Jauh sebelum Kabinet Indonesia Maju terbentuk, Presiden Joko Widodo gelisah karena kinerja investasi dan perdagangan internasional mengecewakan. Akankah menteri baru di sektor itu mampu mengurangi kegelisahan Jokowi?
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
Pada 19 Juni 2019, Presiden Joko Widodo melontarkan keresahannya tentang kinerja perdagangan dan investasi dalam rapat terbatas atau ratas di Kantor Presiden. Presiden Joko Widodo menilai, kinerja investasi dan perdagangan internasional mengecewakan. Padahal, dua hal itu merupakan kunci utama untuk menekan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
”Ini adalah ratas yang keenam. Mohon digarisbawahi, ini adalah ratas keenam yang terkait dengan keinginan saya untuk terobosan kebijakan di bidang investasi, ekspor, dan perpajakan. Menurut saya, sampai saat ini kebijakan investasi, urusan perizinan, tidak ada tendangan apa-apa,” ujar Presiden dalam pengantar ratas.
Mohon digarisbawahi, ini adalah ratas keenam yang terkait dengan keinginan saya untuk terobosan kebijakan di bidang investasi, ekspor, dan perpajakan. Menurut saya, sampai saat ini kebijakan investasi, urusan perizinan, tidak ada tendangan apa-apa.
Di sektor investasi, Presiden gusar karena Indonesia tidak terpilih sebagai lokasi ekspansi perusahaan-perusahaan China yang terkena dampak perang dagang Amerika Serikat-China.
Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara Asia Tenggara dalam hal menarik investasi. Dari 33 perusahaan asal China yang hendak berekspansi ke Asia Tenggara, sebanyak 23 perusahaan memilih Vietnam, sedangkan 10 perusahaan lainnya memilih berinvestasi ke Thailand, Malaysia, dan Kamboja. Hal ini menunjukkan masih ada persoalan dalam iklim investasi di Indonesia.
Khusus kinerja perdagangan, sektor ini sedang terkenda dampak pelambatan perdagangan global. Perang dagang AS-China disebut-sebut sebagai pemicu utamanya.
Perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi kian melambat dan berisiko memperburuk kualitas hidup.
Badan Pusat Statistik mencatat, defisit neraca perdagangan Indonesia pada Januari-September 2019 sebesar 1,94 miliar dollar AS. Defisit itu memang masih lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni 3,81 miliar dollar AS. Defisit ini bisa semakin tinggi jika perang dagang tak kunjung selesai dan Indonesia hanya melakukan langkah yang itu-itu saja.
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Roberto Azevedo juga memiliki kegelisahan yang sama tentang perdagangan dan investasi. Perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi kian melambat dan berisiko memperburuk kualitas hidup.
Sementara itu, pebisnis memilih menunda investasi dan mengurangi produksi. Hal ini akan berdampak pada pengurangan jam kerja, bahkan tenaga kerja.
Pada awal Oktober 2019, WTO memproyeksikan volume perdagangan barang pada 2019 hanya tumbuh 1,2 persen dan pada tahun depan 2,7 persen. Angka pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 2018 yang sebesar 3 persen. Pada Agustus 2019, proyeksi WTO masih 2,6 persen pada 2019 dan 3 persen pada 2020.
Bahkan, pada September 2019, Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya bertajuk ”New Index Tracks Trade Uncertainty Across The Globe” menyebutkan, tingkat ketidakpastian perdagangan global pada triwulan I-2019 melonjak hampir 10 kali lipat dari ketidakpastian perdagangan global dua dekade sebelumnya. Lonjakan tajam itu dapat memangkas pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,75 basis poin pada tahun ini.
Harga komoditas
Bank Dunia dalam Tinjauan Harga Komoditas pada 29 Oktober 2019 menyebutkan, harga komoditas dunia direvisi turun. Beberapa komoditas itu adalah minyak mentah, batubara, minyak kelapa sawit mentah, karet, dan logam.
Harga minyak mentah diproyeksikan rata-rata 60 dollar AS per barel pada 2019 dan 58 dollar AS per barel pada 2020. Harga batubara diperkirakan turun rata-rata 15 persen. Harga CPO pada 2019 dan 2020 diproyeksikan 575 dollar AS per metrik ton atau di bawah ambang batas pengenaan bea masuk, yaitu 750 dollar AS per metrik ton. Adapun harga karet mentah diperkirakan 1,65 dollar AS per kilogram pada 2019 dan 1,71 dollar AS per kg.
Hal ini menjadi tantangan perbaikan kinerja perdagangan Indonesia mendatang. Beberapa upaya telah dilakukan pada periode sebelumnya. Upaya-upaya itu, antara lain, meningkatkan perdagangan bilateral dan regional, membuka pasar-pasar baru, misi dagang, dan merampungkan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif.
Duet pimpinan di Kementerian Perdagangan perlu bekerja keras untuk membuat Presiden Joko Widodo tak lagi gelisah. Semoga ada terobosan kebijakan yang ”nendang”, seperti harapan Presiden. (Hendriyo Widi)