Melawan Disrupsi dengan Videografi
Disrupsi media membawa perubahan dalam beragam sendi kehidupan, termasuk dunia jurnalistik. Kini, saatnya melawan itu dengan kualitas penyajian karya yang ideal, termasuk lewat videografi.
Eddy Hasbi (53), pewarta foto senior harian Kompas, terkejut saat mendengar pernyataan anaknya. Kata anaknya, ketimbang berlangganan koran seharga hampir Rp 100.000 per bulan, lebih baik membeli kuota. Dalam jangka waktu yang sama, kuota itu bisa mengakses berita dari berbagai media daring hingga televisi.
Bagi Eddy yang hidup bertahun-tahun dari koran, perbandingan itu tidaklah pas alias tidak apple to apple. Namun, ia memahami, di era disrupsi digital, pembaca tidak hanya butuh konten dalam bentuk teks dan foto, tetapi juga grafis, audio, hingga video.
”Jadi, ungkapan satu foto seribu makna itu belum tuntas. Harus ada teksnya, bahkan fotonya bergerak,” katanya dalam acara Ngobrol Bareng bertema ”Fotografi dan Multimedia di Era Digital”, Kamis (7/11/2019), di Kota Cirebon, Jawa Barat.
Acara yang digelar Cirebon Power, perusahaan listrik tenaga uap setempat, itu dihadiri belasan jurnalis, pegiat fotografi, serta perwakilan humas Pemkot Cirebon dan humas Polres Cirebon. Diskusi tersebut merupakan rangkaian lomba foto bertema ”Cirebon Luar Biasa”.
Eddy bercerita, belasan tahun lalu, ia masih berkutat dengan foto dan teks. Menangkap beberapa frame saja sudah puas. Toh, foto dalam koran dibatasi halaman karena harus berbagi tempat dengan berita hingga iklan. Ketika itu, kamera digital kebanyakan belum mewadahi pengambilan video.
Hingga suatu hari, Eddy membaca buku karya Kenneth Kobre, ”Photojournalism: The Professionals’ Approach”. Kenneth yang memimpin program foto jurnalistik di Universitas San Francisco itu mengulas tentang videografi dalam bukunya. Eddy yang pernah mengalami proses mencuci foto pun sadar, foto beberapa tahun ke depan tidak lagi cukup dalam jurnalistik.
”Perubahan itu cepat sekali. Celakanya, saya masuk dunia videografi saat umur 45 tahun,” kata Eddy.
Baca Juga : Lincah Merangkul Teknologi
Umur yang, menurut, dia tidak lagi cepat dan tangkas untuk menangkap hal-hal baru. Akan tetapi, belajar memang tak mengenal usia. Selain ”melahap” buku tentang videografi, ia juga mulai praktik bikin video sendiri.
Ternyata, metode memotret dan membuat video tidak jauh beda, yakni EDFAT (entire, detail, frame, angle, dan time). Ia mencontohkan karya pewarta foto harian Kompas, Lucky Pransiska, tentang kebun teh.
Dalam entire, tampak pemandangan kebun teh yang luas dengan sejumlah petani. Untuk detail, hanya terlihat daun teh yang telah dipetik di atas tangan petani. Pengambilan frame menunjukkan sejumlah petani memetik teh.
Adapun angle dicontohkan ketika pengambilan gambar aktivitas memetik daun teh dari atas atau secara diagonal. Untuk time, Lucky memotret ketika tangan pemetik teh mengarah ke keranjang untuk memasukkan daun teh. Ada pula potret saat ibu-ibu pemetik teh itu bersolek dengan lipstik saat istirahat. Momen itu didapatkan dalam waktu (time) tertentu jika fotografer sabar.
Jadi, dalam satu peristiwa, fotografer minimal mendapatkan lima frame melalui metode EDFAT. Metode ini juga dipakai dalam pembuatan video. Hanya, gambarnya saja yang bergerak dan ada suaranya.
Perubahan itu cepat sekali. Celakanya, saya masuk dunia videografi saat umur 45 tahun. (Eddy Hasbi)
Multimedia
”Jadi, fotografer bisa menjadi videografer. Apalagi, teknologi mendukung. Satu kamera bisa untuk foto dan video. Ini disebut hybrid fotografi,” kata Eddy yang pernah mengikuti pelatihan videografi. Katanya, fotografer bukan mengambil ”lahan” videografer, melainkan merupakan upaya media agar tidak terpuruk dalam disrupsi digital, seperti pernyataan anaknya di awal tulisan.
Bahkan, kumpulan foto bisa menjelma gambar bergerak, seperti timelapse. Eddy lalu menunjukkan timelapse berdurasi kurang dari tiga menit yang merekam pembangunan Menara Kompas di Jakarta, selama tiga tahun. Video itu menangkap konstruksi gedung dari nol hingga menjadi menara megah dengan latar awan cerah hingga mendung.
”Timelapse itu diambil setiap tiga jam sekali setiap hari. Foto yang terkumpul mencapai 9.000 frame. Bukan pekerjaan mudah, tetapi memuaskan,” katanya.
Video hanyalah salah satu bentuk konten multimedia. Lainnya, masih ada teks, suara, grafis, peta, hingga sketsa. Sejumlah perusahaan media pun telah menerapkan multimedia. Harian Kompas, misalnya, melalui laman Kompas.id, menyajikan tulisan, foto, video, dan grafis dalam rubrik Tutur Visual.
Baca Juga : Warna Nostalgia Era Multimedia
Jauh sebelum itu, New York Times sudah memulainya. Bahkan, perusahaan ini menerapkan konten berbayar bagi siapa pun yang ingin mengaksesnya. Tahun lalu, pelanggannya sebanyak 2,8 juta dan tahun ini naik menjadi 3,3 juta pelanggan. Di dalam negeri, Kompas.id juga sudah melakukannya.
Konten berbayar tidak masalah jika kontennya berkualitas dan ditampilkan dalam multimedia. Namun, menurut Eddy, perusahaan media harus membuat iklim yang mendukung wartawannya berkreasi.
”Misalnya, jika reporter membuat video, akan mendapatkan nilai tambahan dalam penilaian kerja. Mereka juga harus dilatih,” ujarnya.
Kolaborasi juga diperlukan dalam pembuatan konten. Tutur Visual di Kompas.id, misalnya, dikerjakan wartawan, fotografer, videografer, pembuat grafis, desainer, hingga penyelaras bahasa. Yang terpenting, riset sebelum membuat konten, seperti literatur pendukung, narasumber, hingga foto-foto lama.
Untuk membuat multimedia, setiap pewarta perlu memiliki knowledge (pengetahuan), habbit (kebiasaan), passion, dan bakat. ”Kalau punya bakat, proses belajarnya bisa lebih cepat. Passion itu kita memang suka melakukannya, sedangkan habbit itu konsistensi,” katanya.
Eddy menyadari, konten multimedia seperti investasi, keuntungannya tidak datang seketika. Semakin banyak konten, katanya, peluang meraup keuntungan semakin besar. Sebagai contoh, Youtuber akan selalu memperbarui kontennya agar penonton dan pelanggannya tidak berkurang.
”Foto dan video jurnalis nantinya bisa dijual,” ucapnya.
Konten multimedia seperti investasi, keuntungannya tidak datang seketika. Semakin banyak konten, peluang meraup keuntungan semakin besar.
Khaerul Izan, jurnalis media daring di Cirebon, mengatakan, kantornya meminta reporter tidak hanya membuat tulisan, tetapi juga foto dan video. ”Buat video belum wajib. Kalau bikin video dapat tambahan pemasukan, tetapi sulit juga karena harus berpikir untuk wawancara, foto, dan merekam video,” katanya.
Head of Communication and Community Relation Cirebon Power Yudi Panjaitan mengatakan, tuntutan era multimedia tidak hanya terjadi di dunia pers, tetapi juga swasta. ”Kami berupaya sebisa mungkin membuat foto dan video yang menarik di media sosial. Padahal, acara di swasta kebanyakan seremonial,” ungkapnya.
Keluhan serupa terdengar dari mulut perwakilan humas Pemkot Cirebon dan Polres Cirebon. Mereka bingung membuat konten yang menarik padahal acara yang diikuti pejabat biasanya monoton. Sementara akun media sosial pejabat harus diisi agar lebih dikenal masyarakat.
Soal itu, kata Eddy, kreativitas dalam tahap pengeditan video atau foto dapat membuat konten lebih menarik. Pemerintah atau swasta bisa juga memanggil influencer, youtuber, dan vlogger untuk meningkatkan popularitas si pejabat atau perusahaan.
Di tangan mereka, konten pura-pura jadi pengemis saja bisa ditonton belasan juta kali. Namun, jika pers ikut-ikutan latah bikin konten seperti itu, lalu siapa yang membuat konten tentang terpuruknya industri gula atau bangkrutnya petani karena kekeringan?
Baca Juga: Mudahnya Pengiriman Foto dari Sony A7R IV