Wasiat Ibu
Setahun silam, adik kandungnya itu kabur dari rumah. Semua bermula saat ibu menentang keras keinginan Nurma yang hendak meminta restu menikah dengan Leo, lelaki teman kuliahnya.
Berkat petunjuk Leni, akhirnya Tia berhasil menemukan alamat rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal Nurma. Ah, bukan. Lebih tepatnya, tempat Nurma mengasingkan diri dari keluarga dan orang-orang yang selama ini dikenalnya. Setahun silam, adik kandungnya itu kabur dari rumah. Semua bermula saat ibu menentang keras keinginan Nurma yang hendak meminta restu menikah dengan Leo, lelaki teman kuliahnya.
Tak ada alasan khusus yang disampaikan ibu perihal ketidaksetujuan hubungan Nurma dengan Leo yang baru beberapa bulan menyandang gelar sarjana berhasil diterima bekerja di sebuah bank swasta. Ibu hanya bilang tak setuju. Itulah yang dijadikan alasan mendasar oleh Nurma untuk kabur dari rumah. Ia ingin memperjuangkan hubungan asmaranya dengan Leo, lelaki yang sangat ia cintai dan setahu Nurma juga sangat mencintainya.
Tempo hari, di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini Tia bertemu secara tak sengaja dengan Leni, salah satu sahabat Nurma semasa kuliah. Mulanya Leni tetap bersikukuh tak mau memberitahukan alamat Nurma, sebab ia sudah pernah berjanji pada Nurma akan merahasiakan keberadaan dirinya pada siapa pun. Namun setelah Tia menceritakan bahwa ibu Nurma telah tiada, hati Leni pun luluh.
***
“Mbak Tia?” Nurma kaget bukan main saat membuka pintu rumah kontrakan mendapati kakak kandungnya berdiri di depan pintu sambil tersenyum hangat. Dari sorot mata dan raut wajahnya, Tia tahu, Nurma tak hanya kaget melihat kedatangannya tapi juga ada binar rindu di sana. Sama seperti Tia yang begitu lama merindukan kehadiran Nurma. Meski Nurma berusaha menyembunyikan rasa rindu itu karena, ya, tentu saja ia merasa gengsi.
“Pasti Leni!” geram Nurma.
“Ehm, boleh Mbak masuk? Kita ngobrol di dalam…,” Tia berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Nurma mendesah pelan dan akhirnya mengangguk pasrah.
***
“Gimana kabarmu, Nur?” tanya Tia saat keduanya telah duduk di ruang tamu sederhana di rumah kontrakan Nurma.
“Seperti yang Mbak lihat,” balas Nurma datar. Tia pun tersenyum saat melihat kondisi fisik adiknya yang meski agak kurus dibanding setahun silam, tapi tampaknya tak ada yang bermasalah. Kendati bila dilihat dari rautnya, Tia bisa membaca seperti ada hal-hal yang sengaja disembunyikan. Terka Tia, mungkin saat ini adiknya sedang ada sedikit persoalan yang belum teruraikan. Ah, kedatangan Tia ke sini pun ia yakini akan semakin menambah persoalan bagi Nurma.
“Kabar Mbak Tia sendiri dan Mas Adit?” Nurma balik bertanya.
“Kabar Mbak dan Mas Adit juga baik,” Tia tersenyum tipis.
Keduanya terjeda hening sejenak. Di satu sisi, Tia bingung hendak mulai bicara dari mana. Sementara Nurma juga merasa canggung. Ya, Nurma merasa canggung karena kepergiannya dari rumah saat itu pasti telah merepotkan banyak orang, terlebih ibu, Mbak Tia, dan Mas Adit. Ah, Ibu, bagaimana kabarmu sekarang? Gumam batin Nurma.
“Ka… bar I.. bu juga baik, kan?” terbata dan agak ragu Nurma menanyakan kabar ibu. Jujur, meski masih kesal, Nurma sebenarnya sangat merindukan ibu, satu-satunya orangtua yang masih tersisa. Bapak telah meninggal dunia saat Nurma masih duduk di bangku SD kelas dua.
Kali ini raut Tia berubah pias. Tapi sekilas. Ia berusaha tersenyum dan terlihat tegar di mata Nurma. Setidaknya untuk beberapa menit ke depan.
“Nur, Mbak haus, nih, bisa ambilkan air?” jujur Tia memang haus sejak tadi, dan alasan meminta air pada adiknya dirasa tepat, tentu saja selain alasan untuk mengulur waktu.
“Ya ampun. Maaf Mbak, Nurma sampai lupa belum bikin minuman,” sahut Nurma sambil gegas berdiri.
“Air putih saja, Nur,” Tia tersenyum dan langsung dibalas anggukan Nurma.
***
“Kabar Ibu baik kan, Mbak?” Tia kembali mengulangi pertanyaannya tepat ketika Tia baru saja meletakkan gelas yang barusan ia minum beberapa teguk ke atas meja. Tia menghela napas. Mengembuskannya pelan. Berusaha sekuat tenaga membendung rasa sedih yang masih mengoyak jiwa usai wafatnya ibu seminggu lalu.
“Ibu…,” Tia menghentikan kata-katanya. Betapa berat untuk mengatakan semua pada Nurma. Meski sudah berusaha ditegar-tegarkan, nyatanya itu tak mudah baginya.
“Ibu kenapa, Mbak? Sakit?” sahut Nurma tak sabar dengan raut diremas rasa cemas.
“Nurma, Ibu sudah… wafat. Se…minggu lalu,” Tia memalingkan wajah. Ia tak kuasa menatap raut adiknya yang ia yakini pasti langsung syok. Wajah Tia menengadah, berupaya menahan buliran hangat yang tiba-tiba menyerbu kelopak. Sayang, upayanya gagal total. Dalam sekejap kedua pipi Tia telah basah oleh air mata.
Nurma langsung menangkupkan tangan ke mulutnya. Kedua bahunya berguncang hebat. Dalam hitungan detik, air mata Nurma pun tumpah, membasahi kedua pipi. Kenangan pahit dan manis saat masih bersama ibu kembali menyeruak benaknya.
***
Nyaris setengah jam Nurma tergugu dalam diam. Setelah agak tenang, Tia pun kembali melanjutkan obrolan. Menurut Tia, ibu sakit-sakitan dua bulan terakhir ini. Sakit terparah ketika ibu terjatuh di kamar mandi. Saat dilarikan ke rumah sakit, nyawa ibu tak sempat tertolong.
“Ketika Ibu wafat, Mbak sudah berusaha mencari keberadanmu melalui teman-temanmu, tapi tak satu pun yang mengetahui alamatmu. Bahkan, jauh sebelum Ibu sakit-sakitan, berkali-kali Ibu menyuruh Mbak untuk mencarimu sampai ketemu,” lanjut Tia.
Kata demi kata yang meluncur dari bibir Tia, kian membuat Nurma diremas rasa bersalah pada ibu. Selanjutnya, Nurma memilih jadi pendengar yang baik. Tak sedikit pun ia menyela cerita kakaknya. Karena memang tak pantas baginya menyela, apalagi mencari pembenaran atas apa yang pernah terjadi di masa silam. Tentu saja Nurma tak mungkin menyalahkan Mbak Tia dan Mas Adit yang tak memberitahu perihal wafatnya ibu, sebab Nurma sendirilah yang mengasingkan diri. Leni, satu-satunya sahabat yang tahu keberadaan dirinya pun telah jauh-jauh hari diminta Nurma agar merahasiakan keberadaannya. Kini, Nurma baru menyadari mengapa Leni akhirnya membocorkan rahasia itu.
***
Nurma meraih amplop putih yang barusan diulurkan oleh Tia. Nurma menatap Tia dengan sederet tanda tanya. Rupanya Tia mampu membaca tanya di benak adik semata wayangnya itu.
“Surat itu diberikan Ibu seminggu sebelum wafat. Bahkan, aku sendiri belum tahu isinya apa dan memang aku enggak berhak mengetahui isinya. Karena itu hanya ditujukan untukmu,”
Tak sabar, Nurma segera membuka amplop tersebut. Tangannya bergetar saat meraih dan membuka lipatan surat dalam amplop.
Kepada putriku,
Nurma yang Ibu sayangi.
Apa kabarmu, Nak?
Semoga ketika kamu membaca surat ibu ini, kamu dalam keadaan baik-baik tak kurang suatu apa. Ketika kamu menerima dan membaca surat ini, kemungkinan besar Ibu sudah… tiada.
Tangan Nurma bergetar. Air matanya kembali merembesi kedua pipi, lalu jatuh, menetesi kertas yang tengah ia baca. Maafkan, Nurma, Bu. Nurma bergumam dalam hati. Rasa sesal kembali menyeruak dalam relung jiwanya. Ia benar-benar menyesal tak bisa bertemu ibu untuk terakhir kali. Nurma menyeka air mata di pipi dengan telapak tangan sebelum akhirnya melanjutkan membaca surat ibu.
Nak, maafkan Ibu yang pernah bersikap egois. Harusnya waktu itu Ibu langsung mengungkapkan alasan mengapa Ibu tak menyetujui keinginanmu untuk menikah dengan Leo. Ah, tapi sudahlah. Semua sudah terlambat. Tapi setidaknya, melalui surat ini, Ibu sudah berusaha menjelaskannya.
Jadi begini. Sehari sebelum kamu datang bersama Leo dan mengatakan ingin menikah dengannya, Ibu dan Tia bertemu Pak Rudi dan Leo. Waktu itu Ibu baru keluar belanja dan mendapati mereka sedang berada di depan minimarket. Sebenarnya Ibu berpura-pura tak melihat Pak Rudi tapi sayangnya dia sudah telanjur melihat keberadaan Ibu.
Oiya, Pak Rudi adalah mantan pacar Ibu saat masih kuliah di Jogja. Pak Rudi pun menghampiri Ibu, menanyakan kabar bla-bla-bla. Sampai di sini kamu tentu bisa menebaknya. Ya, Ibu melarang kamu menikah dengan Leo hanya gara-gara dia anak mantan pacar Ibu. Mantan yang dulu pernah mengucap janji manis akan menikahi Ibu tapi ternyata tak terbukti. Dia meninggalkan Ibu dan menikahi perempuan pilihan orangtuanya. Ah, Ibu benar-benar egois.
Nurma yang egois, bukan Ibu. Teriak batin Nurma.
Nak… kini Ibu sadar bahwa tak seharusnya Ibu menghalangi keinginanmu untuk menikah dengan Leo. Masa lalu Ibu tak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Ibu ikhlas dan merestui hubungan kalian. Ibu hanya bisa mendoakan semoga kalian bahagia, Nak.
Sayangnya, semua sudah terlambat, Bu. Batin Nurma kembali menjerit. Kami memang telah menikah secara siri sepuluh bulan silam. Tapi Leo telah pergi meninggalkanku. Tepatnya sebulan lalu, ketika aku memergoki Leo sedang berduaan dengan selingkuhannya yang ternyata rekan kerjanya. Ternyata, dia lebih memilih perempuan itu dan meninggalkan aku.
Nak, untuk yang terakhir, Ibu berpesan, tetaplah menjaga hubungan baik dengan Adit dan Tia. Mereka adalah saudara kandungmu yang tersisa saat Ibu telah tiada. Jangan sekali-kali memutuskan hubungan tali silaturahmi dengan mereka ya, Nak.
Tangis Nurma pecah saat membaca baris terakhir pesan ibu. Pesan yang menjadi wasiat terakhir beliau. Pasti, Bu. Pasti Nurma akan selalu menjaga hubungan tali silaturahmi yang pernah terputus dengan Mbak Tia dan Mas Adit gara-gara kebodohan yang pernah kulakukan. Nurma bergumam dengan air mata yang terus melelehi kedua pipinya.
***
Hari itu juga Nurma memutuskan untuk meninggalkan rumah kontrakannya dan kembali pulang ke kampung halaman bersama Tia. Tak sabar ia ingin menziarahi makam ibu dan memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuatnya. Toh, sudah tak ada yang perlu diperjuangkan bersama lelaki brengsek itu di sini. Jauh di dasar lubuk hati, Nurma merasa lega karena sampai saat ini belum merasakan ada tanda-tanda janin di dalam kandungannya.
“Enggak ada barang yang ketinggalan?” tanya Tia memastikan, sebelum Nurma mengunci pintu rumah kontrakan dan menyerahkan ke pemiliknya. Nurma berpikir sejenak, lantas menggeleng.
Saat keluar dari pintu pagar rumah tersebut, langkah Nurma sempat terhenti. Tadinya ia ingin menoleh ke belakang, memandangi rumah mungil bercat biru muda itu untuk kali terakhir, sekaligus mengenang kisah cinta yang berakhir tragis bersama Leo yang ia yakini gara-gara dulu tak direstui ibu. Tapi Nurma berubah pikiran. Ia mengurungkan niat untuk menengok ke belakang. Buat apa mengenang masa lalu yang menyakitkan? Nurma pun kembali melangkahkan kaki, bertekad akan menjadikan masa lalu kelamnya sebagai pelajaran berharga di masa depan.
***
Puring Kebumen, 5 Juni 2018.
*) Sam Edy Yuswanto, lahir dan mukim di Kebumen. Ratusan karyanya termuat di sejumlah media cetak lokal dan nasional antara lain: Republika, Pikiran Rakyat, Radar Surabaya, Lampung Post, Tabloid Nova, Majalah Kartini, dll. Buku kumcer solonya “Kiai Amplop” dan “Percakapan Kunang-Kunang” terbit tahun 2017 (LovRinz Publishing)