Mana Tahan Partai Oposisi?
Masuknya Partai Gerindra dalam pemerintahan Joko Widodo-Mar’uf Amin, sedikit banyak mengubah konstelasi politik pasca-pemilihan umum. Kondisi ini mengurangi potensi kekuatan partai di luar parlemen yang diharapkan memainkan fungsi penyeimbang atau oposisi terhadap jalannya pemerintahan. Sejarah mencatat, daya tahan partai politik di luar pemerintahan tak lebih dari siklus sepuluh tahunan.
Harus diakui, berada di luar pemerintahan, meskipun tetap penting, bukan tujuan utama dari banyak partai politik. Apalagi sistem pemilihan umum kita tidak didesain dan mengenal hadirnya kekuatan oposisi yang solid dan permanen.
Bagaimanapun, partai politik dibentuk dan didirikan untuk masuk dalam kekuasaan yang di dalamnya memiliki akses terhadap modal politik dan ekonomi. Maka, pilihan masuk dalam pemerintahan tak jarang menjadi opsi utama, apalagi ketika partai memenangkan sebuah kontestasi politik.
Sejarah mencatat, daya tahan partai politik di luar pemerintahan tak lebih dari siklus sepuluh tahunan.
Akibatnya, pilihan menjadi oposisi atau partai politik di luar kekuasaan menjadi langkah terakhir ketika proses politik tidak memungkinkan sebuah partai masuk dalam pemerintahan. Apalagi dalam sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai membuka peluang semua partai politik masuk dalam pemerintahan.
Hal ini berdasar pada koalisi yang dibangun antarpartai ketika proses kontestasi politik, terutama di pemilihan presiden. Setidaknya hal ini pernah terjadi ketika hasil Pemilu 1999 melahirkan koalisi besar dari partai politik peraih kursi di DPR ketika itu.
Saat itu, setidaknya pemerintah ditopang oleh tujuh partai politik yang menguasai 436 kursi atau 87,2 persen dari total kursi DPR. Sisanya, ada 13 partai politik dan satu fraksi TNI/Polri berada di luar pemerintahan dengan penguasaan 64 kursi atau sekitar 12,8 persen kursi DPR.
Kondisi ini tak berubah banyak ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke Megawati Soekarnoputeri. Kekuatan partai yang berperan sebagai oposisi pun kurang maksimal karena sebagian besar partai politik berada di dalam pemerintahan. Pasca-peralihan kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati secara umum tidak terjadi gejolak berarti sampai pemerintahan ini kemudian berakhir di 2004.
Kondisi agak berbeda kemudian terjadi di periode pertama era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di periode ini, peran oposisi mulai menampakkan diri. Kekuatan ini dimotori oleh PDI Perjuangan bersama tujuh partai politik yang menguasai 147 kursi atau 26,7 persen kursi DPR. Sementara pemerintah didukung oleh koalisi delapan partai politik yang menguasai 403 kursi (73,3 persen).
Meskipun kekuatannya tak sebanyak koalisi pemerintah, posisi PDI Perjuangan cukup tegas sebagai partai oposisi. Partai pimpinan Megawati ini mampu menjadi pemain kunci yang memerankan pengawasan terhadap pemerintah. Sejumlah hak angket dan interpelasi DPR di era SBY ini dimotori oleh PDI Perjuangan dan partai oposisi lainnya.
Partai pimpinan Megawati ini mampu menjadi pemain kunci yang memerankan pengawasan terhadap pemerintah.
Kondisi ini bertahan juga di periode kedua SBY. PDI Perjuangan tetap berada di luar pemerintahan sebagai kekuatan oposisi. Upaya membujuk partai berlambang kepala banteng ini masuk ke pemerintahan gagal dilakukan. Salah satunya melalui upaya Partai Demokrat mendukung tokoh senior PDI Perjuangan Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR.
Harapannya, PDI Perjuangan bisa mendukung pemerintahan SBY di periode kedua ini. Namun, upaya ini tidak mengubah pendirian PDI Perjuangan untuk tetap berada di luar pemerintahan. Praktis, 2009-2014 menjadi periode kedua bagi partai berlambang kepala banteng ini menjadi oposisi.
Getolnya PDI Perjuangan memotori kekuatan oposisi selama sepuluh tahun memberikan insentif elektoral bagi partai ini di Pemilu 2014. PDI Perjuangan memenangi pemilu legislatif dan pemilihan presiden dengan mengusung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. PDI Perjuangan pun mengakhiri puasa kekuasaannya selama 10 tahun terakhir.
Daya tahan
Daya tahan sepanjang sepuluh tahun yang dilakukan PDI Perjuangan menjadi oposisi pun berakhir. Bandul politik pun berubah. Peran oposisi kemudian beralih ke Gerindra, PKS, dan Demokrat. Bagi Gerindra, sepanjang 2014-2019 adalah periode keduanya berada di luar pemerintahan. Sementara bagi Demokrat dan PKS menjadi pengalaman pertama sebagai kekuatan oposisi.
Dinamika politik sepanjang lima tahun terakhir tersebut tak luput dari sorotan oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Mulai dari isu ekonomi, politisasi SARA, sampai pada penegakan hukum yang dinilai menjadi pekerjaan rumah bagi Jokowi di periode keduanya, lima tahun ke depan.
Sama halnya dengan PDI Perjuangan, lima tahun terakhir adalah periode kedua bagi Gerindra menjadi partai di luar pemerintahan. Sayangnya, pasca periode keduanya menjadi partai oposisi, Gerindra kurang mendapatkan insentif elektoral seperti yang dialami PDI Perjuangan.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes melihat hal ini tak lepas dari posisi Gerindra yang ia nilai sejauh ini tidak sepenuhnya menjalankan fungsi kontrol di parlemen. Hal ini yang dinilainya berbeda dengan PDI Perjuangan pada era SBY yang getol menggunakan hak angket dan interpelasi.
“Gerindra sikap politiknya dalam pengawasan tidak terasa, itu mungkin salah satu penjelas mengapa suaranya tidak naik signifikan di pemilu kemarin,” ungkap Arya.
Tentu, masuknya Gerindra dalam pemerintahan periode kedua Jokowi ini semakin memperkuat siklus sepuluh tahunan. Sejauh ini angka sepuluh tahun ini menjadi puncak daya tahan sebuah partai menjadi oposisi. Apalagi Gerindra, sejak berdiri 2008 menjadi satu-satunya partai yang belum pernah masuk dalam pemerintahan.
Tentu, masuknya Gerindra dalam pemerintahan periode kedua Jokowi ini semakin memperkuat siklus sepuluh tahunan.
Siklus sepuluh tahunan sepertinya sudah menjadi puncak daya tahan Gerindra untuk kemudian memutuskan bergabung dalam pemerintahan Jokowi dengan mendapatkan jatah dua kursi menteri.
Kedua kursi ini ditandai dengan dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Padahal, sebelumnya, dalam kontestasi Pemilu 2019, Gerindra menjadi partai utama pengusung Prabowo Subianto menjadi calon presiden melawan Jokowi.
Stabilitas politik
Bergabungnya Gerindra ke dalam pemerintahan, meskipun dalam dinamika politiknya tidak berada dalam barisan pemenang pemilu, semakin menguatkan sinyalemen daya tahan oposisi belum mampu melampaui siklus sepuluh tahunan. Partai Gerindra menjadi partai kedua setelah PDI Perjuangan yang berada di luar pemerintahan selama 10 tahun.
Di luar kedua partai ini, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) baru menjalani masa lima tahun sebagai partai penyeimbang di luar pemerintahan. Jika tidak ada perubahan, kedua partai ini, sepanjang lima tahun ke depan di periode kedua pemerintahan Jokowi, akan menembus sepuluh tahun sebagai partai oposisi.
Di luar kedua partai ini, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) baru menjalani masa lima tahun sebagai partai penyeimbang di luar pemerintahan.
Sementara bagi Partai Amanat Nasional (PAN), lima tahun ke depan akan menjadi pengalaman pertamanya berada di luar pemerintahan. Dengan masuknya Gerindra dalam koalisi pemerintah, fungsi kontrol di luar pemerintahan akan lebih banyak bertumpu kepada Demokrat, PKS, dan PAN.
Upaya pemerintahan Jokowi mengajak bergabung Gerindra tidak lepas dari tujuan menguatkan posisinya dalam konstelasi politik nasional. Salah satu motivasi utama tak lain adalah terbentuknya stabilitas politik yang mendukung jalannya pemerintahan. Tidak heran jika kemudian dukungan yang dikumpulkan di periode keduanya ini mencapai 74,3 persen dari parlemen, lebih tinggi dari periode pertamanya yang tercatat 68,9 persen dukungan parlemen.
Hal ini sama persis yang dilakukan SBY di periode keduanya yang mendulang dukungan sampai 75,5 persen, lebih tinggi dibandingkan periode pertamanya. “Di periode kedua, presiden cenderung menghindari instabilitas politik dan ingin soft landing,” ungkap Arya.
Lalu, apakah koalisi besar akan menjamin terbentuknya stabilitas politik? Tentu rekam jejak politik di negeri ini mengkonfirmasi, tidak selamanya koalisi yang besar akan melahirkan stabilitas politik bagi pemerintah. Di era SBY, misalnya, bagaimana kita melihat di dalam koalisinya tak jarang juga terjadi perbedaan pilihan politik, terutama terkait isu-isu populis seperti kenaikan harga BBM.
Lima tahun ke depan bukan hal mustahil kondisi yang sama akan terjadi. Apalagi dalam konteks demokrasi, kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan sebagai oposisi tetap harus ada sebagai bagian penting untuk membangun check and balance.
Lalu, apakah koalisi besar akan menjamin terbentuknya stabilitas politik?
Dengan kekuatan 25,7 persen di parlemen, ketiga partai politik yang tidak masuk pemerintahan, yakni Demokrat, PKS, dan PAN tentu diharapkan lebih intensif memainkan peran kontrolnya.
Pengalaman PDI Perjuangan yang getol beroposisi di era SBY menjadi modal sejarah bagi partai oposisi untuk berharap mendapatkan insentif elektoral jika menjadi oposisi, khususnya guna menghadapi kontestasi pemilihan umum lima tahun mendatang. Tentu saja ini terjadi jika tidak ada lagi “godaan" bagi ketiga partai politik untuk masuk dalam gerbong pemerintahan.
Sejarah politik merekam bagaimana perjalanan kabinet tak selamanya mulus. Potensi terjadinya reshuffle kabinet tetap ada dan inilah yang menjadi titik krusial bagi mereka yang selama ini berada di luar pemerintahan. Pengalaman menjadi oposisi selama sepuluh tahun bagi PDI Perjuangan dan Partai Gerindra tentu menjadi alasan kuat bagi partai lain “berpikir ulang” apakah bertahan menjadi oposisi atau masuk bergabung bersama di pemerintahan.
Kita lihat saja dari ketiga partai yang kini berada di luar pemerintahan, mana yang tahan menjadi oposisi sampai lima tahun ke depan. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)