Pengarusutamaan Jender Belum Jadi Perhatian Serius dalam Respons Terorisme
Keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme terus meningkat. Meningkatnya jumlah perempuan sebagai martir bom kekinian sebagai tanda jika perempuan memegang peranan penting dalam agenda ekstremisme.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi ekstremisme di Indonesia belakangan ini mulai bergeser, menyusul pelibatan sejumlah perempuan sebagai martir bom. Keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme terus meningkat. Hingga 2019 ada 10 perempuan di Tanah Air menjadi pelaku terorisme.
Meningkatnya jumlah perempuan sebagai martir bom kekinian sebagai tanda jika perempuan memegang peranan penting dalam agenda ekstremisme. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kelompok ekstremis semakin lihai membangun narasi jender dalam aksinya. Sementara pemerintah hingga kini belum secara serius menanggapi terorisme dengan menggunakan pendekatan pengarusutamaan jender.
”Kasus perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri, terutama keluarga, memberikan peringatan kepada kita semua tentang lemahnya pengarusutamaan jender (gender maintreaming) dalam respons pemerintah dan nonpemerintah terhadap ekstremisme kekerasan,” ujar Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah dalam perbincangan dengan media, Senin (11/11/2019), di Jakarta.
Kasus perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri, terutama keluarga, memberikan peringatan kepada kita semua tentang lemahnya pengarusutamaan jender dalam respon pemerintah dan nonpemerintah terhadap ekstremisme kekerasan.
Ruby mencontohkan, kasus terbaru pelibatan perempuan dalam aksi terorisme seperti yang dilakukan Solimah, istri dari tersangka teroris Abu Hamzah. Pada 13 Maret 2019 di Sibolga, Sumatera Utara, Solimah meledakkan dirinya bersama anaknya yang berumur dua tahun daripada harus menyerah kepada penegak hukum.
Tahun 2018, Puji Astuti bersama dengan dua anak perempuan menjadi pengebom bunuh diri di GKI Diponegoro di Kota Surabaya, Jawa Timur. Aksi yang waktunya hampir bersamaan juga dilakukan suami Puji, Dita Upriyanto, dan kedua anak mereka dengan melakukan bom bunuh diri di dua tempat yang berbeda di Surabaya.
Menurut Ruby, dari data Indeks Terorisme Global (GTI) yang dirilis Institute for Economics and Peace (IEP), sejak tahun 2002 aksi ekstremisme meningkat secara signifikan di Asia Pasifik. Filipina disebut sebagai negara yang paling terdampak di kawasan tersebut. Bahkan, Asia Selatan memiliki dampak tertinggi dari serangan teroris mana pun pada 2016.
Adapun keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme disebabkan sejumlah faktor. Selain karena kekalahan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), perkembangan teknologi informasi, terutama penggunaan media sosial di tengah masyarakat, memberikan kontribusi besar dalam perekrutan perempuan untuk aksi terorisme.
Kendati dipengaruhi budaya patriarki yang sangat kuat, NIIS memanfaatkan perempuan berperan sebagai pelaku bom bunuh diri dengan sejumlah narasi. Misalnya, ketika seorang perempuan menjawab panggilan jihad, perempuan tersebut dianggap derajatnya lebih tinggi dan dianggap sebagai pahlawan.
”Bahkan, kalau untuk laki-laki dijanjikan 72 bidadari surga, untuk perempuan itu ada narasi 40 tiket ke surga,” ujar Ruby yang juga pemenang N-peace Award 2016.
Selain media sosial dan keyakinan ”akan kebenaran” yang dijanjikan, menurut Ruby, faktor lain yang mendorong perempuan terlibat dari radikalisme adalah kemiskinan, perasaan kurang diakui dan diberikan ruang di keluarga, kurangnya komunikasi antaranggota keluarga, serta janji- janji manis yang didapatkan dari faktor eksternal.
”Sayangnya kita tidak mampu membaca fenomena ini secara serius sehingga tidak bisa klop dengan intervensi yang dilakukan selama ini. Belum pernah pihak yang terkait duduk secara serius membahas soal gender mainstreaming terkait terorisme,” katanya.
Belum pernah pihak yang terkait duduk secara serius membahas soal gender mainstreaming terkait terorisme.
Oleh karena itu, menurut Ruby, sangat penting sekali meningkatkan kepedulian semua pihak dalam mencegah perempuan-perempuan terlibat dalam aksi teror. Pendekatan jender dalam kebijakan pencegahan dan penanganan terorisme di Tanah Air perlu menjadi prioritas.
Penguatan koordinasi
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Vennetia R Danes mengungkapkan, fenomena keterlibatan perempuan dalam aksi teror mendapat perhatian pemerintah. Sejauh ini berbagai upaya dilakukan pemerintah, seperti penguatan koordinasi lintas sektor dalam upaya pencegahan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Selain itu, pelibatan perempuan dalam upaya pencegahan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme; melakukan deradikalisasi sejak dini (menanamkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman sejak dini); serta menyediakan payung hukum yang kuat dalam penanganan terorisme.
”Untuk masyarakat perlu penguatan keluarga; meningkatkan peran tokoh adat, masyarakat, dan agama dalam penanaman nilai toleransi; moderasi beragama; serta memberikan dukungan dalam reintegrasi sosial,” kata Vennetia
Untuk membahas pendekatan jender terkait upaya pencegahan terorisme, AMAN Indonesia menggelar Indonesia Peacebuilder Forum 2019 pada 26-28 November 2019 di Malang. Kegiatan kerja sama AMAN dan Universitas Brawijaya Malang akan diikuti 300 perwakilan dari wilayah Asia Pasifik dengan beragam latar belakang. Sejumlah pembicara akan hadir di antaranya Azyumardi Azra, Amalina Abdul Nasir (Singapura), dan Melisa Johnson (Australia).