Ditinggal Susi, Menteri Baru Bersiap Izinkan Cantrang
Kementerian Kelautan dan Perikanan bersiap mengizinkan kembali cantrang sebagai alat tangkap nelayan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memerintahkan mengkaji kembali pelarangan cantrang.
Oleh
Stefanus Ato
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ditinggal Susi Pudjiastuti, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersiap mengizinkan kembali cantrang sebagai alat tangkap nelayan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memerintahkan jajarannya untuk mengakaji kembali pelarangan cantrang sebagai alat tangkap nelayan Indonesia.
Saat berdialog dengan kelompok pelaku usaha perikanan tangkap dari Pati-Juwana, Jawa Tengah, di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kamis lalu, Edhy mengatakan, pemerintah ingin menyeimbangkan antara isu lingkungan dan mata pencaharian pelaku usaha perikanan. ”Saya tidak ingin mengabaikan salah satunya. Jadi, sebelum aturan dijalankan, kami akan buatkan dulu solusinya,” kata Edhy, dalam siaran pers yang diterima Kompas, Jumat (8/11/2019), di Jakarta.
Sejumlah pelaku usaha yang hadir mengatakan, mereka sudah mengikuti program peralihan alat tangkap yang sebelumnya dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun, beberapa dari pelaku usaha itu terkendala biaya peralihan.
”Mereka sebenarnya mau saja berganti dari cantrang, tetapi harus diganti alatnya. Dan ini butuh biaya,” kata salah seorang pelaku usaha yang hadir.
Para pelaku usaha itu mengakui, penangkapan menggunakan cantrang memiliki dampak merusak. Meski demikian, kerusakan karena cantrang tidak separah penggunaan trawl. Cantrang dapat mengenai karang hias (coral), tetapi tidak merusak terumbu karang (coral reef).
Saya tidak ingin mengabaikan salah satunya. Jadi, sebelum aturan dijalankan, kami akan buatkan dulu solusinya. (Edhy Prabowo)
Pelarangan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Cantrang termasuk jenis pukat tarik berkapal (boat seines), selain dogol, payang, dan lampara dasar.
Cantrang dilarang karena mengakibatkan turunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan. Berdasarkan laporan harian Kompas, Selasa (3/2/2015), disebutkan, penggunaan pukat sangat merusak. Ukuran jaring pukat yang sangat kecil membuat berbagai jenis biota laut terangkut.
”Sebanyak 60-82 persen ikan yang terjaring pukat itu dibuang karena tak bernilai ekonomi. Pemborosan sumber daya alam,” kata Manajer Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budidaya WWF Indonesia Abdullah Habibi, Senin (2/2/2015), di Jakarta.
Ikan yang tertangkap masih kecil/juvenile dan belum berkembang biak. Pukat juga mengangkut beraneka fauna dilindungi, seperti penyu dan hiu. Penggunaan pukat dasar juga menjaring berbagai jenis dan ukuran biota demersal.
Habibi menunjukkan foto udara praktik penggunaan pukat dasar yang membentuk garis-garis di dasar laut, memorakporandakan ekosistem bawah laut. Bahkan, saat beroperasi pada ekosistem terumbu karang, tubuh karang patah dan tercerabut saat mesin kapal menarik jaring pukat.
Dampak ekonomi dan sosialnya, Habibi mencontohkan laporan 23 kapal pukat dari Rembang yang ”disandera” nelayan Kalimantan Selatan, Agustus-Desember 2014. Aktivitas kapal pukat dinilai terlalu dekat pesisir sehingga mengurangi hasil tangkap nelayan setempat.
Data statistik Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyebutkan, pengguna pukat hanya 10-15 persen. Sebagian besar nelayan menggunakan pancing, perangkap, dan alat lain.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Ahmad Poernomo, pelarangan alat tangkap pukat menjaga kedaulatan dan keberlanjutan perikanan Indonesia. ”Mungkin dalam 3-5 tahun bisa melihat hasilnya,” katanya
Ongkos mahal
Pada kesempatan itu, pelaku usaha perikanan juga mengeluhkan mahalnya ongkos penangkapan. Hal itu terjadi karena kebutuhan untuk mengangkut ikan tangkapan dari penangkapan ke darat membutuhkan biaya yang tak sedikit.
”Jadi, kalau bisa kami perlu kapal penangkapan ikan yang sedikit lebih besar dari 150 GT dan kapal angkut yang lebih besar daripada 200 GT,” kata Didik, salah satu perwakilan pelaku usaha perikanan tangkap.
Menanggapi permintaan itu, Edhy mengatakan pihaknya perlu mengadakan pertemuan dengan seluruh asosiasi pelaku usaha perikanan tangkap untuk mendalami permasalahan yang dirasakan. ”Kalau harga ikan itu kan sebenarnya stabil tapi kalau biaya produksi yang mahal, ya, ini harus kita carikan jalan keluar,” ucap Edhy.
Ia khawatir, jika nanti alih muat dari kapal penangkap ikan ke kapal angkut diperbolehkan kembali, pelaku usaha tidak secara utuh melaporkan hasil tangkapannya. Situasi ini juga sering kali dimanfaatkan oknum tertentu untuk bertransaksi jual beli ikan ilegal di tengah laut.
Edhy meminta komitmen pelaku usaha agar tidak ada lagi kecurangan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Pelaku usaha juga perlu melaporkan persoalan perizinan kapal dan penangkapan ikan.
”Kami sedang menyederhanakan berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan. Yang penting tidak melanggar aturan,” kata Edhy.
Edhy juga menagih komitmen pelaku usaha perikanan tangkap untuk menjaga laut dan sumber daya alam di dalamnya. Pelaku usaha tak sekadar mencari ikan di laut, tetapi juga harus menjadi mata dan telinga aparat dalam melaporkan pencurian ikan kapal-kapal asing.