Monolog Sariyem
Ini kesempatan terakhir saya untuk memberi tahu sampeyan bahwa OTT itu Organisasi Tanpa Toleransi, yang telah membunuh Bapak, Emak, dan saya. Jadi, sampeyan juga kudu hati-hati. Banyak OTT di jalanan Ibu Kota sekarang.
Perkenalkan (SAMBIL MEMBUNGKUK), kalau lagi ketemu pembaca elite begini, cukup panggil saya Sari. Keren, kan? Supaya ndak merasa terganggu dengan kondisi saya, inget saja nama-nama beken, seperti Desi Ratnasari atau Diah Permatasari.
Eh, ada juga Mayangsari, Ita Purnamasari, atau mungkin masih inget dong nama Anggita Sari? Itu lho yang dibilang bangga ketangkep sebagai PSK. Udah inget sekarang? Kalau masih lupa juga, mungkin inget nama Vanesa Angel, kan?
Nah, silakan lamunannya dilanjutin… yang jelas semuanya artis-artis yang langsing semampai, berkulit putih bersih, cantik, dan seksi. Dulu saya juga begitu lho. Beneran. Kalau belum juga yakin, tanya sendiri sama pembaca lain, deh….
Sebenarnya nama lengkap saya Sariyem. Kata Emak, berdasarkan rumus Phytagoras, yang menghitung arti nama dari nilai tiap huruf, Sariyem berarti ”kesempurnaan dan kebaikan” serta ”selalu berhasil dalam segala hal, cerdas, dan beruntung” dalam banyak hal. Yang terpenting juga, nah ini saya banget, ”taat beribadah, baik hati, dan sopan”.
Konon, kata Emak juga, nilai positif dalam nama Sariyem, tuh, 100 persen. Kata si Phytagoras, jarang lho ada nama punya nilai positif 100 persen, palingan cuma 65 atau 75, itu sudah baik. By the way, pada tahu ndak Phytagoras? Silakan pada googling, ya….
Rumus-rumusnya terbukti bener banget. Pasti sudah dengar, dong, berita tentang OTT bupati baru-baru ini. Sampeyan semua pasti ngerti juga arti kata OTT. Menurut kamus KPK, OTT berarti operasi tangkap tangan. Nah, di sini cerita saya itu dimulai. Dulu, sewaktu keadaan saya masih seperti para artis tadi, saya tuh pernah dijodohkan. Untung saya menolak.
Bagaimana ndak, saya kenalnya dia itu preman terminal, yang sejak dulu juga sudah tergabung dengan OTT. Makanya, saya agak-agak trauma kalau denger kata OTT. Sebagai preman, dia suka sikut sana-sini, andalkan tato di badan, menebar takut dan kegaduhan. Saya tahu, kok, ia berani bukan karena punya nyali, tetapi jadi bagian OTT tadi. Mau tahu apa itu OTT? Mari dengerin saya….
(SEPERTI MENDONGENG) Once upon a time in bulan Ramadhan. Emak bawa saya ke terminal kota. Maksudnya menjemput Bapak yang sudah beberapa hari ndak pulang. Sehari-hari Bapak berjualan buah yang ia dapat dari sekitar desa. Karena mungkin kualitas buahnya seadanya, sering kali dagangannya ndak laku. Kalau sudah begitu ia ndak pulang karena belum cukup mendapatkan uang.
Kami hidup miskin di kampung. Tidak punya sawah seperti orang lain. Dulu Bapak menjadi petani penggarap sawah orang gede. Namun, karena merasa pembagian hasilnya ndak adil dan daripada diperas terus-menerus, Bapak minta berhenti. Waktu itu, padi yang ditanam Bapak sebenarnya sedang akan berbunga. Jadi, mungkin tinggal tunggu waktu sekitar 2 bulan, padi sudah siap panen.
Namun, karena Bapak tersinggung dengan ucapan orang gedean yang bilang, ”Kamu orang kecil, masih untung aku beri makan. Kalau ndak, pasti jadi kere.” Bapak merasa harga dirinya diinjek-injek. Ia merasa selama ini justru ialah yang memberi makan keluarga orang gedean itu. Bapak ingin buktikan bahwa tanpa orang kecil, orang-orang gedean itu ndak bisa makan. Tanpa petani di desa, orang-orang kota akan kelimpungan karena ndak ada beras.
Sejak itulah Bapak bertekad jadi pedagang. Ia ingin sukses seperti Aburizal Bakrie, Chairul Tanjung, Dato’ Sri Tahir, Jakob Oetama, atau Surya Paloh yang sukses jadi pengusaha sekaligus politisi. Emak sebenarnya kurang setuju. Bapak ndak punya potongan jadi pengusaha sukses. Ia model petani kecil, yang tahunya menanam padi, ndak mungkin bisa berdagang.
Dunia dagang itu, kata Emak, penuh trik, harus bisa berspekulasi dan berani bertransaksi. Apalagi kalau jadi pedagang buah yang datangnya musiman. Sampeyan pasti tahu, kan, harga mangga indramayu di musim buah? Pasti selalu lebih murah dibandingkan dengan harga terasi karena tak jarang, kalau sudah musim, buah-buah itu membusuk di pohonnya.
Bapak ndak paham itu. Pokoknya pikirannya berdagang karena merasa terus diinjek-injek sebagai petani. Sampailah ia kemudian menjajakan buah di terminal kota. Emak tahu di sana banyak preman.
Sejak Bapak mulai berjualan, Emak sudah ingetin, ”Pak kowe harus siap nek jualan di terminal. Di situ banyak preman yang suka main palak. Jualan wae sing bener, kudu cari selamat. Kalau dipalak buahe, wis kasikan, sing penting isih urip…. Urip iku milik Gusti Allah, kowe musti mempertahankannya dengan cara apa pun, yo.”
Begitu selalu pesan Emak setiap kali Bapak berangkat ke terminal. Seperti biasa Bapak selalu manggut-manggut, entah dia turuti atau ndak. Emak selalu terlihat lebih tegar dan lugas dibandingkan Bapak.
Nah, ketika sampai di terminal, kami tanya sana-sini, siapa tahu ada yang melihat Bapak. Hampir semuanya menggeleng, sampai tiba-tiba datang seorang lelaki penuh tato seperti menyodok muka kami.
”Ibu dan Mbak ini mencari Wak Dullah, kan? Tenang, Wak Dullah dalam kondisi sehat. Kemaren memang sempat sakit, tetapi kami mengantarkannya ke dokter,” katanya. Perkataannya sangatlah sopan untuk ukuran orang yang penuh tato.
Terus saya tanya saja, ”Sampeyan ini siapa? Ada apa dengan Bapak saya? Di mana Bapak sekarang. Ini Emak cemas sejak Bapak tidak pulang. Apakah sampeyan yang menyembunyikannya? Kok, sampeyan tega-teganya sama orang tua? Saya tahu sampeyan ini preman, itu buktinya penuh tato. Kalau mencari korban pilih-pilih dong, setidaknya jangan orang tua yang sudah ndak berdaya. Preman juga mesti punya etika lho, paling ndak etika perpremanan di terminal. Kalau sampeyan terus gini prilakunya, pasti ndak bisa jadi preman yang sukses.”
Ketika saya berondong si preman dengan pertanyaan, Emak mencubit lengan saya. Kalau kemudian saya berhenti memberondongnya, bukan karena dicubit Emak, melainkan karena tiba-tiba Bapak muncul dari kamar mandi umum terminal. Badannya kelihatan segar dan sehat. Emak memandanginya dalam-dalam sambil terheran-heran.
”Pak’e, Bapak tidak apa-apa, kan?” tanya Emak. ”Apa betul Pak’e pergi ke dokter?”
”Pak,” kata saya, ”Jangan ikut-ikutan jadi preman. Apa Bapak dikasi makan sama si Preman di sini?” tanya saya.
Bapak hanya mengangguk. Duh, dalam hati saya gregetan. Berarti Bapak sudah ikut makan uang hasil memalak di terminal? Bapak diam saja. Kata-kata yang paling menyentak darinya, ”Nduk, Bapakmu bisa bertahan hidup di terminal karena dia. Bapak berutang budi kepadanya.” Utang budi? ”Kenapa Bapak ndak pulang to, Pak?”
Bapak bilang ia sakit, jadi ndak mungkin bisa pulang. Katanya si Preman itulah yang merawatnya di kamar kosan-kosan dekat terminal. Sikap saya sebenarnya mulai sedikit berubah kepada si Preman. Tetapi, sesungguhnya sejak tadi matanya jelalatan, seolah ingin memergoki tubuh saya telanjang.
Cepat-cepat saya bilang sama Bapak, ”Ayo, Pak, kita pulang….” Si Preman tiba-tiba berkata, ”Tidak semudah itu dong, Mbak. Mbak Sariyem, kan?” Kok tahu, tanya saya. Kata dia, Bapak telah bercerita bahwa ia punya anak gadis bernama Sariyem, ndak cantik-cantik amat, tetapi kembang desa yang diincar banyak kumbang kampung. Pada bagian ini, saya bangga sama Bapak.
Si Preman berkata lagi, Bapak benar, ia berutang budi kepadanya. Selama ini Bapak sudah banyak meminjam uang kepadanya. Seluruh uang yang dibawanya pulang saban berjualan buah di terminal sebenarnya uang pinjaman dari si Preman.
Saya meloncat sambil menjerit. ”Apa benar Pak?” Bapak cuma diam seribu bahasa seperti biasa. Benar kata Emak, Bapak ndak mungkin bisa berdagang, ia hanya akan jadi sasaran para preman seperti si penuh tato itu.
Saya memberanikan diri bertanya, berapa utang Bapak. Tak hanya uang, katanya, Bapak juga berutang nyawa kepadanya. Dengan pongah, ia bahkan bilang kalau Bapak telah berjanji menjodohkan saya dengan si Preman. Cuihhh…. Mana sudi aku bersanding dengan preman terminal.
Oh my God. Sampeyan jadi tahu kan sekarang, premanisme itu dimulai dari terminal merasuk ke jajaran pemerintahan, sampai juga akhirnya di parlemen. Biasanya bahkan premanisme mengawali tindakan korupsi. Perilaku saling memeras itu seperti lingkaran setan.
Bayangkan, dalam sepekan saja sudah terjadi OTT dua kepala daerah. Kadang, yo, aku sedih melihat kenyataan begini. Tapi bisa apa aku orang kecil, menyelesaikan masalah Bapak saja belum tentu bisa.
Kata si Preman, sewaktu ada OTT yang beroperasi di terminal, saat bulan Ramadhan, seluruh dagangan Bapak diobrak-abrik. Para anggota OTT konon mengamuk membawa pedang dan menyapu seluruh pedagang terminal, terutama pedagang makanan.
Baca juga: Pasar Kejujuran
Sampeyan pasti ingin bertanya, kan, apa itu OTT yang dimaksud si Preman. Nanti saja saya jelasin, yang jelas organisasi ini merasa mewakili Tuhan di Bumi, lalu atas nama dalil-dalil perintah Tuhan itu, ia selalu melakukan penertiban di jalan-jalan dengan cara yang sama sekali ndak tertib. Lama-lama para anggota OTT ini merasa jadi Tuhan, dan karena itu berhak melarang, menertibkan, dan bahkan jika perlu membunuh orang-orang yang ndak mau menuruti perintahnya.
Oh, duh Gusti, kami ini orang kecil, kenapa negeri yang dulu tata tentrem kerta raharja ini dalam sekejap tiba-tiba berubah jadi arena pengklaiman kebenaran. Rasanya, kepengen kembali ke masa lalu, di mana persaudaraan jauh lebih penting ketimbang sekadar perbedaan keyakinan.
Saya rasa sampeyan pasti inget, toh, gimana dulu kita amat santai menyikapi perbedaan. Saya ndak tahu di mana, ya, sesatnya bangsa ini, tiba-tiba seluruh umatnya gemar banget menggunakan dalil-dalil agama untuk meniadakan orang lain. Tuh, kan, kalau kayak gini, aku jadi sentimentil lho. Udahan, ya, ceritanya.
Eh, tapi sore itu, tiba-tiba bergerak serombongan orang. Mereka menyepak para pedagang di sepanjang trotoar. Bahkan, beberapa di antaranya menghunus pedang sambil berteriak-teriak. Dalam waktu sekejap, serombongan orang itu memasuki terminal. Seluruh barang dagangan diobrak-abrik.
Baca juga: Peristiwa-peristiwa Berjejalan
Teriakan-teriakan lirih para pedagang tertelan pekikan-pekikan penuh kebencian walau menyebut nama Tuhan berkali-kali. Tak berapa lama mereka mengamuk di terminal. Aneh, si Preman turut pula mengamuk. Ia menendang-nendang Bapak dan Emak. Ketika saya berusaha menolong mereka, si Preman berteriak bilang, ”Kalian kafir!” Ia terlihat menghunus pedang dari balik punggungnya. Dalam sekejap semuanya kemudian gelap.
Saya baru sadar setelah bertemu sampeyan di sini. Ini kesempatan saya terakhir kali untuk memberi tahu sampeyan bahwa OTT itu Organisasi Tanpa Toleransi, yang telah membunuh Bapak, Emak, dan saya…. Jadi, sampeyan juga kudu hati-hati sepulang dari sini, ya. Banyak OTT di jalan-jalan Jakarta sekarang… (Selamat malam, terima kasih. Sampai jumpa di akhirat nanti, inget ya cari Sariyem. Masih percaya rumus Phytagoras?).