Sepenggal Kenangan Bersama Susi Pudjiastuti
“Ini Ibu Susi, Yo,” ujar Menteri Perhubungan Jusman Safeii Djamal. Ternyata, dialah Susi Pudjiastuti, sang pemilik pesawat, yang selama penerbangan duduk santai di kursi paling belakang. Itulah perjumpaan pertama kami.
Gempa bumi berskala 7,6 skala Richter mengguncang beberapa wilayah Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009) pukul 17.16. Kota Padang dilaporkan porak-poranda. Beberapa kabupaten di Sumatera Barat kondisinya ”gelap” tanpa ada informasi. Kompas memerintahkan saya terbang ke Padang naik pesawat pertama.
Ternyata, Rabu malam diinformasikan, pesawat komersial tidak diperbolehkan lepas landas dan mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Setidaknya, sampai dilakukan pengecekan terhadap landas pacu bandara itu.
Rabu malam itu juga saya mengontak Menteri Perhubungan (2007-2009) Jusman Safeii Djamal. Siapa tahu, beliau hendak terbang ke Padang. ”Datang saja ke Halim,” ujar Jusman, singkat.
Wakil Kepala Desk Ekonomi ketika itu, Banu Astono, juga ikut mengontak Pak Jusman. Singkat cerita, ternyata Kamis pagi itu, kami terbang ke Padang bukan dengan pesawat seperti Hercules, melainkan dengan pesawat kecil. Kapasitas angkutnya terbatas. Bahkan, ajudan dan humas Menhub pun harus ditinggal. Diskusi tentang siapa yang bisa ikut terbang terjadi dekat pintu masuk pesawat.
Bagi Kompas, gempa Sumatera Barat menjadi pelajaran. Ketika itu, Agnes Rita, wartawan Kompas di Sumatera Barat, dimutasi ke Jakarta. Namun, belum sempat ditunjuk penggantinya, terjadilah gempa Sumatera Barat.
Saya menjadi wartawan Kompas pertama yang diminta tiba sesegera mungkin di Padang. Terlebih lagi, wartawan Kompas dari Pekanbaru tak bisa memasuki Padang karena longsor di beberapa titik jalan.
Baca Juga : Susi Pudjiastuti dan Sepak Terjangnya
Pesawat kecil itu akhirnya mengangkut orang-orang penting di bidangnya. Ada Menteri Perhubungan, yang harus memastikan infrastruktur di Sumbar untuk tanggap darurat, ada orang dari Pertamina, PLN, Palang Merah, dan saya. Saya tetap diizinkan terbang oleh karena Pak Jusman sudah terlanjur berjanji dengan saya. Janji adalah janji.
Pemilik pesawat
Sebelum terbang, Pak Jusman mengenalkan seorang perempuan berambut ikal bercelana panjang. Apa spesialisasi dari ibu ini sehingga ikut terbang bersama kami? ”Ini Ibu Susi, Yo,” ujar Pak Jusman. Ternyata, dialah Susi Pudjiastuti, sang pemilik pesawat, yang selama penerbangan itu duduk santai di kursi paling belakang.
Bandara Internasional Minangkabau terletak di sisi utara Kota Padang. Setelah sedikit memutar dan mengamati runway dari udara, pesawat itu berhasil mendarat. Landasan pacu Bandara Minangkabau ternyata dalam kondisi baik.
Begitu turun, saya masih mendengar percakapan antara Susi dengan dua pilot bule-nya. Susi menginformasikan akan bermalam di Padang. ”Kami boleh enggak terbang ke Singapura, tidur di sana sebelum menjemput lagi?” ujar salah seorang pilot. ”Ya sudah terbang sana,” jawab Susi, sambil mengibaskan tangan.
Baca Juga : Buku Susi Pudjiastuti Untold Story
Situasi bandara cukup kacau. Saya bergegas mencari penanggung jawab Angkasa Pura untuk menanyakan kondisi bandara. Sementara Menhub dan rombongan lainnya berkeliling. Kami pun akhirnya terpisah. Tepatnya, saya ditinggal Pak Jusman. Padahal, dari Bandara Minangkabau ketika itu tidak ada angkutan umum menuju Padang.
Saya akhirnya boleh nebeng sebuah mobil instansi setelah mengungkapkan diri dari Kompas. Namun, Pak Jusman dan Bu Susi tak lagi saya jumpai hingga akhir tanggap darurat gempa Sumatera Barat. Saya juga tak sempat bertanya, mengapa hari itu kami terbang dengan pesawat milik Susi?
Pesawat jatuh di Papua
Bertahun-tahun tidak bertemu, Rabu (23/11/2011) siang, saya kembali bertemu Bu Susi. Kali ini, pertemuan berlangsung di kediamannya di Jalan Surabaya, Jakarta. Pertemuan itu untuk mewawancarai Susi setelah pada Rabu paginya, sebuah Cessna Grand Caravan Susi Air menghantam Gunung Wabu di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Sang pilot, Jessie Becker (31), yang berkewarganegaraan Selandia Baru, mengalami luka berat. Adapun kopilot Albert Gallego, yang berkewarganegaraan Spanyol, tewas. ”Korban meninggal sedang diurus untuk dipulangkan ke negaranya, sedangkan pilot kami yang mengalami luka sedang kami usahakan untuk dirawat di Australia,” kata Susi, ketika itu.
Roda Cessna itu sebenarnya sempat hendak menyentuh landasan pacu Bandar Udara Sugapa. Namun, karena ada anak kecil melintas, pilot terbang kembali ke arah kiri. Persoalannya, karena kurang tinggi, maka menabrak gunung. ”Menurut kebiasaan, untuk Bandara Sugapa, 200-300 meter menjelang pendaratan tidak bisa belok lagi. Harus mendarat,” ujar Direktur Operasi PT ASI Pudjiastuti, Christian Strombeck.
Wartawan kemudian sibuk mewawancarai Susi di kediamannya itu. Saya mendengar sepintas wawancara itu lalu duduk-duduk saja. Di lapangan, wartawan Kompas memang begitu. Tidak terlalu suka berkerumun, tetapi lebih senang menyendiri meski tidak semua wartawan Kompas juga begitu.
Pernyataan yang mengejutkan
Saat Susi tak lagi ”dikepung” wartawan, saya mendekat. Susi saat itu sedang memperhatikan layar besar yang memperlihatkan Bandara Sugapa. Seingat saya, tayangan visual itu ditampilkan oleh Google Maps.
Saya pun bertanya, ”Bu Susi, mengapa masih mau terbang di Papua? Risikonya besar sekali lho. Tidak tertarik terbang di rute biasa dengan jet saja?”
Susi pun menatap saya dengan dalam. Dia berkata, ”Kalau saya pergi dari Papua, siapa yang mau menerbangkan mereka? Kasihan mereka. Jalan tidak ada sehingga pesawat ini jadi andalan.”
Jujur saja, saya tidak menyangka pernyataan seperti itu akan diucapkan Susi. Pernyataan Susi itu mengejutkan, namun sungguh tepat. Andai seluruh maskapai di negeri ini hanya mau melayani rute gemuk, warga di berbagai wilayah pedalaman menjadi lebih terisolasi lagi.
Setelah pertemuan pada hari itu, selama bertahun-tahun saya tidak bertemu Susi. Hingga suatu hari terdengar kabar bahwa Susi Pudjiastuti diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Sepak terjangnya kemudian terdengar dari berbagai media.
Tenggelamkan!
Bagaimana Susi bisa dalam waktu singkat mengarahkan KKP untuk mewujudkan mimpinya menjaga laut Indonesia? Saya sempat bertanya-tanya demikian.
Ketika makan siang di Hyatt Jakarta dengan politisi Golkar Yorrys Raweyai, dia sedikit membuka kartu. ”Waktu baru menjabat, Susi ngajak gue ketemu. Katanya, ketemuan di rumah dinas, eh, diubah di kantor KKP. Waktu gue sampai, Susi sendiri yang buka pintu. Dan, pejabat-pejabatnya ikut jemput. Mungkin, gue disuruh menggertak mereka semua,” kenang Yorrys sambil tertawa.
Menteri Susi kemudian dikenal karena aksinya menenggelamkan berbagai kapal pencuri ikan berbendera asing. Secara demonstratif, Menteri Susi menghadiri seremoni penenggelaman kapal. Banyak kapal ikan asing akhirnya memilih menyingkir dari perairan Indonesia.
Saksikan Juga : Menteri Susi Ajak Makan Ikan
Bagi saya, penangkapan kapal ikan asing bukan berita baru. Dulu, saya pernah bertugas di KKP saat dipimpin Freddy Numberi. Ketika itu, sebagai Laksamana Madya TNI (purn), salah satu topik kesukaan Freddy juga soal penegakan hukum di laut yang tentu sangat dikuasainya.
Kelebihan Susi adalah mampu mengartikulasikan program anti illegal fishing dengan satu kata: Tenggelamkan!
Siapa pun tentu punya titik lemahnya, tidak terkecuali Susi. Bila dilihat dari ”kejauhan”, ada kesan Susi tidak terlalu mengenjot budidaya. Hal itu pula yang kerap disampaikan para pengusaha ikan budidaya ke media.
Mengurus kamar sendiri
Sepuluh tahun setelah penerbangan kami ke Padang, kali ini saya kembali terbang dengan Menteri Susi. Penerbangan menuju Kuala Lumpur pada Juli 2019 itu untuk membicarakan kerja sama perikanan dengan Kerajaan Malaysia.
Seperti biasanya, Susi bergerak begitu cepat. Begitu turun dari pesawat, dia langsung melesat. Salah satu anggota rombongan, Irjen Zulkarnain Adinegara, (ketika itu) Kakorpolairud Baharkam Polri, sampai ketinggalan rombongan.
”Lho, Pak Kapolda (pernah menjadi Kapolda Maluku Utara, Riau, dan Sumatera Selatan) cari siapa? Sudah, kami antar saja ke pusat kota KL, Pak,” kenang Zulkarnain, yang kebingungan ditinggal rombongan.
Begitu tiba di Hotel Grand Hyatt KL, saya sempat menemani Bu Susi naik ke Sky Lobby di lantai ke-39. Sementara wartawan lain menunggu di lobi lantai 1.
Ternyata, Susi mengurus sendiri administrasi hotel tanpa difasilitasi oleh protokol. Dia mengeluarkan sendiri kartu kreditnya. ”Ada ID, Ma’am?” tanya pegawai Hyatt.
Susi menanggapinya dengan santai sementara beberapa protokol KKP mengerakkan bibir tanpa bersuara, ”She’s our minister”. Untung saja, pegawai resepsionis itu cepat tanggap.
Baca juga: Menyelisik Kisah Siti Aisyah dalam Kasus Pembunuhan Kim Jong Nam
Esok harinya, saat brunch, mulai banyak orang mendampingi Susi dan rombongan KKP. Ada perwakilan dari KBRI, Atase Pertahanan, dan sebagainya. Kami sempat bercanda untuk hanya makan ikan daripada kena ”semprot” oleh Menteri Susi.
Dan, ketika sebagian besar orang masih menyantap hidangan, tiba-tiba Susi berdiri. Dia langsung melangkah.
Semua orang kaget. Buru-buru menaruh sendok, berdiri, dan menyusul Susi. Tiba-tiba, beliau berhenti. Kepalanya menoleh. ”Pada mau ke mana? Saya mau ngerokok doang, kok,” ujarnya.
Para wartawan langsung tertawa, sedangkan para pejabat salah tingkah tak berani tertawa. ”Hm, mau merokok juga, kok, Bu,” kata mereka.
Pada Rabu (10/7/2019) malam, setelah beberapa pertemuan penting, rombongan kunjungan kerja KKP ke Malaysia pergi ke sebuah kedai untuk menikmati durian musang king. Kami duduk bersama dalam sebuah meja panjang. Saya juga mengajak sopir kami di Kuala Lumpur untuk makan satu meja dengan Bu Susi, dan dia tidak keberatan.
Suasana menyenangkan. Santai. Namun, Susi sempat menegur seorang wartawan yang menolak makan durian. ”Hanya orang goblok yang enggak makan durian,” ujar Susi, serius, menatap tajam. Kami tertawa-tawa mendengar kata-katanya, Bu Susi tidak.
Baca juga: Terempas oleh 5.300 Kelokan di "Pulau Bunga"
Setelah kenyang makan durian, giliran saya menegur sang sopir yang mau merokok, ”Jangan merokok di meja saya, Pak Cik. Keluar sana kalau mau merokok”.
Entah mendengar teguran saya kepada sang sopir atau tidak, yang jelas Bu Susi kemudian pindah duduk ke meja lain di pojokan dan diam-diam merokok sambil sibuk dengan telepon pintarnya.
Hanya mau berbahasa Indonesia
Sungguh Ibu Susi ini pribadi yang unik. Kita paham, Susi sangat fasih berbahasa Inggris. Namun, dalam perbincangan dengan anggota parlemen Kerajaan Malaysia dan beberapa menteri Malaysia, dia sama sekali hanya mau berbahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia dan Melayu terkadang berbeda makna.
Ketika tiba di Gedung Parlemen Malaysia dan kantor Kementerian Pertanian dan Industri Asas Tani Malaysia, Susi juga melangkah dengan gayanya yang khas. Langkah lebar dan pasti dengan high heels yang menapaki lantai. Begitu mantap dan tegas.
Susi juga menegaskan komitmen Indonesia soal pengelolaan ikan secara lestari dan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal. Indonesia berharap Malaysia dapat segera menerbitkan pernyataan bersama terkait hal itu.
Susi menegaskan komitmen Indonesia soal pengelolaan ikan secara lestari.
Tiap pejabat Malaysia yang bertemu Susi juga menampilkan raut muka yang serius. Mereka juga terdengar berhati-hati dalam berkata-kata. Mereka seolah mengetahui inilah Menteri Susi, yang reputasinya dalam menenggelamkan kapal telah terdengar menyeberangi lautan.
Kita tentu berharap kedaulatan Indonesia di laut tetap bertahan meski pemerintahan berganti. Kita berharap kebijakan baik, seperti perikanan lestari yang dicetuskan Menteri Susi, diwariskan oleh penggantinya.
Jangan sampai sosok-sosok seperti Susi Pudjiastuti kelak hanya ”dimuseumkan” atau dikenang belaka.