Presiden Joko Widodo menyadari, banyak yang kecewa dengan susunan Kabinet Indonesia Maju yang dilantik pada 23 Oktober lalu. Presiden minta maaf karena tidak bisa mengakomodasi semua usulan yang masuk.
Oleh
Rini Kustiasih dan Anita Yossihara
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menyadari, banyak yang kecewa dengan susunan Kabinet Indonesia Maju yang dilantik pada 23 Oktober lalu. Presiden minta maaf karena tidak bisa mengakomodasi semua usulan yang masuk.
Dari kebutuhan 34 menteri, Presiden menyatakan menerima usulan lebih dari 300 nama. ”Oleh sebab itu, saya sadar, yang senang karena terwakili hanya 34 orang. Yang kecewa berarti lebih dari 266 orang. Artinya, yang kecewa pasti lebih banyak daripada yang senang. Saya mohon maaf tidak bisa mengakomodasi semuanya,” kata Presiden saat pembukaan Musyawarah Besar Pemuda Pancasila, Sabtu (26/10/2019), di Jakarta.
Menyusun kabinet, lanjut Presiden, merupakan pekerjaan berat. Selain kemampuan, banyak hal lain yang juga harus dipertimbangkan, seperti latar belakang daerah, suku, agama, dan latar belakang profesional atau kader parpol. ”Tidak mudah menyusun kabinet, harus beragam karena memang Indonesia ini adalah Bhinneka Tunggal Ika,” kata Jokowi.
Konsolidasi
Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Agus Heruanto menuturkan, terlepas dari faktor kebutuhan dan beban kerja kementerian terkait, posisi wakil menteri (wamen) di pemerintahan bersifat politis. Sebagaimana menteri, wamen juga pejabat politik. Oleh karena sudah ada dua pejabat politik, agar tidak menambah beban pengambilan kebijakan di kementerian terkait, diperlukan pejabat birokrasi yang mengerti persoalan teknis.
”Posisi seperti direktur jenderal (dirjen) di jajaran birokrasi kementerian adalah contoh pejabat teknis yang menjalankan kebijakan menteri. Posisi itu sebaiknya diisi birokrat yang mengerti persoalan dan menjadi eksekutor teknis dari kebijakan kementerian,” kata Agus.
Untuk itu, ia berharap politisi atau partai politik tak ikut berebut menempatkan orangnya saat pengisian dirjen dan pelaksana lain di kementerian terkait, termasuk sekretaris menteri. Apabila jabatan teknis juga diisi oleh orang yang dipilih dengan pertimbangan politik, yang terjadi adalah kerancuan dan bukan tidak mungkin program pemerintahan tak bisa berjalan karena adanya konflik saat pengambilan kebijakan.
Dengan beratnya tantangan yang ada, jajaran kementerian harus cepat belajar dan bekerja. Pengambilan keputusan oleh pejabat politik harus cepat dieksekusi oleh jajaran birokrasi yang mengerti hal-hal teknis di lapangan.
Kerap kali pejabat teknis lebih paham persoalan daripada menteri. Oleh karena itu, untuk mengakselerasi pengetahuan menteri dan wamen, bisa juga dibantu staf ahli atau staf khusus. Tetapi, staf ahli atau staf khusus menteri ini tak perlu dimasukkan ke jajaran struktural agar tak memberatkan kementerian.
Anggota Tim Independensi Reformasi Birokrasi Nasional, Djohermansyah Djohan, mengatakan, penyederhanaan birokrasi sebagaimana disebutkan Presiden dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober lalu harus segera dilakukan. Rantai birokrasi yang panjang akan menyulitkan pengambilan kebijakan.