Merindukan Kesucian Air Sungai Cisadane
Dahulu kala, kejernihan Sungai Cisadane dikenal warga setempat. Sebagian dari mereka menjadikan air sungai itu untuk bersuci. Namun kini, kesucian Cisadane perlahan mulai pudar seiring dengan banyaknya sampah di sana.
Kenangan indah tentang Sungai Cisadane lambat laun memudar. Warga di sekitar bantaran sungai di Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, hanya bisa bernostalgia dengan ingatan masa kecil akan asrinya kawasan sungai. Sekarang pemandangan itu sulit ditemukan, warga semakin sering melihat tumpukan sampah di kawasan itu.
Masih segar dalam ingat Ubay Dilah (29), ketika tahun 1990-an, ia bersama teman-teman sering bersampan mencari ikan di Sungai Cisadane menggunakan jaring dan tombak. Setelah memancing, biasanya mereka duduk di bantaran sungai sambil menikmati senja. ”Dulu sering dapat ikan gabus (Snakehead murrel), dan jenis ikan-ikan lain. Seneng banget, tetapi sekarang boro-boro ikan gabus, ikan sapu-sapu (Hypostomus plecostomus) aja mati,” kata Ubay.
Keceriaan itu perlahan mulai hilang memasuki tahun 2000. Aktivitas pembuangan sampah dan perkembangan industri yang semakin marak membuat wajah Sungai Cisadane berubah drastis. Saat ini, yang memenuhi ingatan Ubay, bayang kelam Sungai Cisadane dengan tumpukan sampah, air kotor, dan berbau yang entah kapan akan teratasi. Warga tidak bisa lagi mengandalkan Sungai Cisadane sebagai sumber kehidupan terutama ketika musim kemarau.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Renny Kurnia Hadiaty menyebutkan, terdapat 32 spesies ikan dari 19 famili dan 5 ordopada tahun 2011. Dua puluh 4 jenis atau 75 persen di antaranya spesies asli, sedangkan 8 jenis atau 25 persen merupakan ikan introduksi. Penelitian di lakukan di 34 titik berbeda di kawasan sungai. Pada tahun yang sama, studi pustaka menunjukkan ada 86 spesies ikan yang dulu hidup di danau-danau daerah aliran Sungai Cisadane. Namun, saat ini hanya dijumpai 24 spesies, dengan demikian laju kehilangan spesiesnya sekitar 72,1 persen.
Baca juga: Adu Perahu Naga dan Sensasi Berjalan di Jembatan Apung
Dampak pencemaran sungai tidak hanya mengurangi jumlah spesies ikan, melainkan juga merepotkan warga sekitar. Nasir Ning (66), sesepuh Desa Tanjung Burung, menuturkan, limbah industri dan sampah yang mencemari sungai mengakibatkan warga warga tidak bisa menggunakan air itu untuk pengairan kebun dan sawah.
Jika air itu dipakai untuk pertanian, kata Nasir, lebih dari 40 hektar tanaman padi terkena penyakit, seperti wereng serta tanaman padi menghitam dan mati. Demikian pula jika air dialirkan ke tambak, ikan di area itu bisa mati. Sedikitnya 12.250 keluarga warga Tanjung Burung terdampak pencemaran berat Sungai Cisadane.
Jauh sebelum warga mengeluhkan kualitas air Cisadane, pada 23 Oktober 2002, PT Unilab Perdana, sebuah perusahaan laboratorium yang membantu Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Tangerang, melakukan penelitian terhadap limbah cair pada sebuah perusahaan swasta nasional di Kota Tangerang.
Hasil uji laboratorium limbah cair yang diproduksi perusahaan pembuat kancing baju dan kancing jendela cukup mengagetkan. Tujuh di antara 10 kandungan kimia yang diujikan melebihi baku mutu yang ditetapkan untuk industri pelapisan logam, seperti yang terdapat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51/MENLH/10/1995.
Baca juga: Bersuci di Tepi Sungai Cisadane
Ketujuh parameter kimiawi yang melebihi baku mutu itu adalah kandungan zat padat tersuspensi (TSS) sebanyak 56 miligram per liter (mg/l), sianida (CN) sebanyak 2,982 mg/l, khromium total (Cr) 19,03 mg/l, khromium VI (Cr 6+) 0,27 mg/l, tembaga (Cu) 48,91 mg/l, seng (Zn) 66,67 mg/l, dan nikel (Ni) 310 mg/l. Padahal, berdasarkan keputusan menteri, kandungan zat kimia untuk tujuh parameter tersebut seharusnya adalah TTS 20 mg/l, CN 0,2 mg/l, Cr 0,5 mg/l, Cr 6+ 0,1 mg/l, Cu 0,6 mg/l, Zn 1,0 mg/l, dan Ni 1,0 mg/l.
Yang lebih mengejutkan, limbah cair sebanyak 27 meter kubik (m3) per hari, yang kandungan zat kimianya melebihi baku mutu itu, setiap hari dibuang ke Sungai Cisadane. Padahal, air Sungai Cisadane merupakan sumber air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kerta Raharja milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang dan PDAM Tirta Dharma milik Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang.
Uji laboratorium pada Maret 2004 menunjukkan, kandungan zat padat tersuspensi TSS justru meningkat menjadi 900 mg/l, kandungan Cu 28,38 mg/l, Zn 13,67 mg/l, Cr 6+ 0,88 mg/l, Cr 2,00 mg/l, Ni 16,45 mg/l, dan CN 41,553 mg/l.
Baca juga: Berlayar Membelah Sungai Cisadane
Warisan sampah
Ingatan Nasir, kakek 11 cucu ini kembali pada 1955. Saat ia beranjak remaja, Sungai Cisadane jadi kebanggaan masyarakat. Airnya jernih, bening, dan segar. Ikan banyak dan kelihatan. Sungai Cisadane punya peran dan fungsi vital bagi penduduk Tanjung Burung dan sekitarnya. Sampai 1990-an, air Sungai Cisadane masih bersih. Tidak ada cerita indah yang bisa ia wariskan kepada generasi penerus tentang kesucian sungai yang melegenda itu.
”Yang diwarisi dari Sungai Cisadane untuk anak-anak dan penerus selanjutnya adalah sampah, lingkungaan yang tercemar akibat sampah dan air limbah. Dari orangtua dulu mewariskan kisah sejarah Sungai Cisadane. Ada kebanggaan mendengar cerita Sungai Cisadane. Namun, cerita itu seperti tidak memiliki arti jika melihat kondisi sungai yang tercemar parah,” tutur Nasir.
Sungai Cisadane memiliki mata air di Gunung Kendeng dan umumnya hulu sungai ini berada di lereng Gunung Pangrango dengan beberapa anak sungai yang berawal di Gunung Salak, melintas di sisi barat Kabupaten Bogor, terus ke arah Kabupaten Tangerang dan bermuara di sekitar Tanjung Burung. Dengan panjang keseluruhan sekitar 126 km, sungai ini pada bagian hilirnya cukup lebar dan dapat dilayari oleh kapal kecil.
Sungai Cisadane merupakan sungai besar yang melintasi Kota Tangerang. Selama ratusan tahun, sebelum dihuni pedagang Tionghoa memanfaatkan aliran Sungai Cisadane dari pesisir Laut Jawa untuk berlayar masuk ke pedalaman daerah Tangerang, sudah ada masyarakat sunda. Sebelum disebut Cisadane, sungai ini dulunya bernama ”Sadane”. Kata ”Sadane” jika diartikan dalam Bahasa Sanskerta berarti ”Istana Kerajaan”.
Baca juga: Hujan di Hulu, Sampah Penuhi Sungai Cisadane
Kerajaan Padjadjaran merupakan kerajaan Hindu dan sangat menghormati air sungai dari gunung sebagai wadah untuk membersihkan diri menuju jalan kebijaksanaan. Cisadane dulunya menjadi sungai suci bagi masyarakat Hindu Kerajaan Padjadjaran. Aliran Sungai Cisadane berasal dari anak-anak sungai yang berhulu di lereng Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Bogor. Dari lereng gunung, aliran Cisadane memasuki wilayah Bogor, lalu melintasi Kota Tangerang, kemudian bermuara di Tanjung Burung Teluk Naga, dan membentang ke Laut Jawa.
Jawa Barat, yang dulu bernama Tatar Sunda, pernah di bawah kekuasaan Mataram. Fisik wilayahnya yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda mulai terpecah-pecah ketika Kerajaan Pakuan Padjadjaran runtuh (1579 M). Pusat pemerintahannya (di Bogor sekarang) diserbu pasukan Banten dan diboyong ke Surosowan.
Sejak itu, Prabu Geusan Ulun selaku nalendra (penguasa) di Sumedang mencoba menggantikan posisi raja Sunda dengan mengklaim bekas wilayah Kerajaan Sunda yang terletak di antara Kali Cipamali dengan Cisadane. Dasarnya adalah mahkota Binokasih, yakni mahkota raja Sunda yang berhasil dibawa lari dari Pakuan ke Sumedang yang kemudian menjadi Sumedanglarang.
Mengetahui Padjadjaran sudah runtuh, beberapa kerajaan kecil lain berusaha melepaskan diri. Tetapi, situasi pada saat itu sudah sangat lain. Kompeni dan Mataram mulai berusaha menanamkan pengaruhnya. Bahkan, setelah Prabu Geusan Ulun wafat (1610 M), putranya yang menggantikan, Aria Suradiwangsa I pergi ke Mataram dan menyatakan Sumedang menjadi bagian dari Mataram (1620).
Sejak itu, wilayah tersebut berubah namanya menjadi Priangan dan menyerahkan pimpinan pemerintahannya kepada Aria Suradiwangsa I dengan gelar Pangeran Kusumadinata I atau Rangga Gempol. Wilayahnya meliputi Galuh yang sebelumnya sudah ditaklukkan Senapati, pendiri Mataram (1595). Wilayah yang oleh sumber Belanda disebut Westerlanden itu, kemudian dibagi menjadi beberapa kabupaten yang masing-masing dikepalai bupati yang kemudian dikoordinasi bupati wedana.
Sultan Agung juga menetapkan beberapa ketentuan, antara lain dibentuknya koloni di beberapa tempat, misalnya di Karawang dan Bojonglopang, dengan menempatkan penduduk dari suku Jawa, khususnya dari Mojokerto. Beberapa daerah diberi tugas khusus, misalnya Priangan ditugaskan mengurus kuda dan Galuh harus mengirim petugas-petugasnya untuk mengabdi di Mataram. Kepada para bupati diwajibkan datang ke Mataram dengan membawa upeti.
Wilayah Priangan yang menjadi pusat Tatar Sunda itu memang tidak lama berada di bawah kekuasaan Mataram. Melalui perjanjian tahun 1677, Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur kepada kompeni dan tahun 1705 menyerahkan Priangan Tengah dan Barat sebagai imbalan dalam menyelesaikan konflik Mataram.
Sejarah panjang Sungai Cisadane menjadi kebanggaan yang masih dipertahankan masyarakat di Tanjung Burung. Sejarah menjadi pesan dan pengingat bahwa kesucian Sungai Cisadane perlu terus dijaga, meski kondisi sungai saat ini sangat tercemar oleh aktivitas pembuangan sampah dan limbah industri.
”Sungai dulu bersih karena para orangtua selalu menjaga sungai ini dan berpesan kepada kami untuk tidak membuang sampah sembarangan ke sungai. Yang kami kami pelajari jika (sungai) kotor, bencana akan datang. Itu pesan pentingnya dan sekarang kami di Tanjung Burung merasakan dampak buruk yang sangat besar,” kata Nasir.