Konsumsi masyarakat masih jadi porsi terbesar pertumbuhan ekonomi. Belanja masyarakat masih akan terus bergulir. Namun, sumber pertumbuhan baru mesti dicari untuk mengantisipasi permintaan masyarakat yang berkurang.
Oleh
Dewi Indriastuti
·3 menit baca
”Daya tarik sudah ada, tetapi tidak serta-merta membuat nasabah mengajukan pinjaman. Nasabah mempertimbangkan banyak hal untuk mengajukan kredit,” kata seorang bankir muda dalam sebuah diskusi, pekan lalu, di Jakarta.
Bankir ini mencontohkan, langkah Bank Indonesia melonggarkan rasio pinjaman terhadap aset (LTV) sektor properti dan kendaraan bermotor yang berlaku mulai 2 Desember 2019. Dengan kebijakan ini, nasabah yang mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) lebih ringan menyiapkan uang muka. Sederhananya, 100 persen dikurangi besaran LTV adalah persentase uang muka yang mesti disiapkan dan dibayarkan nasabah.
Contohnya, rasio LTV untuk KPR rumah tapak dengan luas 21 meter persegi (m²)-70 m², ditambah 5 persen, dari 85 persen menjadi 90 persen. Maka, nasabah yang ingin membeli rumah seharga Rp 100 juta, mesti menyiapkan uang muka sebesar 10 persen dari Rp 100 juta, yakni Rp 10 juta. Sebelum 2 Desember 2019 atau sebelum rasio LTV diperlonggar, nasabah mesti menyiapkan uang muka sebesar 15 persen dari Rp 100 juta, yaitu Rp 15 juta.
Ini hanya ilustrasi yang menunjukkan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Sektor properti jadi pilihan karena berkaitan dengan banyak sektor lain. Ilustrasi sederhana, saat seseorang membeli rumah tinggal, maka sebuah rumah akan dibangun bagi pembeli ini. Membangun rumah perlu, antara lain, atap atau genteng, jendela kaca, lantai keramik, listrik, dan cat. Nantinya, pemilik rumah ini akan membeli tempat tidur, meja-kursi, kompor, dan alat elektronik.
Mengutip seorang bankir senior, optimisme masyarakat atas kondisi perekonomian masih ada. Namun, masyarakat memilah kepentingan mereka berdasarkan skala prioritas. Selanjutnya, menunggu dan memantau situasi terkini, sambil meyakinkan diri. Salah satunya, dalam memutuskan untuk membeli rumah dan kendaraan bermotor. Kendati papan termasuk kebutuhan pokok—bersama pangan dan sandang, masyarakat mencermati banyak hal sebelum memutuskan untuk merealisasikan rencana mereka.
Pernyataan bankir senior ini, antara lain, tecermin melalui data uang beredar yang dirilis Bank Indonesia. Data itu menunjukkan, KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang dikucurkan bank per akhir September 2019 sebesar Rp 499,3 triliun. Kredit itu tumbuh 10,8 persen secara tahunan. Padahal, per akhir Agustus 2019, KPR dan KPA yang disalurkan bank tumbuh 11,3 persen secara tahunan, menjadi Rp 494,9 triliun.
Secara keseluruhan, kredit Konsumsi yang disalurkan perbankan sampai dengan akhir September 2019 mencapai Rp 1.580,2 triliun atau tumbuh 6,9 persen secara tahunan. Angka pertumbuhan kredit konsumsi ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan per Agustus 2019 yang tumbuh 7 persen secara tahunan, menjadi Rp 1.567,4 triliun.
Ada harapan bagi pelaku usaha dan sektor perbankan, KPR dan KPA akan tumbuh pesat seiring pelonggaran LTV. Begitu juga dengan KKB, yang akan mendorong kegiatan ekonomi di sektor informal tumbuh.
Sebab, kendati disebut sebagai barang konsumi, ada yang berkeyakinan kendaraan bermotor juga bisa berfungsi sebagai alat kerja yang mendukung kegiatan ekonomi, misalnya untuk berjualan, berbelanja bahan baku, dan mengantar barang.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan II-2019 sebesar 5,05 persen. Dari angka pertumbuhan itu, peran konsumsi masyarakat 55,79 persen. Adapun pada triwulan II-2019, konsumsi masyarakat tumbuh 5,17 persen.
Konsumsi masyarakat, harus diakui, masih jadi porsi terbesar pertumbuhan ekonomi RI. Sumber pertumbuhan baru mesti dicari untuk mengantisipasi permintaan masyarakat yang berkurang. Di sisi lain, tak ada salahnya menambah sumber pertumbuhan ekonomi sebagai upaya memperkuat daya tahan menghadapi kondisi perekonomian global yang masih bergejolak.
Belanja masyarakat masih akan terus bergulir. Kuncinya, masyarakat mesti diyakinkan agar percaya diri menghadapi kondisi perekonomian di masa mendatang.