JAKARTA, KOMPAS – Komisi X DPR menilai program dan kebijakan Kemenpora belum fokus pada proses pembinaan prestasi jangka panjang. Padahal, negara ini akan menyelenggarakan sejumlah ajang olahraga internasional, yaitu sepak bola, basket, MotoGP, dan mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 2032. Kebijakan yang fokus pada olahraga prestasi dibutuhkan.
Kebijakan strategis Kemenpora disampaikan dalam rapat kerja perdana bersama Komisi X DPR di Jakarta, Kamis (7/11/2019). Hadir dalam rapat antara lain Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, Ketua PSSI Mochamad Iriawan, Ketua Umum PB Perbasi Danny Kosasih, dan Ketua Kontingen Indonesia pada SEA Games 2019 Harry Warganegara. Selain membicarakan kebijakan, rapat juga membahas proses naturalisasi pemain bola Fabiano da Rosa Beltrame dan pebasket Peyton Alexis Whitted.
Kemarin, Zainudin Amali menjelaskan tujuh program strategis Kemenpora. Dari tujuh program itu, hanya poin kelima dan keenam menyangkut olahraga, yakni mewujudkan pemasalan olahraga dan meningkatkan prestasi olahraga di tingkat regional dan internasional. Poin pertama adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan dan koordinasi lintas sektor. Poin kedua hingga keempat menyangkut kepemudaan, yakni mencegah bahaya destruktif dan perilaku berisiko pemuda, meningkatkan kompetensi kewirausahaan pemuda, dan meningkatkan pembinaan ideologi Pancasila. Sementara itu poin ketujuh berkaitan dengan reformasi birokrasi Kemenpora.
Anggota Komisi X DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sofyan Tan mengatakan, sebagai negara yang mengajukan diri sebagai tuan rumah ajang olahraga internasional, termasuk Olimpiade 2032 seharusnya kebijakan Kemenpora diprioritaskan untuk mengurus cabang-cabang olahraga Olimpiade. “Memang Olimpiade masih 13 tahun lagi, tetapi apa yang dihasilkan dalam lima tahun ini fundamental untuk mencetak atlet berprestasi di masa depan,” ujarnya.
Sofyan Tan juga menyoroti persiapan Indonesia menuju SEA Games Manila 2019 yang tinggal menghitung hari. Menurutnya, persiapan atlet-atlet menuju pesta olahraga antar negara se-Asia Tenggara itu harus terus dipantau karena ada kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat di Kemenpora dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). “Saat ini, uang kas KONI kosong karena rekeningnya diblokir dan pegawai tidak menerima gaji selama sembilan bulan. Sebagai induk organisasi, semua cabang olahraga pasti berafiliasi kepada KONI. Ini menjadi pekerjaan rumah Menpora menyelesaikan masalah ini,” katanya.
Anggota Komisi X DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Hugo Pariera mengatakan, Menpora perlu merumuskan ulang kebijakan olahraga jangka panjang. “Dari pemaparan yang disampaikan, saya melihat tidak ada fokus dalam mengurus olahraga. Kemenpora terlalu banyak mengurus organisasi olahraga, dari yang amatir hingga profesional. Oleh karena itu, menurut saya perlu ada redefinisi kebijakan olahraga, mana yang merupakan urusan negara atau mana yang merupakan wilayahnya cabang olahraga,” kata Andreas.
Cetak biru
Mengatur fokus kebijakan olahraga, menurut Dewi Coryati dari Partai Amanat Nasional dapat lebih mudah apabila Kemenpora mempunyai cetak biru kebijakan olahraga nasional. Selain itu, Kemenpora juga harus bersinergi dengan kementerian lainnya, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menghasilkan atlet-atlet muda berkualitas.
Anggota Komisi X DPR dari PDI PErjuangan lainnya, MY Esti Wijayanti mengatakan, di samping urusan olahraga Kemenpora juga punya tugas penting untuk membenahi birokrasi dan sistem anggaran. Apalagi, Badan Pemeriksaan Keuangan sudah mengeluarkan rekomendasi yang harus dikerjakan. “Ini harus ditindaklanjuti karena banyak keterkaitan antara Kemenpora dan pihak ketiga,” ujarnya.
Menpora Zainudin Amali menjelaskan, pihaknya akan mereformasi tata kelola anggaran agar kasus korupsi tidak terulang lagi. Selain itu, tata kelola anggaran juga diperlukan agar pelayanan terhadap masyarakat bisa lebih cepat. Salah satu upayanya adalah dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengaudit postur anggaran Kemenpora. “Kami ini Kementerian kelas tiga, tetapi akan kami rapikan tata kelola anggaran agar menjadi kementerian kelas atas,” ujarnya.
Menurut Zainudin, apabila memungkinkan ia juga ingin meninjau ulang regulasi olahraga di Indonesia. “Dengan banyak tuntutan olahraga, mungkin kita memang perlu merancang lagi regulasi olahraga dengan fokus dan output yang jelas,” ujarnya.
Kemarin, Zainudin juga memperjuangkan proses naturalisasi dua atlet asing, yaitu pemain bola asal Brasil, Fabiano da Rosa Beltrame (37), dan pebasket asal Amerika Serikat Peyton Alexis Whitted (24). Fabiano sudah menjalani karir sepak bola di Indonesia sejak 2005 dengan memperkuat tim sepak bola Persela Lamongan. Ia juga pernah memperkuat klub Persmin Minahasa, Persija Jakarta, Arema Cronus, Klub Madura United SC, dan kini di Persib Bandung. Sementara itu, Peyton baru tiba di Jakarta empat bulan lalu. Ia dibutuhkan untuk memperkuat tim basket 3x3 putri Indonesia.
Ferdiansyah dari Partai Golongan Karya meminta Kemenpora lebih mempertimbangkan usia dalam naturalisasi atlet. “Kita mengenal golden age (usia emas) untuk prestasi. Tolong dipertimbangkan dengan sisa waktu yang ada apa manfaatnya untuk merah putih,” ujarnya.