Memendarkan Cahaya Perfilman Jawa Timur
Sineas Jawa Timur harus tertantang mengingat jumlah bioskop komersial meningkat sebanyak 20 unit kurun dua tahun terakhir yang ibarat angin segar dalam sudut pandang industri perfilman.
Peningkatan jumlah bioskop komersial sebanyak 20 unit selama dua tahun terakhir ibarat angin segar dalam sudut pandang industri perfilman di Jawa Timur. Sineas setempat sebaiknya mengimbangi dengan menawarkan produksi film baru berkualitas dan mampu memikat penonton.
Sampai dengan akhir 2017, menurut catatan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, setidaknya ada 45-50 bioskop. Kurang dua bulan dari tahun ini berganti, jumlah bioskop berkisar 65-70 unit.
Provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini menjadi pasar amat potensial bagi raksasa jaringan bioskop regional, nasional, dan internasional dalam industri perfilman.
”Dalam pengamatan saya, investasi dalam pembuatan film rasanya tidak linear seperti perkembangan jumlah bioskop,” ujar Lutfi Hakim, Ketua Komite Tetap Ekonomi Kreatif Film dan Televisi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim dalam Bincang Kompas, Jumat (8/11/2019), di Redaksi Kompas Biro Surabaya. Bincang Kompas bertema ”Menakar Peluang Industri Film Jawa Timur” ini didukung SKK Migas Jabanusa dan Pertamina EP Asset 4 juga menghadirkan anggota Komisi B DPRD Jatim, Daniel Rohi, serta Don Aryadien, sineas dan pemimpin Bunga Langit Production.
Baca juga : Industri Film Indonesia Perlu Terus Berbenah
Dari sisi ekonomi, menurut Lutfi, investasi dalam film dirasa tak lebih moncer dibandingkan dengan instrumen, misalnya deposito, reksa dana, saham, properti, atau bahkan usaha kuliner.
Dalam pengamatan saya, investasi dalam pembuatan film rasanya tidak linear seperti perkembangan jumlah bioskop. (Lutfi Hakim)
Perfilman dianggap berisiko amat tinggi dalam hal pengembalian investasi. Padahal, bisnis ini sudah keluar dari daftar negatif investasi seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016.
”Padahal, jumlah bioskop dan penonton meningkat. Bahkan, beberapa film Indonesia punya penonton yang membeludak,” kata Lutfi. Sebagai contoh film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 dengan penonton sekitar 6,9 juta, Dilan 1990 (6,4 juta penonton), dan Dilan 1991 (5,3 juta penonton) yang sampai saat ini dianggap sebagai film tersukses Nusantara sejak milenium baru.
Film-film sukses tadi dianggap kurang berbau Jatim. Sutradara atau kru filmnya bahkan ”pembiaya” nya bukan dari Jatim. Meski begitu, sineas asal Jatim tetap berkarya meski dilihat dari aspek komersial belum meledak.
Film-film produksi sineas dari kawasan yang dijuluki ”brang wetan” ini jangan dipandang sebelah mata. Misalnya Bayu Moektito (Bayu Skak) dengan Yo Wis Ben hingga sineas dokumenter Dhandy Laksono.
Selain itu, Jumat malam, saat tulisan ini dibuat, Lintas Sinema Surabaya, gabungan para sineas, memutar perdana film Perjumpaan di XXI Ciputra World. Dunia perfilman di Jatim tetap berdenyut dengan membawa harapan dan keyakinan yang tinggi. ”Optimisme inilah yang perlu terus dipelihara dalam berkarya,” ujar Don.
Don pernah membuat survei kecil di kalangan penonton tentang tema-tema film yang disukai. Mengapa genre komedi seperti Warkop DKI Reborn meledak diduga karena pada prinsipnya penonton menyukai hiburan atau tawa.
Optimisme inilah yang perlu terus dipelihara dalam berkarya. (Don Aryadien)
Untuk Dilan, bisa diduga, drama cinta remaja atau generasi muda sebagai bahan baku inspirasi yang teramat banyak. Juga tidak bisa dilupakan, genre horor yang berpenonton jutaan orang.
Tontonan tatanan tuntunan
Di sinilah kemudian kalangan publik Bincang Kompas melihat ada sejumlah persoalan. Film bertema biografi tokoh-tokoh besar, misalnya Wage (WR Soepratman) dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto, dianggap kurang mendapat tempat di hati publik.
”Padahal, keduanya itu bapak bangsa dari Surabaya atau dari Jawa Timur, tetapi saya melihat film-film itu agak sepi,” ujar budayawan dan peludruk Meimura.
Mungkinkah penonton kita amnesia dengan sejarah sehingga enggan menonton film-film bertema biografi tokoh bangsa? Meimura mengingatkan, film jangan dianggap sebagai media hiburan semata.
Film adalah hasil peradaban, tontonan yang dapat membawa nilai-nilai tatanan dan tuntunan kehidupan. ”Saya khawatir, jika film-film bagus tetapi sepi penonton akhirnya akan membuat sineas enggan lagi memproduksi tema-tema besar itu,” katanya.
Don menanggapi dengan mengiyakan. Film-film tentang tokoh bangsa memang tak semeledak genre komedi, drama cinta, dan horor. Apakah memungkinkan menggarap film-film tadi dengan cita rasa generasi milenial yang gandrung dengan drama cinta? Misalnya, film tentang masa remaja Soepratman atau Soekarno sehingga bisa berpeluang diterima oleh penonton muda.
Baca juga: Regenerasi Industri Film Dimulai Melalui Pendidikan
”Cara lain, menjemput bola dengan memutarnya di sekolah atau kampus dengan tujuan pendidikan,” ujar Don. Pemutaran di sekolah atau kampus tidak haram jika kemudian penonton dibebani harga tiket tetapi yang rasional. Di sinilah ada semacam terobosan bahwa aspek bisnis film tak melulu harus hadir dalam bioskop yang notabene saat ini hanya berada di pusat-pusat belanja (mal).
Namun, pola jemput bola tadi mungkin tak banyak dilakukan oleh para promotor film. Di sisi lain, film-film tematik pendidikan tentang tokoh bangsa misalnya lebih pas diputar di sekolah. Orangtua amat mungkin merasa lebih tenang jika anaknya menonton di sekolah daripada di bioskop. ”Anak-anak akan lebih mudah diawasi bahkan dalam hal jajannya dari kantin,” kata Don.
Regulasi
Daniel mengatakan, dalam kapasitasnya akan mendorong komunikasi banyak pihak untuk menggairahkan perfilman Jatim. Provinsi ini sudah punya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pembangunan dan Pemberdayaan Film Jawa Timur tetapi dianggap belum efektif atau sekadar aturan normatif.
”Kami akan dorong ada turunannya dalam bentuk peraturan gubernur sekaligus peluang untuk merevisi perda tadi,” kata Daniel yang juga dosen teknik elektro di Universitas Kristen Petra.
Sineas atau pelaku perfilman di Jatim diminta terus memberi masukan dan tekanan kepada eksekutif dan legislatif agar perkembangan industri ini bisa tercapai. Investasi dan regulasi yang akomodatif akan amat diperlukan. Selain itu, munculkan komisi atau komite film di kabupaten/kota agar suatu daerah dapat ”promosi” dalam film sehingga dikenal dan mendatangkan dampak positif bagi kepariwisataan.
Komisi atau komite perlu ada sebagai jembatan multipihak dengan sineas yang berniat memproduksi film berlatar daerah dimaksud. Komite ini perlu memastikan proses produksi di daerah berjalan lancar dan memberi kegembiraan bagi para sineas yang sedang berkarya.
”Kami akan mendorong pemerintah menawarkan sejumlah lokasi untuk pembangunan studio alam bagi kepentingan produksi film,” kata Daniel.