Menyusuri ”Jalan Tikus” Perdagangan Manusia
Kali ini, penulis akan menceritakan seluk-beluk ”jalan tikus” dan berbagai kegiatan ilegal di perbatasan Kalimantan wilayah Indonesia dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia Timur.
Sejak pertama kali masuk ke Malaysia pada 2002, penulis beberapa kali berkesempatan melakukan liputan investigasi, mulai dari kasus penyelundupan manusia, kayu ilegal, berbagai kejahatan di perbatasan, hingga kasus high profile, seperti pembunuhan Kim Jong Nam, saudara tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, pada 2017.
Cara menelusuri lika-liku kegiatan ilegal di Malaysia diawali dengan menyusur wilayah perbatasan, seperti Tarakan dan Nunukan, di Kalimantan Utara. Bertemu dengan jagoan setempat, mengumpulkan data awal, ataupun menghubungi kontak aparat intelijen yang bertugas di perbatasan.
Kali ini, penulis akan menceritakan seluk-beluk ”jalan tikus” dan berbagai kegiatan ilegal di perbatasan Kalimantan wilayah Indonesia dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia Timur. Salah satu titik kegiatan ilegal di awal dekade 2000-an adalah Nunukan dan Long Bawan yang ketika itu masih menjadi bagian Provinsi Kalimantan Timur dan wilayah Sajingan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Dalam lima tahun terakhir, beberapa pos perbatasan telah dibangun Pemerintah RI, seperti di Sajingan di Kalimantan Barat dan Nunukan di Kalimantan Utara. Namun, masih diperlukan perbaikan fasilitas dan kesiapan aparat yang menjadi awak imigrasi, cukai, dan karantina serta para personel militer dan kepolisian setempat.
Saat menyeberang dengan kapal dari pelabuhan Tunon Taka pada 2000-an, kapal-kapal kayu, kapal ikan, serta kapal penyelundup yang lazim disebut smokel masih berlayar dari perairan Indonesia ke Tawau yang masuk wilayah Sabah, Malaysia.
Semasa itu, cukup berbekal Pas Lintas Batas (PLB) berukuran paspor dengan sampul merah, warga Nunukan sudah bisa menyeberang dari Nunukan ke Tawau. Penulis pun sempat dibantu Kantor Imigrasi Nunukan untuk mendapat PLB agar dapat bepergian dan meliput di Tawau semasa krisis pemulangan TKI dari Malaysia pada 2002.
Pemegang PLB dapat bepergian hingga radius 15 kilometer dari Tawau. Selebihnya, pemegang PLB akan ditangkap Polis Diraja Malaysia yang membangun beberapa pos penjagaan di Tawau, Semporna, Lahad Datu, dan Sandakan.
Daerah tersebut memang rawan karena berbatasan laut dengan wilayah Filipina Selatan di Kepulauan Sulu. Terlebih, banyak pula warga pesisir timur Sabah yang masih keturunan ataupun memiliki kerabat di Filipina Selatan yang rawan gangguan keamanan serta kejahatan penculikan kelompok teror Abu Sayyaf.
Beberapa kali penulis masuk ke Tawau dan sekitarnya untuk menelusuri jaringan perdagangan manusia dengan korban berasal dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Mereka umumnya anak gadis belasan tahun yang jatuh ke sindikat pelacuran di Tawau dan kota-kota di Sabah.
Ketika itu, penulis secara perorangan ataupun bersama Konsulat RI dan penghubung Polri di Tawau beberapa kali membebaskan dan memulangkan para gadis remaja tersebut.
Awal mulanya, di kampung halaman, mereka dirayu mendapat pekerjaan di toko atau restoran oleh pasangan pria dan wanita yang mengaku sukses kerja di Sabah, Malaysia. Zaman itu, hadiah telepon genggam dan perhiasan sudah cukup menggiurkan bagi para gadis remaja tersebut.
Seperti kerbau dicocok hidungnya, mereka pun ikut ke Kalimantan, terutama ke Nunukan, lalu menyeberang ke Tawau setelah dibuatkan ”paspor kilat”. Setiba di Tawau, barulah ”neraka” dimulai. Mereka dikurung, dianiaya, dan diteliti.
Jika mereka anak perawan akan dilelang kepada lelaki hidung belang. Jika tidak perawan, mereka dipekerjakan di bar ataupun di tempat pelacuran yang menempati gedung-gedung hunian, kantor, atau toko di sekitar pelabuhan di Jalan Dunlop hingga dekat Hotel Marco Polo.
Bahkan, salah satu lokasi penyekapan adalah sebuah rumah besar yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Kantor Konsulat Republik Indonesia di Tawau, yakni di Batu Dua, arah ke luar kota jurusan Semporna.
Konsul semasa itu mengeluhkan, laporan resmi otoritas Indonesia lambat disikapi kepolisian dan Majelis Bandar Raya (Pemerintah Kota) Tawau. Sering kali konsulat justru dibantu beberapa pejabat setempat yang menikah dengan perempuan keturunan Indonesia.
Selanjutnya dalam penelusuran, beberapa anak gadis yang bekerja di bar tersebut mengaku mendapat persentase dari setiap minuman keras yang berhasil mereka jual kepada tamu.
Di sekitar bar tempat mereka bekerja, terdapat beberapa jagoan yang menjaga lokasi tersebut serta memastikan para gadis itu tidak melarikan diri. Terlebih, sejak pertama datang di Tawau, paspor dan berbagai dokumen mereka dipegang pemilik tempat hiburan dan atau mucikari, tergantung mereka mendapat pekerjaan di bar atau pelacuran.
Penulis sempat mengeluarkan dua korban perdagangan manusia. Salah satunya berasal dari sekolah swasta di Surabaya, sedangkan seorang lainnya berasal dari sekolah keagamaan di Pasuruan, Jawa Timur. Mereka dikurung di lantai tiga dan empat di dua lokasi milik ”bapak ayam” atau mucikari mereka.
Di lantai dasar bangunan, terdapat body guard atau samseng yang membawa senjata tajam yang umumnya berasal dari Indonesia atau warga Malaysia keturunan Indonesia.
Seorang perwira Polri ketika itu membagi-bagi tugas. Penulis kebagian ikut masuk ke salah satu gedung dan menemui gadis yang ingin melarikan diri. Kesulitannya, jika terjadi kekerasan dari pihak body guard, cara meloloskan diri hanyalah dengan cara melompat ke gedung-gedung sebelahnya di kompleks ruko. Gedung-gedung yang masing-masing unit bangunan terdiri dari 5 lantai ini saling menempel sebelah-menyebelah.
Selama operasi tersebut, tidak seorang pun diperkenankan membawa senjata api. Padahal, kawasan tersebut rentan penyelundupan senjata api dari Filipina Selatan yang umumnya dimiliki para ”pemain” dunia hitam, termasuk di jaringan perdagangan manusia.
Kawasan Ice Box di pinggir Tawau, misalnya, dikenal sebagai pusat geng kriminal bersenjata asal Indonesia dan Filipina. Penulis dan beberapa personel aparat dari Indonesia menyebar ke beberapa lokasi bar dan prostitusi. Setelah berkenalan dan bertukar kontak, mereka kemudian kami tawari melarikan diri dari tangan bapak ayam dan body guard.
Selama kurun 2002-2003, ratusan gadis muda WNI berhasil diselamatkan kantor Konsulat RI di Tawau. Mereka ditampung, diberikan pendampingan, dipulangkan ke daerah asal masing-masing lewat Nunukan dengan menumpang kapal laut.
Ketika itu, politisi AM Fatwa sempat mengunjungi para korban perdagangan manusia itu dan memberi semangat agar melanjutkan kehidupan di daerah asal. Namun, rupanya tidak semua berhasil kembali ke kampung halaman.
Semasa itu, seperti cerita kontak lokal di Tawau dan Nunukan, jaringan mafia perdagangan manusia akan ”mencegat” para korban di pelabuhan-pelabuhan tempat persinggahan kapal, seperti di Surabaya ataupun di Parepare, Sulawesi Selatan, sebelum mereka tiba di tujuan akhir.
Selain perdagangan manusia, berlangsung juga penyelundupan berbagai produk kebutuhan sehari-hari dari Malaysia ke Indonesia dan sebaliknya. Semasa itu, penyelundupan kayu marak dari wilayah Indonesia ke Malaysia. Pos Polis Marine Malaysia di Wallace Bay adalah salah satu persinggahan tongkang bermuatan kayu dari Indonesia ke arah Tawau. Kayu-kayu tersebut berasal dari Kalimantan dan Sulawesi.
Penulis sempat mencoba menyeberang tanpa melalui pos imigrasi Malaysia dan dijemput seorang kontak lokal di Tawau. Penulis sempat dicegat di Pos Polis Diraja. Teman yang menjemput kemudian mengatakan, penulis adalah tamu ”Mr X” yang memang cukup dikenal. Polis kemudian dengan ramah mempersilakan lewat tanpa memeriksa dokumen. Sesuatu yang saat ini rasanya sulit terjadi.
Di awal tahun 2000-an itu, masih mudah membeli KTP Malaysia atau Identity Card (IC) Bunga Raya. Bahkan, bisa juga mengurus akte kelahiran orang asli Sabah jika kita memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Dayak di Sabah. Penulis sempat mendapat tawaran tersebut dari beberapa tokoh masyarakat setempat.
Penulis Malaysia, Karim Raslan, dalam berbagai esai yang dibukukan dalam Ceritalah, membenarkan fenomena overnight bumiputera di Sabah. Pendatang asal Indonesia dan Filipina tiba-tiba bisa menjadi warga Malaysia dan memiliki kartu identitas kependudukan Malaysia.
Pada perjalanan lain untuk mengungkap jaringan penyelundup dari Tawau ke Sandakan, penulis juga berhubungan dengan komunitas dari kelompok Abu Sayyaf semasa kepemimpinan kakak beradik Janjalani masih hidup.
Jejaring warga Sulu atau Tausug tersebut berbisnis di dekat pelabuhan Sandakan. Mereka juga memiliki beberapa tempat transit untuk kapal-kapal penyelundup di pulau-pulau kecil di lepas teluk yang mengapit Kota Sandakan ke arah Kepulauan Sulu, Filipina Selatan.
Bepergian di lintasan Tawau-Sandakan-Kota Kinabalu pun hingga kini masih nyaman dengan adanya bus malam antarkota dalam provinsi yang mewah untuk melayani jarak 550 kilometer seperti dari Bogor-Jakarta-Semarang itu. Sebagian besar pengemudi dan awak bus malam di Sabah tersebut adalah warga Malaysia keturunan Bugis dari Indonesia.