Industri tekstil dan produk tekstil nasional makin tertekan 10 tahun terakhir. Pelaku usaha berharap kebijakan pemerintah menumbuhkan industri dalam negeri. Bukan sebaliknya.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri tekstil dan produk tekstil nasional makin tertekan 10 tahun terakhir. Pelaku usaha berharap kebijakan pemerintah menumbuhkan industri dalam negeri. Bukan sebaliknya.
Sederet masalah melanda industri tekstil dan produk tekstil Indonesia. Penyelesaian permasalahan mesti menyeluruh dan melibatkan segenap pemangku kepentingan agar industri yang menyerap banyak tenaga kerja ini bisa berkembang.
”Pertumbuhan impor kain yang tidak diimbangi dengan ekspor garmen telah merusak industri kain, benang, dan serat (dalam negeri),” kata Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti dalam diskusi publik tentang industri tekstil di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Indef mencatat, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia hanya tumbuh 3 persen dalam 10 tahun terakhir, sementara impornya tumbuh hingga 10,4 persen. Surplus industri tekstil pun turun dari 5,04 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi 3,2 miliar dollar AS tahun 2018 turun.
Terkait penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil, Indef merekomendasikan sejumlah langkah. Pertama, impor tekstil dan produk tekstil mesti dilengkapi persetujuan dan pertimbangan dari kementerian teknis. Tujuannya menjaga kesesuaian volume dan jenis barang yang diimpor sehingga kebocoran terhindar.
Selain itu, industri dalam negeri perlu dilindungi, antara lain melalui bea masuk impor produk tekstil dan produk tekstil. ”Kemudian, benahi PLB (pusat logistik berikat). Parameter kualitas air limbah pun sebaiknya disetarakan dengan negara lain,” kata Esther.
Ironis
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia Suharno Rusdi berpendapat, pasar tekstil global diproyeksikan terus tumbuh dari 925,3 miliar dollar AS tahun 2018 menjadi 1,23 triliun dollar AS pada 2025. Di sisi lain, ada tantangan yang dihadapi industri tekstil dan produk tekstil Indonesia.
Ironisnya, utilisasi pabrik di dalam negeri rendah. ”Utilisasi industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia rata-rata hanya 49 persen. Artinya, banyak mesin yang tidak jalan,” kata Rusdi.
Sebagai perbandingan, utilisasi industri tekstil dan produk tekstil di China mencapai 78-80 persen, Vietnam 70-80 persen, dan Bangladesh 80-84 persen.
Ada beberapa penyebab daya saing industri tekstil Indonesia tertekan. Selain dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China, kelebihan pasokan tekstil di pasar China juga mengalir ke sejumlah negara, termasuk ke ASEAN dan Indonesia.
”Saya dengar dari orang-orang yang mengimpor kain dari China bahwa harga di gudang 60 persen lebih rendah daripada harga pasar di Indonesia. Sementara di pedagang perantara 40 persen (lebih rendah) dan di pedagang akhir 20 persen,” kata Rusdi.
Dalam kondisi seperti itu, produk dalam negeri sulit bersaing. Menurut Esther dan Rusdi, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil perlu direvisi. Regulasi itu dinilai belum mendukung pertumbuhan industri dalam negeri, tidak sejalan dengan semangat substitusi impor, dan lebih memfasilitasi impor.
Terkait itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan mengatakan, pihaknya belum bisa menyampaikan secara persis perubahannya. "Namun, Kementerian Perdagangan dan kementerian lain sudah membahasnya. Pastinya perubahan mengakomodasi keluhan pelaku usaha," kata Kasan.