Tertutupnya data soal Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara 2020 menunjukkan keterbukaan informasi soal anggaran di DKI Jakarta menurun.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Seknas Fitra menilai, dengan tertutupnya informasi soal Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara Tahun 2020, keterbukaan informasi soal anggaran di DKI Jakarta menurun. Padahal, keterlibatan publik dalam menyisir angka pada rencana anggaran itu bisa membantu pemerintah provinsi mencegah terjadinya korupsi.
Untuk mencegah angka anggaran janggal muncul lagi, Gubernur DKI Anies Baswedan merencanakan perbaikan aplikasi e-budgeting warisan gubernur sebelumnya sehingga nantinya mesin langsung mendeteksi angka anggaran janggal pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS). Namun, menurut Sekretaris Jenderal Fitra Misbah Hasan, langkah itu tidak otomatis memperbaiki transparansi DKI dibandingkan dengan kondisi sekarang.
”Memang seharusnya dilakukan, memperbaiki e-budgeting. Namun, e-budgeting jangan ditutup (informasinya) karena itu merupakan akses informasi bagi masyarakat,” ujar Misbah, Kamis (7/11/2019), di Jakarta.
Ia menegaskan, dokumen perencanaan anggaran termasuk KUA-PPAS merupakan informasi publik, sama halnya dengan dokumen anggaran, seperti sudah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan demikian, Pemprov DKI tidak boleh menghalangi masyarakat yang ingin mengakses dokumen perencanaan APBD. Jika memang tidak diunggah ke laman resmi pemprov, permohonan dokumen KUA-PPAS yang diajukan via surat harus dilayani.
Memang seharusnya dilakukan, memperbaiki e-budgeting. Namun, e-budgeting jangan ditutup (informasinya) karena itu merupakan akses informasi bagi masyarakat.
Untuk membuktikan transparansi DKI, Seknas Fitra pada 16 Oktober mengirimkan surat permohonan mengakses dokumen KUA-PPAS. Namun, pemprov membalas pada 30 Oktober yang intinya menjawab, rancangan KUA-PPAS tidak bisa diberikan. ”Mereka berjanji akan memberikannya setelah diketok,” ujar Misbah.
Ia mengatakan, transparansi Pemprov DKI menurun berdasarkan perbandingan terhadap penerapan transparansi anggaran dari kepemimpinan gubernur periode sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama. Waktu itu, dokumen perencanaan, yaitu rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) dan KUA-PPAS, diunggah ke laman resmi.
Angka-angka janggal pada KUA-PPAS 2020 muncul ke permukaan karena dibuka oleh anggota DPRD DKI Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana, lewat akun Twitter @willsarana. Mata anggaran yang paling disorot antara lain pembelian lem Aica-Aibon sebesar Rp 82,8 miliar dan pengadaan pulpen Rp 123,8 miliar.
Fitra pun ikut menyisir lagi KUA-PPAS 2020. Hasilnya, lebih banyak kejanggalan didapatkan. Rupanya, pengadaan lem Aica-Aibon tidak hanya dimasukkan oleh Suku Dinas (Sudin) Pendidikan Jakarta Barat, tetapi juga oleh Sudin Pendidikan Jakarta Timur. Nominal total menjadi Rp 126,2 miliar, bukan hanya Rp 82,8 miliar.
Selain nilainya yang fantastis, kejanggalan juga terlihat dari terlalu besarnya angka untuk lem itu jika dibandingkan dengan organisasi perangkat daerah (OPD) lain yang juga merencanakan membeli lem Aica-Aibon. Bahkan, angka rencana anggaran untuk Aica-Aibon di Dinas Pendidikan (gabungan Sudin Jakarta Barat dan Timur) menempati posisi tertinggi daripada OPD lain.
Angka tertinggi kedua dipasang oleh Panti Sosial Perlindungan Bhakti Kasih milik Dinas Sosial, Rp 10,12 juta, atau hanya 0,008 persen dari angka yang dipasang Sudin Pendidikan Jakarta Barat plus Jakarta Timur. Lem Aica-Aibon dengan uang sebesar itu dipertanyakan fungsinya untuk aktivitas bidang pendidikan.
Selain itu, Fitra juga menangkap kejanggalan pada anggaran untuk membiayai petugas Sudin Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (PKP), terutama pada Sudin PKP Jakarta Timur. Dengan menghitung angka rencana anggaran yang dimasukkan dibagi jumlah petugas yang ditargetkan menerima, anggaran per orang per bulan di Sudin Jakarta Pusat, Utara, Barat, dan Selatan rata-rata Rp 4,5 juta. Namun, di Sudin Jakarta Timur, anggarannya Rp 15,79 juta per orang per bulan.
Jika dokumen perencanaan sudah dibuka ke publik sejak awal, Misbah menilai, hal itu akan membantu Pemprov DKI menyodorkan KUA-PPAS yang lebih sempurna kepada DPRD DKI.
Selain itu, publik bisa membantu pemprov mencegah praktik korupsi terjadi sebelum telanjur berlanjut ke penindakan jika ketahuan. Ia merujuk pada keinginan pemerintah pusat agar pencegahan korupsi mendapat perhatian lebih dari Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga tidak banyak berkutat pada penindakan.