Asosiasi Persepatuan Indonesia meminta kepala daerah menghapus upah minimum sektoral. Namun, kenaikan upah minimum sebesar 8,51 persen tak cukup berarti bagi buruh.
Oleh
C Anto Saptowalyono/Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Persepatuan Indonesia menilai upah minimum sektoral selama ini menambah beban bagi pengusaha. Produk industri padat karya yang berorientasi ekspor jadi melemah daya saingnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri, lewat telepon di Jakarta, Senin (11/11/2019), berpendapat, upah minimum kabupaten/kota sudah terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kondisi riil industri alas kaki. Aprisindo menilai formula penghitungan upah minimum provinsi atau kota/kabupaten seharusnya melihat kondisi suatu sektor, yakni mengacu angka pertumbuhan sektoral.
”Formula sekarang menggunakan (angka pertumbuhan) makro. Makro tumbuh sehingga kenaikan upah minimum pun jadi tinggi. Sementara faktanya, sejak Januari sampai sekarang, (industri) alas kaki turun,” kata Firman.
Ekspor alas kaki selama Januari-Agustus 2019, menurut data Aprisindo, turun 12,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018. Pasar domestik pun tertekan karena impor alas kaki naik 15,7 persen selama Januari-Agustus 2019.
Ketua Departemen Lobby dan Humas Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Andy William Sinaga, melalui keterangan pers pekan lalu, mengatakan, kenaikan upah minimum sebesar 8,51 persen tidak berarti bagi buruh. Besaran itu dinilai tak dapat meningkatkan produktivitas dan kompetensi buruh.
Evaluasi jaminan
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, yang dihubungi di Jakarta, Senin (11/11/2019), menilai pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan perlu dievaluasi, mulai dari sisi kepesertaan hingga penyaluran manfaat.
Menurut dia, belum semua perusahaan skala besar mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Hal itu menunjukkan manfaat yang diterima kurang sejalan dengan kebutuhan.
”Manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan umumnya bersifat jangka panjang. Keberadaan empat program jaminan sosial yang ada relatif tidak ada isu. Jangan sampai muncul kesan badan penyelenggaranya cuma mengumpulkan uang iuran,” ujar Didik.
Ketua Komisi Penyiapan Monitoring dan Evaluasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Soeprayitno, yang dihubungi secara terpisah, menyebutkan ada tiga hal yang perlu jadi bahan evaluasi pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan, yaitu mitigasi risiko, kepesertaan, dan kondisi keuangan keberlanjutan.
Terkait kepesertaan, dia menyebut masih ada kesenjangan yang cukup lebar antara jumlah perusahaan skala besar yang jadi peserta jaminan sosial kesehatan dan peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
Mitigasi risiko dan kondisi keuangan keberlanjutan saling berkaitan erat karena keduanya menyangkut tata kelola di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Misalnya, tren maraknya pengambilan manfaat jaminan hari tua (JHT) setelah pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja dan rencana menggunakan dana kelolaan untuk pembangunan infrastruktur.
”Hal yang semestinya dipahami semua pemangku kepentingan di ekosistem pasar tenaga kerja bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan memberikan manfaat layanan minimal. Jika ingin memperoleh perlindungan lebih, mereka bisa menggunakan program asuransi komersial,” kata Soeprayitno.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan sampai September 2019, jumlah peserta terdaftar sebanyak 53 juta orang atau naik 7 persen dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Jumlah peserta aktif tercatat 32,5 juta orang atau meningkat 8,5 persen dibandingkan dengan setahun sebelumnya.
Jumlah manfaat jaminan yang dibayarkan Rp 21 triliun atau naik 17 persen dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Dana kelolaan tercatat sebesar Rp 411 triliun atau meningkat 16,5 persen dibandingkan dengan setahun sebelumnya.