Mata Mutiara
Aku tidak pernah tahu bagaimana bentuk dunia ini dan seperti apa wujud keindahan itu? Sejak lahir, aku diberikan Tuhan sesuatu yang tak banyak orang bisa menerimanya. Melihat dunia dari sudut pandangku, adalah mengamati segala bentuk yang sulit untuk dijelaskan. Apalagi dunia seperti tidak dirancangkan untuk orang-orang sepertiku. Dunia ini terlampau gelap dan tak berbentuk. Dunia ini—di dalam pandanganku—sama sekali tidak terdapat warna apapun. Dunia ini hanyalah benda tak tampak dalam tatapanku yang buta.
Pada awal-awal mengenal dunia dari tatapanku yang buta ini, apa yang aku sentuh nyaris semuanya sama. Aku hanya bisa menakar benda dari wujudnya, baik besar atau kecil; lunak atau keras; wangi atau sebaliknya. Selebihnya, aku tidak tahu. Sampai kemudian pada umur sepuluh, aku ingin melihat bunga—baik dari bentuk, warna, atau segala hal yang mengerucut pada pengertian bunga secara utuh serta nyata. Sejak kecil, Ibu memang sering mengajakku jalan-jalan ke taman. Ia menuntunku untuk melihat dan—mungkin lebih tepatnya—merasakan kehadiran bunga.
Pada bayanganku, bunga merupakan benda tipis dengan kelopak-kelopaknya yang rapuh serta wangi. Tak ada gambaran lain selain itu. Yang ada hanyalah nuansa bunga dalam arti tak langsung. Karena kebutaan ini pun aku pernah menganggap bunga itu adalah sesuatu yang berbentuk lonjong atau kotak.
Hanya akhirnya aku menyerah, dan membiarkan semua wujud saling mengisi, dan membentuk apa-apa dengan bebas di benakku. Selain bentuk bunga yang hingga usia cukup tua sulit aku pahami, di dalam hati kecil, aku ingin pula melihat warna dari kelopak-kelopaknya. Sejak umur lima—ketika Ibu memasukkanku ke sekolah khusus bagi anak-anak dengan keterbatasan khusus—para guru acap mengejakan wujud dan warna sebuah bunga.
Para guru menjalaskan terdapat banyak bunga dengan berbagai warnanya di dunia. Namun pengertian-pengertian itu, sekali lagi, hanya aku pahami sampai sebatas pengertian. Aku tak bisa menyatakan secara langsung seperti apa bunga itu. Akhirnya, pemahamanku mengenai warna bunga hanya sampai batas pengertian semata. Aku tak bisa membenarkan apa yang aku sentuh. Wujud-wujud itu hanya hadir sebatas kata di benakku. Namun sedikit berbeda ketika Ibu yang menjelaskan seperti apa bentuk konkret warna bunga. Setiap sore, usai pulang sekolah, Ibu rajin mengajakku ke taman. Di sana, selain melatihku pelan-pelan mengenali bentuk dan wujud dunia yang begitu kabur untuk sepasang mataku yang buta, Ibu juga mengartikan warna lewat cerita-ceritanya. Misalnya, mengenai warna bunga matahari. Selain menyuruhku menyentuhnya, Ibu menjelaskan apa-apa yang sedikit bisa menuntun benakku untuk mengartikannya.
“Ini adalah bunga matahari, Mutiara,” kata Ibu. “Bentuknya memang besar. Ada biji-biji di bagian tengah bunga. Dan warnanya kuning.”
“Kuning?” sahutku ingin mengetahui warna kuning.
“Warna kuning itu seperti warna pisang, nanas, Mutiara.”
“Jadi warna kuning itu manis, Ibu?”
“Kita nanti pulang agak malam ya, Mutiara. Nanti Ibu tunjukkan warna kuning itu seperti apa untukmu. Karena selain manis, warna kuning itu memiliki wujud lainnya.”
Sore itu, setelah Ibu mengajakku bertahan cukup lama di taman menunggu matahari terbenam, aku bisa memahami sedikit mengenai warna kuning. Ibu waktu itu mengarahkan wajah dan padanganku ke suatu arah. Dari sana kemudian aku bisa memahami kalau warna kuning adalah sesuatu yang—selain manis di lidah bila disamakan dengan pisang serta nanas—terang. Tatapanku yang buta sedikti bisa merasakan bayangan; berupa kilas-kilas kelebat yang menyilaukan. Selain terang, kuning juga merupakan sesuatu yang hangat. Aku menjadi ingat kalau Ibu pernah mengajakku berjemur di pagi hari. Ibu kemudian menceritakan warna pagi adalah kekuningan. Dan waktu itu, benakku mengambil keputusan kalau kuning adalah warna yang hangat. Kuning adalah warna kasih sayang—sesuatu yang aku rasakan bila di dekat Ibu.
***
Terlahir buta memang menguras tenaga. Selain tak bisa memahami dunia dengan konkret, ada saja kendala. Yang merepotkan di masa kecilku, yaitu ketika teman-teman mengganggu. Misalnya, waktu teman-temanku menyembunyikan tongkat penuntunku. Namun untungnya ada orang-orang yang membantuku.
Contohnya saat umurku sebelas, dan aku baru bermain sendiri tidak jauh dari rumah, ada tiga orang teman yang usil merebut tongkat kecil penuntunku. Mereka mempermainkanku seperti mempermainkan seekor anak kucing. Mereka menggodaku dengan mengolok-olok dan mendorong tubuhku
“Sini!” kata salah satu anak. “Aku di sini! Kalau bisa tangkap aku!”
“Jangan kau pejamkan saja matamu itu,” pekik lainnya. “Mata itu untuk melihat. Aku di sini.”
Aku berusaha meraih para anak nakal itu. Namun karena keterbatasan, aku tak bisa melakukannya. Hingga kemudian, ada seorang yang membantuku. Orang itu—bila aku menaksir umurnya dari suara yang dikeluarkan—lebih tua dari usiaku dan anak-anak itu. Ia menyentak anak-anak badung itu. Anak-anak itu pun lari. Tongkat penuntuku dikembalikan. Aku cepat berterimaksih padanya. Begitulah, aku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku menceritakan apa yang terjadi kepada Ibu.
“Aku ingin bisa melihat,” pekikku penuh keluhan kepada Ibu. “Aku tidak ingin terus diganggu oleh anak-anak nakal itu.”
“Sabar anakku,” lerai Ibu tenang. “Orang sabar disayang oleh Tuhan.”
“Tapi kalau Tuhan sayang,” tandasku. “Kenapa mataku dibuat buta?”
“Jangan bilang gitu!” tandas Ibu. “Tuhan memberikan segala yang terbaik untuk umatnya. Termasuk segala kekurangan dalam diri kita.”
Ibu lantas menceritkan kepadaku bahwa apa yang aku alami ini, adalah sebuah kelebihan yang diberikan Tuhan. Ibu juga meyakinkan bahwa tidak semua kekurangan di dalam diri seseorang, adalah kesialan—karena bisa saja kekurangan itu adalah kelebihan.
“Kita tak pernah tahu, segala kekurangan mungkin akan menjadi sesuatu yang menyelamatkanmu kelak anakku.”
***
Apa yang dikatakan Ibu dahulu, bertahun-tahun kemudian, menjadi benar. Setelah aku lulus sekolah tinggi yang ditunjukan untuk para penyadang tunanetra, dan menikah dengan seorang pria normal, kebutaan yang aku miliki ini banyak menyelamatkan dari segala gejolak dunia yang begitu kacau. Secara tidak langsung, kebutaanku ini menyelamatkanku dari kesedihan yang disembunyikan Ibu sejak lahir. Usai aku dilahirkan, dan Ibu membesarkanku sendiri tanpa Ayah, ia selalu dirundung rasa sedih yang tak pernah diceritakannya. Ia bertahan seorang diri melawan kesedihannya hingga aku besar. Ia memang sangat kuat sebagai wanita. Tapi sekali waktu—dan benar-benar hanya sekali—di waktu kecil, aku pernah medengar Ibu terisak. Namun Ibu tak pernah mengakui kalau dirinya menangis. Mungkin Ibu menangis karena merindukan Ayah yang meninggal karena kecelakaan di tempat kerjanya.
Dahulu, Ibu sempat bercerita mengenai Ayah. Ibu berkisah kalau Ayah adalah pria baik yang sangat peduli dengan keluarga. Ia bekerja keras sebagai seorang sopir angkutan barang di suatu pabrik. Sayangnya, nasib buruklah yang memisahkan Ayah dari kami. Ia mengalami kecelakaan kerja yang tak diduga.
Sejak itu, Ibu harus bekerja keras membesarkanku. Ia menyingsingkan semua rasa sedihnya. Dan untuk menebus semua itu, aku berusaha untuk mengubah segala yang ada di dalam hidupku. Salah satunya, adalah dengan menerima kekuranganku. Aku berusaha menjalani hidup dengan tekun. Aku mengerjakan segala hal yang bisa dilakukan. Paling tidak, aku tak ingin banyak mengeluh seperti di masa anak-anak. Aku tidak ingin merepotkan Ibuku lebih dari yang sudah.
Demikianlah. Usai lulus sekolah tinggi, aku membuat usaha kecil-kecilan yang tanpa diduga berhasil membuat hidupku lebih baik. Aku kemudian menikah dengan pria normal. Bekerja dengan suamiku yang baik, usahaku terus meningkat hingga kini. Namun dari semua itu, aku menikmati—sekaligus mensyukuri—kalau kebutaan yang diberikan Tuhan kepadaku ternyata banyak menyelamatkan. Dunia yang ribut dengan segala tawarannya seakan menjauh dari pandanganku yang lugu. Tuhan seperti menjauhkanku dari hal kotor di luar pandanganku mengenai dunia, sepertinya pergaulan bebas di zaman yang kini serba maju. Maka aneh rasanya, ketika setelah berpuluh tahun aku melalui hidup dengan kebutaan, dan ada seoarang yang menawariku untuk operasi transplantasi mata. Operasi itu dilakukan atas dasar keinginan suamiku sebelumnya tanpa memberikan kabar kepadaku.
“Setelah operasi, Anda bisa melihat dunia, Nyonya?” kata dokter menyakinkan.
“Anda bisa melihat segala hal di dalam hidup ini.”
“Betul sekali,” suamiku mendukung. “Kalau kamu mau melakukannya, pandanganmu akan menjadi normal. Dan kamu akan bisa melihat bunga.”
Aku mendadak teringat soal bunga dan warna yang ingin aku lihat sejak kecil. Namun aku juga ingat petuah Ibu dahulu, bahwa: Tuhan mungkin saja melindungi kita dari kekurangan yang diberikannya. Aku pun meminta waktu untuk memikirkannya. Sampai seminggu kemudian, aku mendatangi rumah sakit dengan suamiku lagi. Dengan tegas aku menolak tawaran itu.
“Saya lebih nyaman dalam keadaan seperti ini,” jelasku kepada dokter. “Maafkan saya, Dok.”
“Bukankah sangat menyenangkan bisa melihat dengan normal, Nyoya,” jawab dokter itu. “Terlebih lagi, Nyonya nanti bisa melihat bunga.”
“Betul sekali, Dok! Tapi saya tidak bisa memaksakan sesuatu yang bertentangan di dalam diri, Dok.”
Dokter itu tidak memaksa. Begitu juga dengan suamiku. Namun sepulang dari rumah sakit, suamiku sempat bertanya mengapa aku menolak tawaran berharga itu. Aku pun menjelaskan:
“Kau tahu, Mas? Aku merasa kebutaan ini sudah banyak menyelamatkanku. Tuhan melindungiku—terkhusus pandanganku—dengan membutakan penglihatanku. Ini adalah cara Tuhan menyayangiku.”
Suamiku lekas memahami. Setelah itu aku mengajaknya ke toko bunga untuk membeli sebuket bunga. Sesampainya di sana, aku mendatangi rak bunga matahari berdasarkan tuntunan suamiku. Aku juga berusaha kembali mengingat bau, warna, dan wajah Ibu yang tak bisa aku lihat sejak kecil, tetapi bisa aku rasakan begitu dekat lewat sepucuk bunga di depanku.
_____________________
Risda Nur Widia, telah menerbitkan buku kumpulan cerpen tunggal Bunga-Bunga Kesunyian (2015), Tokoh Anda Yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016) dan Novel Igor: Sebuah Kisah Cinta yang Anjing.