjabat sebagai pengurus partai politik? Di antara calon menteri yang dipanggil Presiden Jokowi ada Airlangga Hartarto yang kini masih menjabat Ketua Umum Partai Golkar. Selain itu, ada pula Prabowo Subianto yang menjabat Ketua Umum Partai Gerindra dan Edhy Prabowo yang menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Namun, saat ditanyakan apakah mereka akan mundur dari jabatan di partai politik, mereka menolak menjawab. Airlangga ataupun Prabowo memutuskan mengakhiri ruang wartawan untuk bertanya ketika muncul pertanyaan itu.
Dalam peraturan pemerintahan Pak Jokowi tidak ada keharusan melepaskan jabatan di partai, sementara di peraturan partai kami juga tidak ada aturan kalau menjabat di pemerintahan itu harus melepas jabatan pimpinan partai.
Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Christina Aryani dan Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, secara terpisah, mengatakan, tidak ada aturan yang bisa memaksa pengurus partai politik untuk mundur dari kepengurusan jika ditunjuk menjadi menteri.
”Dalam peraturan pemerintahan Pak Jokowi tidak ada keharusan melepaskan jabatan di partai, sementara di peraturan partai kami juga tidak ada aturan kalau menjabat di pemerintahan itu harus melepas jabatan pimpinan partai,” kata Sufmi Dasco Ahmad.
Baca juga : Saatnya Bekerja Lebih Keras
Namun, anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan, kader menyerahkan seluruh keputusan terkait masalah jabatan di partai kepada Prabowo. Hingga saat ini belum ada kabar bahwa Prabowo akan melepaskan jabatannya setelah menjabat sebagai menteri.
”Saya tidak tahu, apakah Pak Prabowo akan melepaskan jabatan fungsionalnya karena wewenang seutuhnya ada di tangan Pak Prabowo. Kami sebagai kader akan tegak lurus dengan keputusan beliau,” katanya.
Terkait kekhawatiran menteri yang rangkap jabatan dengan pengurus partai akan membuat kerja sebagai menteri terbengkalai, Christina membantahnya. Kinerja Airlangga selama menjabat Menteri Perindustrian pada periode pertama pemerintahan Jokowi dinilainya tetap berprestasi sekalipun rangkap dengan jabatan Ketua Umum Golkar.
”Ini membuktikan tidak ada masalah performa walau beliau menjabat ketum partai,” kata Christina.
Baca juga : Tunggu Telepon Terakhir...
Instruksi presiden
Catatan Kompas, pada awal periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, Presiden pernah menginstruksikan menteri kabinetnya untuk melepaskan semua jabatan di luar tugas utamanya sebagai menteri. Tujuannya tak hanya agar para menteri dapat berkonsentrasi sepenuhnya bekerja untuk rakyat, tetapi juga bebas dari beban dan kepentingan lain.
Imbas dari instruksi itu, Puan Maharani yang ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dinonaktifkan dari jabatannya di DPP PDI-P. Begitu pula Saleh Husen yang melepaskan jabatan sebagai pengurus Partai Hanura.
Adapun Nasdem sudah melarang kadernya yang ditunjuk masuk ke dalam kabinet untuk merangkap jabatan eksekutif partai, sebelum instruksi dari Presiden Jokowi. Awal periode pertama pemerintahan Jokowi, ada tiga posisi menteri yang diisi kader Nasdem.
Namun, di tengah perjalanan, instruksi itu tidak berlaku lagi. Akhir 2017, saat Airlangga Hartarto yang menjabat Menteri Perindustrian terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, Presiden membiarkannya untuk tetap rangkap jabatan. Kondisi ini sempat memantik reaksi dari partai politik lain yang kadernya harus nonaktif dari struktural partai karena menjabat menteri.
Tidak mudah
Peneliti Departemen Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan, idealnya memang setiap menteri tidak rangkap jabatan. Dengan demikian, menteri dapat fokus pada tugas negara yang telah diamanatkan kepadanya. Apalagi persoalan dan tantangan yang dihadapi bangsa saat ini dan ke depan sama sekali tidak ringan.
Baca juga : Pengamanan Ketat hingga Pidato Teknokratis: Jokowi Versi 2019
Akan tetapi, mewujudkan hal itu tidak mudah. Terlebih bagi mereka yang mengisi jabatan teras di partai politik.
”Idealnya seperti itu, tetapi pada praktiknya, pimpinan partai (yang menjadi menteri) tidak mau melepas posisi mereka di partai. Di sisi lain, mereka juga menolak untuk melepas tawaran jabatan menteri,” katanya.
Menurut Arya, pimpinan partai membutuhkan jabatan menteri untuk menjaga posisi tawar tetap tinggi di internal partai. Di sisi lain, dia melihat presiden membutuhkan menteri tetap dijabat kader partai tanpa harus melepas jabatannya di partai. Ini bisa jadi untuk memudahkan komunikasi presiden dengan partai politik pendukungnya.
”Mungkin karena Presiden bisa lebih nyaman dapat langsung berkomunikasi dengan ketua partai yang menjadi anggota kabinetnya,” kata Arya.
Baca juga : Prabowo Masuk Kabinet, Koalisi Jokowi-Amin Makin Gemuk
Pernyataan yang dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1961-1963) ini patut menjadi renungan para calon menteri Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, khususnya mereka yang menjadi pengurus partai politik. ”My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins (Loyalitas para partai politik berakhir saat loyalitas pada bangsa dan negara dimulai).”