Defisit Neraca Pembayaran Indonesia pada triwulan III-2019 membaik dari triwulan II-2019. Kendati membaik, defisit neraca transaksi berjalan perlu diwaspadai karena masih pada kisaran 2,7 persen dari PDB.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang positif meningkatkan daya tarik pasar keuangan Tanah Air. Derasnya aliran dana, baik yang masuk ke instrumen portofolio maupun yang berbentuk penanaman modal asing langsung, mempertebal ketahanan ekonomi dalam negeri dari pelambatan ekonomi global.
Meskipun begitu, Indonesia masih harus mewaspadai defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III-2019. Kendati defisit neraca transaksi berjalan membaik, hal itu lebih karena faktor penurunan impor minyak dan gas bumi (migas), bukan lantaran peningkatan kinerja ekspor yang signifikan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, aliran modal yang masuk dalam portofolio Indonesia sejak awal Januari hingga 7 November 2019 sebesar Rp 225,7 triliun. Aliran modal ini masuk ke dalam instrumen surat berharga negara Rp 175 triliun, saham (Rp 49 triliun), kemudian sisanya masuk ke SBI dan obligasi korporasi (Rp 2,7 triliun).
”Itu gambaran keseluruhan sehingga terlihat sisi positifnya, yakni investor masih baik melihat Indonesia,” kata Dody, di Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Investor masih baik melihat Indonesia.
Derasnya aliran masuk modal asing karena meredanya tekanan ekonomi global yang membuat investor nyaman menyimpan dana di negara-negara berkembang. Hal itu juga didukung dengan perbaikan fundamental ekonomi Indonesia sehingga pasar keuangan Tanah Air menjadi pilihan investor global dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 sebesar 5,02 persen, menurut Dody, menjadi salah satu katalis positif bagi investor. Pertumbuhan ekonomi yang masih berada di atas 5 persen menunjukkan kuatnya ketahanan domestik dari ketidakpastian global.
Kondisi ekonomi global itu juga dinilai Dody menjadi salah satu penopang penguatan nilai tukar rupiah sepanjang pekan ini hingga 0,3 persen. Adapun sejak awal tahun hingga 7 November 2019, nilai tukar rupiah telah terapresiasi 2,6 persen. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) 8 November 2019, rupiah berada di level Rp 14.020 per dollar AS.
Kabar positif terkait semakin dekatnya kesepakatan dagang fase pertama antara AS dan China membuat harapan tuntasnya perang dagang menguat. Selain itu, ketegangan mengenai Brexit di Eropa yang mereda juga membawa kabar positif, terjadi koreksi untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi Eropa.
”Investor global mulai mencari-cari untuk melihat imbal hasil yang tinggi, termasuk ke Indonesia,” ujar Dody.
Adapun berdasarkan catatan BI, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III-2019 mencatatkan defisit 46 juta dollar AS (Rp 645 miliar). Posisi NPI ini membaik dibandingkan dengan triwulan II-2019 yang mencatatkan defisit hingga 2 miliar dollar AS (Rp 28 triliun).
Perbaikan NPI ini diiringi dengan peningkatan posisi cadangan devisa pada akhir September 2019 yang mencapai 124,3 miliar dollar AS, lebih tinggi daripada posisi akhir Juli 2019 yang 123,8 miliar dollar AS.
Sementara itu, surplus transaksi modal dan finansial sebagai komponen pembentuk NPI tercatat meningkat menjadi 7,6 miliar dollar AS (Rp 106 triliun). Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan surplus triwulan sebelumnya, 6,5 miliar dollar AS (Rp 91,2 triliun).
Peningkatan surplus ini terutama didukung membaiknya kinerja investasi portofolio seiring meningkatnya aliran masuk modal asing pada aset keuangan domestik.
Dalam laporan NPI, peningkatan surplus juga disebabkan oleh menurunnya defisit investasi lainnya yang dipengaruhi oleh lebih tingginya penarikan neto pinjaman luar negeri sektor swasta dan lebih rendahnya pembayaran neto pinjaman luar negeri pemerintah.
Arus masuk neto penanaman modal asing (PMA) atau investasi langsung, yang menjadi bagian pembentuk neraca transaksi modal dan finansial, hingga triwulan III-2019 tercatat 4,8 miliar dollar AS (Rp 67,3 triliun).
Meski capaian tersebut lebih tinggi daripada triwulan III-2018 sebesar 4,5 miliar dollar AS (Rp 63,1 triliun), arus PMA pada triwulan III-2019 masih lebih rendah daripada triwulan III-2018 sebesar 5,4 miliar dollar AS (Rp 75,72 triliun).
Secara sektoral, PMA sepanjang triwulan III-2019 didominasi oleh sektor manufaktur, perdagangan, dan pertanian. Ketiga sektor tersebut memiliki pangsa 82,2 persen dari total PMA senilai 4,7 miliar dollar AS (Rp 65,91 triliun).
Defisit transaksi berjalan
BI juga mencatat, defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III-2019 membaik. Defisit neraca transaksi berjalan pada periode tersebut 7,7 miliar dollar AS atau 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit itu lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya yang 8,2 miliar dollar AS (2,9 persen dari PDB).
Perbaikan defisit neraca transaksi berjalan itu didukung oleh menurunnya defisit neraca perdagangan migas. Membaiknya defisit neraca perdagangan migas dipengaruhi oleh impor migas yang menurun sejalan dengan dampak positif kebijakan pengendalian impor, seperti program B20.
Sementara itu, surplus neraca perdagangan nonmigas tercatat stabil di tengah perekonomian dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor Indonesia yang menurun.
Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan pada Januari-September 2019 defisit 1,95 miliar dollar AS. Hal itu menyebabkan kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 tidak optimal.
Pertumbuhan ekspor melambat dari 8,08 persen pada triwulan III-2018 menjadi 0,02 persen pada triwulan III-2019. Pada triwulan III-2019, kontribusi ekspor terhadap PDB 18,75 persen, lebih rendah daripada kontribusi pada triwulan III-2018 yang sebesar 21,85 persen.
Kendati posisi Neraca Pembayaran Indonesia membaik, posisi defisit neraca transaksi berjalan tetap perlu diwaspadai.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Andry Asmoro mengingatkan, kendati posisi NPI membaik, posisi defisit neraca transaksi berjalan tetap perlu diwaspadai. Secara kumulatif dari Januari-September 2019 ini, defisit neraca transaksi berjalan masih akan berada pada kisaran 2,7 persen dari PDB.
”Posisi ini terbilang cukup karena berada di bawah target sasaran 3 persen dari PDB, tetapi tetap perlu dijaga agar kondisi ekonomi Indonesia tetap punya daya tahan dari tekanan eksternal,” ujarnya.