Tak ada kesimpulan lain bagi Ayikaka; Bapaknya pasti sudah gila. Di atas tanah warisan leluhur mereka yang demikian luas, Bapak berencana membangun sebuah rumah. Hanya sebuah. Padahal jika seperempat saja dari luas tanah itu dibangun perumahan, mereka bisa hidup santai dari hasil menyewakan rumah-rumah itu kepada para pekerja yang datang dari lain kota. Usul itu sudah disampaikan Ayikaka ketika dia, bersama tiga saudaranya, mendengar rencana Bapak. Hanya kepala yang manggut-manggut jadi jawaban. Selanjutnya Bapak kembali membayangkan apa yang akan dilakukannya dengan rumah yang sudah pasti terlalu besar itu. ”Di lantai paling tinggi, aku akan tempatkan berbagai jenis burung. Mereka bisa bebas terbang, membuat sarang, tidur, atau bertelur. Takkan ada anak-anak nakal atau pemburu dengan bedil terkokang. Mereka aman di rumah kita. Di lantai tengah, hewan-hewan lain boleh berumah. Lantai tengah ini akan jadi alam bebas, seperti kawasan cagar yang kita lihat di televisi. Serangga dan tanaman bisa sesukanya memilih mau tinggal di lantai tengah atau lantai paling tinggi. Dan kita; aku, ibu kalian, dan kalian semua akan tinggal di lantai paling bawah….”
”Stop!” pangkas Ayikaka. ”Bapak sudah gila! Membayangkan rumah seluas itu saja hampir tak masuk di akal saya, apalagi membayangkan semua binatang tinggal bersama. Saya kira satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah membawa Bapak ke rumah sakit. Mungkin syaraf Bapak kejepit karena telanjur makan jamur beracun.” Mendengar amarah anaknya, Bapak kembali manggut-manggut sambil membelai-belai janggut. Sementara tiga putranya yang lain hanya terdiam. Mungkin mereka teringat peristiwa beberapa waktu lalu.
Saat itu, Bapak sedang panen jamur. Satu jenis jamur yang belum pernah dibudidayakan sebelumnya. Jamur itu tak sebesar jamur merang, warnanya tidak putih kusam, melainkan ungu terang. Bapak menemukan jamur jenis itu tumbuh liar di hutan. Lalu dengan penuh keyakinan ia mempelajarinya dan lalu mengembangkannya di kebun belakang. Kata Bapak jamur ungu punya khasiat tertentu, terutama untuk ketenangan pikiran. Dan siapa pun tahu ketenangan pikiran adalah kunci umur panjang. Pada panen pertama itu Bapak meminta istrinya untuk membuat sup jamur. Seperti yang sudah diperkirakan, sup itu enak benar rasanya. Jamurnya gurih dan terasa hangat di badan. Tapi yang tidak diketahui Bapak adalah ternyata jamur ungu punya efek samping apabila dimakan terlalu banyak. Maka hari yang menggembirakan itu berubah jadi hari yang memalukan, ketika si bapak, karena mabuk jamur, berjalan ke luar rumah tanpa mengenakan pakaian. Untung saja ia belum berjalan terlalu jauh, putranya yang nomor tiga menggelandangnya pulang setelah sebelumnya menutup tubuhnya dengan selimut.
Satu-dua orang perambah yang terlambat pulang sempat melihat si bapak berjalan telanjang. Maka menyebarlah cerita itu sampai ke kota. Di pasar ramai orang menggunjingkan. Perempuan-perempuan tua dan gadis-gadis remaja terkikik-kikik membayangkan sesuatu dari cerita itu. Sesungguhnya jamur ungu memang berkhasiat, itu disampaikan putra bungsu si bapak yang bekerja sebagai kerani di balai konservasi, hanya saja harus ditakar penggunaannya. Penanaman jamur ungu dihentikan atas saran si bungsu. Setelah itulah muncul gagasan si bapak membuat rumah besar.
Si bungsu membela bapaknya, kepada Ayikaka ia berkata bahwa gagasan itu mulia. Saudara-saudaranya paham pada pembelaan itu, mereka tahu si bungsu adalah pecinta alam, aktivis lingkungan, selain sebagai seorang pekerja di balai konservasi. ”Krisis dunia disebabkan oleh kerusakan alam,” kata si bungsu menjelaskan, ”Manusia sudah terlalu banyak melakukan kerusakan. Hutan-hutan dirambah, ditebang pohon-pohonnya, hewan-hewan langka diburu, diperjualbelikan. Sudah banyak spesies yang punah akibat ulah manusia. Ekosistem alam berantakan. Ditambah pula pembangunan gila-gilaan yang menimbulkan rumah kaca dan polusi udara, akibatnya suhu bumi meningkat. Kita seperti sedang mempercepat kiamat.”
Mendengar kata kiamat, putra ketiga yang bekerja di Badan Penanggulangan Bencana milik negara jadi tergugah pikirannya. Kepada Ayikaka ia turut berkata, ”Aku setuju. Apalagi kita berada di daerah yang rawan bencana. Setiap saat gempa bumi dan tsunami bisa tiba. Belum lagi bencana musiman seperti banjir atau kebakaran hutan. Ingat, tahun lalu banjir datang karena hutan-hutan di atas sana mulai ditebang. Rumah besar yang akan kita bangun bisa jadi tempat kita berlindung. Tentu rumah harus dirancang tahan gempa dan bencana lainnya.”
Putra kedua, yang seorang guru agama, tampaknya juga setuju dengan kedua saudaranya. ”Tuhan telah memerintahkan kita jadi manusia yang bertakwa, yaitu manusia yang mengerjakan kebaikan dan menghindari kejahatan. Sebagai khalifah, pemimpin di muka bumi, manusia harus bisa menjaga alam, bukan merusaknya. Binatang dan tumbuhan juga ciptaan Tuhan, mesti kita beri kasih sayang. Pernah dengar kisah seorang perempuan yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing? Kita bisa petik hikmah dari kisah itu, apabila kita menyebarkan kasih sayang, bahkan kepada hewan dan tumbuhan, surga akan jadi ganjarannya.”
”Iya iya,” ujar Bapak. ”Sebenarnya rencana Bapak membuat rumah itu juga atas perintah Tuhan. Dia berbisik pada Bapak pada suatu malam….”
”Stoooop!” teriak Ayikaka. ”Kalian sudah gila semua. Apakah kalian juga ikut-ikutan makan jamur sialan itu?”
Pada saat itu Ibu mereka muncul dari ruang dalam. Ia berjalan tergopoh-gopoh.
”Ayikaka!” serunya. ”Kau kenapa sih teriak-teriak.”
”Lihat, Bu. Bapak sama mereka semua ini sudah gila. Masak mereka mau bangun satu rumah di tanah luas warisan leluhur kita. Bayangkan, satu rumah saja! Untuk apa coba? Kalau dijadikan perumahan terus dijual atau disewakan, bukankah lebih menguntungkan?”
”Kau ini,” kata ibunya menghela napas. ”Coba kau tengok dirimu sendiri. Kau anak paling besar tapi kalah sama adik-adikmu. Harusnya kau jadi panutan buat mereka. Lihat, mereka sudah kerja semua.”
”Loh, kerja tidak harus menghasilkan uang, Bu.”
”Bukankah rencana Bapak tadi juga tidak untuk menghasilkan uang? Malah kau yang berpikir soal keuntungan,” kata si bungsu. Merasa terjebak oleh ironi kata-katanya sendiri, Ayikaka mencoba berkelit, tapi ia tak menemukan jalan. Mau memaki ia takut kena kutuk, apalagi kutuk ibunya. Kutuk ibu bisa membuat seorang anak menjadi batu. Dan Ayikaka tak pernah sedikit pun bercita-cita menjadi batu. Untuk menghindari pertengkaran lebih panjang, Ayikaka segera keluar.
Tidak seperti budidaya jamur ungu, rencana pembangunan rumah tetap dilanjutkan. Si bapak yang punya bakat terpendam di bidang arsitektural bahu-membahu bersama ketiga putranya, merancang bentuk rumah. Semakin lama mereka semakin percaya bahwa rencana itu lebih dari sekadar rencana biasa. Ini adalah revolusi, perjuangan menyelamatkan umat manusia. Lantas mereka merasa perlu mengabarkan pada semua orang.
Si bungsu menghubungi sejumlah lembaga yang mengurus persoalan lingkungan. Ia juga rajin mengumpulkan data dan menyampaikannya pada siapa saja, bahwa kerusakan alam sudah benar-benar parah dan manusia terancam bahaya. Putra ketiga juga giat menyebarkan informasi perihal potensi bencana di kawasan mereka dan semua orang harus sudah mempersiapkan diri. Sementara putra kedua, si guru agama, mengingatkan pada setiap kesempatan bahwa manusia sudah berada di akhir zaman. Meskipun banyak yang menganggap rencana itu berlebihan, tetapi ada saja yang percaya dan bersedia membantu mereka.
Hanya Ayikaka yang tak turut serta, dia bahkan semakin yakin bahwa Bapak dan saudara-saudaranya memang sudah gila.
Setelah delapan puluh hari bekerja, akhirnya rancangan rumah besar itu selesai. Rancangan lalu di pasang di dinding. Bapak dan ketiga putranya menatap dengan mata berbinar. Tak berapa lama kemudian mata-mata itu berlinangan oleh rasa haru. Rumah itu dirancang sehingga berbentuk seperti perahu yang sangat besar, semacam bahtera yang disiapkan untuk berlayar. Si bungsu membayangkan betapa banyak bibit tanaman dan hewan yang bisa diselamatkan. Putra ketiga berpikir bahwa rumah perahu itu adalah teknologi mitigasi tingkat tinggi. Putra kedua mengucap syukur karena yakin bahwa mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, yang akan selamat dari azab.
Sementara Bapak, sambil manggut-manggut dan mengelus janggut membayangkan dirinya adalah nakhoda bahtera itu, berlayar jauh, membawa dan menyelamatkan keluarganya, juga orang-orang yang percaya. Ia terus manggut-manggut. Tapi sebersit kesedihan tiba-tiba melintas di hatinya, dia ingat pada Ayikaka yang jelas tak mau ikut serta. Ia membayangkan putra sulungnya itu tenggelam bersama mereka yang tak percaya. Sesungguhnya, meski durhaka, Ayikaka adalah putra yang paling dikasihinya.
_____________________________
Kiki Sulistyo meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017). Ia mengelola Komunitas Akarpohon di Mataram, Nusa Tenggara Barat.