Di bawah asuhan manajer Frank Lampard, Chelsea konsisten menyebar “virus” cinta. Jati diri baru “The Blues” itu akan diuji tamunya, Ajax Amsterdam, di Liga Champions, Rabu dini hari WIB.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
LONDON, SENIN - Musim ini, Stadion Stamford Bridge di London hampir selalu bergelora ketika Chelsea berlaga. Tim itu kembali dicintai para pendukungnya berkat permainan ofensif, atraktif tanpa basa-basi, dan dinamis, berkat sentuhan manajer mudanya, Frank Lampard.
Pendukung ”The Blues” pun tidak lagi sabar menanti pertunjukkan menghibur lainnya di markanya itu saat klub raksasa Belanda, Ajax Amsterdam, berkunjung Rabu (6/11/2019) pukul 03.00 WIB. Chelsea diharapkan bisa mengulangi kehebatannya ketika menjungkalkan semifinalis Liga Champions musim lalu itu 1-0 di Belanda, dua pekan lalu.
”Suasana kebatinan di tim tengah luar biasa saat ini, apalagi setelah kemenangan itu (di Belanda). Dukungan suporter, bahkan saat tandang pun, sangat fenomenal. Saya tidak sabar lagi menanti laga melawan mereka di Stamford Bridge,” ujar Christian Pulisic, penyerang sayap Chelsea yang tengah naik daun, dikutip Standard Sport.
Situasi di Chelsea saat ini kontras dengan musim lalu saat masih diasuh Maurizio Sarri, manajer asal Italia yang kini bekerja untuk Juventus. Meskipun menyabet gelar juara Liga Europa, suporter The Blues tidak menyukai gaya permainan timnya yang dianggap rumit, basa-basi, dan kurang efektif. Ketidaksukaan itu diwakili oleh teriakan ”persetan Sariball” yang kencang terdengar di Stamford Bridge pada pengujung musim lalu.
Pada era Sarri, atau masa kepemimpinan pelatih Antonio Conte sebelumnya, Chelsea tampil dogmatis dan metodis. Mereka nyaris tidak punya kebebasan, termasuk dalam urusan menciptakan peluang gol.
Pada era Sarri misalnya, aliran bola sebisa mungkin diarahkan ke Eden Hazard, mantan pemainnya yang kini membela Real Madrid. Hal tidak jauh berbeda terjadi pada era Conte.
Dampaknya, serangan Chelsea mudah terprediksi karena pergerakan mereka acapkali bertumpu pada Hazard, entah saat dimainkan sebagai penyerang sayap kiri maupun striker false nine. Hal ini kontras dengan yang terjadi pada era Lampard. Alih-alih terpuruk atau krisis karena kehilangan pemain terpentingnya, Chelsea kini justru menakutkan dan sulit diterka.
Tidak seperti dulu, di mana gol lebih terpusat ke Hazard, Chelsea kini lebih semarak. Gol-gol pada musim ini terdistribusi merata. Total 14 pemain The Blues telah menyumbang gol sepanjang musim ini, mulai dari barisan penyerang seperti Pulisic dan Tammy Abraham; gelandang bertahan N’Golo Kante; hingga barisan bek tengah seperti Kurt Zouma dan Fikayo Tomori yang tugas utamanya adalah menjaga pertahanan.
”Musim ini Chelsea menyebar cinta, begitu pula gol-gol. Ketergantungan atas Hazard telah hilang. Setiap pemain kini bersedia dan mampu memberikan kontribusi nyata di tim. Ini semangat yang luar biasa dari sebuah tim,” tulis laman Chelsea News, Senin (4/11).
Mirip dengan yang dilakukan Manajer Liverpool Juergen Klopp, Lampard ingin para pemainnya memaksimalkan talenta sekaligus kolektivitas tim secara bersamaan tanpa embel-embel filosofi atau gaya permainan tertentu. Ia enggan basa-basi. Baginya, sepak bola adalah soal menyerang dan bagaimana membuat gol secepat mungkin. Karena itulah, Lampard lebih suka memainkan para pemain muda yang punya energi tinggi dan mau berlari.
”Saya ingin bola dialirkan secara cepat dan sedikit sulit diprediksi. Saya ingin pemain memainkan bola dari kaki ke kaki, namun juga mampu membuat umpan panjang ke Tammy seperti gol kami tadi,” ujar Lampard mengungkapkan gaya sepak bolanya seusai laga Liga Primer Inggris melawan Watford yang dimenangi Chelsea 2-1, akhir pekan lalu.
Pakem sepak bola tanpa basi-basi Lampard menuntut kecepatan dalam pengambilan keputusan maupun pergerakan antarpemain. Setiap pemain harus punya kecerdasan tinggi di dalam membaca situasi maupun pergerakan rekan-rekannya. Pada fase awal, hal ini sangatlah sulit berjalan baik karena menuntut pemahaman yang baik antarpemain. Tidak heran, di awal musim ini, Chelsea sempat tertatih-tatih.
Menghibur
Namun, jika telah terbiasa, model sepak bola itu bisa sangat mematikan sekaligus juga menghibur. Penonton akan disuguhi sepak bola menyerang lugas dengan operan yang bak telepati, seperti ditunjukkan Liverpool dua musim terakhir.
”Sangat menyenangkan melihat Chelsea bermain dan energi yang mereka kerahkan, saat ini. Para pemain muda juga menyatu dengan sangat baik,” puji Jamie Redknapp, mantan pemain Liga Inggris, di Sky Sports.
Gaya bermain Chelsea itu akan kembali diuji Ajax, tim yang punya karakter bermain serupa. Meskipun telah kehilangan dua pemain pilarnya, yaitu Matthijs de Ligt dan Frenkie de Jong, Ajax tetap tidak bisa dipandang sebelah mata. Seperti musim lalu, Ajax juga tampil lebih kuat di laga-laga tandang Liga Champions.
Musim lalu, mereka mempermalukan Real Madrid, Juventus, dan Tottenham Hotspur, di kandang lawannya itu dalam perjalannya di babak gugur. Tren itu berlanjut musim ini dengan melumat Valencia 3-0 di Spanyol. Total 13 kali mereka tidak terkalahkan pada laga tandang di Liga Champions. Tak hanya itu, Ajax juga mengusung balas dendam ketika mengunjungi Chelsea.
”Kali terakhir (saat kalah 0-1), kami tidak bermain cukup bagus. Kami harus tampil lebih baik besok dan tidak membiarkan mereka leluasa mengerahkan kekuatannya,” ungkap Joel Veltman, bek Ajax, seperti dilansir Tribal Football.