Mencegah Derita Kedua Pengungsi Bencana
Bencana alam di Palu, Sulawesi Tengah, dan Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang terjadi lebih dari setahun lalu masih meninggalkan pekerjaan besar bagi Indonesia. Sebagian besar pengungsi belum mampu pulih di tengah berbagai persoalan manajemen pascabencana.
Setahun setelah gempa melanda Pulau Lombok pada Juli 2018 dan Palu pada September 2018, bencana seolah belum berlalu bagi para korban. Masih banyak korban gempa di dua wilayah itu belum beranjak dari peristiwa bencana, mulai dari pemulihan daerah, pembenahan hunian, hingga soal trauma psikologis akibat bencana.
Hasil survei Kompas kepada 200 responden pada 22-29 Oktober 2019 di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, serta Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menemukan gambaran kondisi pengungsi yang masih jauh dari memadai.
Masih banyak korban gempa di dua wilayah itu belum beranjak dari peristiwa bencana.
Setelah bencana terjadi, warga terpaksa meninggalkan rumah karena sudah rusak atau lahannya tak memungkinkan lagi untuk ditempati. Sejumlah daerah, seperti Kelurahan Balaroa dan Petobo di Palu serta Desa Jonouge dan Sibalaya di Sigi, Sulteng, bahkan ditetapkan sebagai ”zona merah” yang terlarang untuk dihuni. Praktis, ribuan warga yang lolos dari bencana harus meninggalkan empat kawasan itu.
Di Lombok Utara, NTB, korban gempa juga masih membutuhkan perhatian karena kawasan ini terdampak paling parah saat bencana terjadi. Gempa bumi berkekuatan M 7 kala itu mengakibatkan kerusakan dan kerugian yang mencapai lebih dari Rp 2,7 triliun. Adapun di Kabupaten Lombok Barat, kerugian mencapai lebih dari Rp 1,5 triliun, Lombok Timur Rp 417,3 miliar, Lombok Tengah Rp 174,4 miliar, dan Kota Mataram Rp 242,1 miliar.
Jumlah kerusakan dan kerugian itu meliputi bangunan rumah warga di lokasi bencana. Di Sulteng, sekitar 66.000 rumah rusak dan di Lombok 225.000 rumah rusak dalam kategori berat, sedang, ringan, serta hilang. Semuanya membutuhkan pembangunan kembali.
Warga yang kehilangan rumah menjadi pengungsi dan jumlah mereka tidak sedikit. Di Sulteng, hingga April 2019, masih terdapat 173.000 pengungsi yang tersebar di 400 lokasi pengungsian. Dari pantauan Kompas, sebagian pengungsi masih tinggal di hunian sementara (huntara) yang dibangun oleh pemerintah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lembaga swadaya masyarakat, organisasi internasional, organisasi keagamaan, dan sebagainya.
Sebagian pengungsi sudah mendapat hunian tetap, tetapi proporsinya sangat sedikit dibandingkan dengan yang masih tinggal di tenda pengungsian serta huntara. Temuan ini dapat pula dilihat dari perkembangan pembangunan hunian tetap di setiap provinsi. Hampir di semua kabupaten/kota, jumlah hunian tetap yang sudah rampung masih jauh dari target yang dicanangkan.
Selama hidup di tenda pengungsian atau huntara, pengungsi rentan terhadap deretan masalah, mulai dari soal pemenuhan kebutuhan primer sehari- hari, kondisi kesehatan, hingga konflik antarwarga. Bagi perempuan dan anak-anak, kondisi pengungsian membuat mereka rawan mengalami pelecehan dan eksploitasi.
Dari hasil survei, ditemukan situasi memprihatinkan pengungsi perempuan di Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Ditemukan, 8 persen responden perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dari berbagai tingkatan. Kasus pelecehan paling banyak terjadi adalah diintip saat mandi.
Trauma bencana
Peristiwa yang mengerikan terkait bencana ternyata masih lekat di ingatan korban. Sesuai jawaban responden, hanya 1 persen yang mengaku sudah benar-benar melupakan kejadian itu. Artinya, hampir seluruh korban belum mampu melepaskan ingatan dari bayang-bayang bencana dan mengalami trauma secara mental. Adapun untuk penanganan kesehatan dan pendidikan relatif tertangani dengan baik. Setidaknya fasilitas kesehatan terlihat cukup memadai dari sisi jumlah dan dapat diakses oleh pengungsi di wilayah masing- masing.
Konflik terbesar dalam pengungsian justru konflik antarwarga dalam hal mengakses bantuan. Dari responden yang mengaku pernah melihat ataupun mendengar konflik (29 persen), hal yang paling banyak menjadi penyebabnya ialah pembagian bantuan yang dianggap tidak adil. Ketimpangan pembagian bantuan tidak hanya memancing konflik internal, tetapi juga antardesa. Muncul kecemburuan sosial antara desa yang ”dekat” dengan perkotaan dan desa yang jauh di kaki gunung.
Soal pembagian yang tidak merata bahkan memicu ”pembegalan” bantuan di tengah perjalanan sebelum sampai daerah tujuan. Kondisi ini, misalnya, terjadi di desa-desa di Kecamatan Pemenang Timur, Lombok Utara, yang tidak terjangkau bantuan karena terpencil. Bagi Indonesia, penanganan korban bencana alam sudah menjadi bagian dari perhatian pemerintah. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negeri yang rentan terhadap bencana alam. Sejak 2009, Indonesia dilanda lebih dari seribu bencana alam.
Konflik terbesar dalam pengungsian justru konflik antarwarga dalam hal mengakses bantuan.
Angka ini terlihat dari laporan BNPB yang mencatat jumlah bencana alam di Indonesia sejak 1815. Berada di kawasan cincin api menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan bencana. Beberapa bencana besar yang pernah melanda Indonesia adalah gempa diikuti tsunami di Aceh (2004), gempa di Yogyakarta (2006), dan gempa di Padang (2009).
Pada tahun lalu, bencana juga merupakan kejadian yang cukup menguras perhatian bangsa Indonesia. Tidak sedikit korban bencana yang meninggal dan menderita serta mengungsi pada 2018. Bencana gempa bumi melanda Pulau Lombok (29 Juli 2018) dan gempa bumi serta tsunami melanda Sulawesi Tengah (28 September 2018). Meski jumlah korban pada 2018 tidak hanya berasal dari dua kejadian tersebut, tidak dapat dimungkiri keduanya merupakan bencana terbesar pada tahun lalu.
Mitigasi bencana
Berdasarkan temuan di lapangan, hampir seluruh korban yang kini menjadi pengungsi di daerah bencana memiliki pengetahuan sangat sedikit mengenai mitigasi bencana. Hampir seluruh responden mengaku mereka tidak mengetahui lokasi tempat tinggal mereka yang dulu adalah rawan bencana.
Begitu pula dengan pengetahuan seputar mitigasi bencana, hanya 39 persen yang mengetahuinya. Hal ini menyiratkan sosialisasi yang selama ini dijalankan oleh pemerintah belum diserap baik oleh masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di kawasan rawan bencana. Begitu pula dengan penegakan aturan tata kota yang melarang bangunan hunian di zona rawan.
Harapan terbesar responden kepada pemerintah adalah ketersediaan hunian tetap selain bantuan modal usaha. Dua hal itu merupakan pukulan paling dalam yang dialami responden korban bencana di Palu dan Lombok.
Realisasi peran pemerintah pusat dan daerah dinantikan oleh pengungsi bencana Palu dan Lombok pasca-kunjungan Presiden Joko Widodo ke Palu, Selasa (29/10/2019). Publik yakin ada kesungguhan dari pemerintah pusat dan daerah untuk mengangkat mereka agar bangkit dari keterpurukan, agar tak muncul bencana kedua bagi para korban. (LITBANG KOMPAS)