Belajar Pahami Alam dari Pengalaman Kelam
Sembilan tahun lalu, masyarakat di perkebunan teh Dewata berselimut duka. Longsor menewaskan 46 orang. Warga tak ingin tenggelam dalam memori kelam itu. Pengalaman pahit menjadi pelajaran berharga untuk memahami alam.
Sembilan tahun lalu, masyarakat di perkebunan teh Dewata berselimut duka. Longsor menewaskan 46 orang. Warga tak ingin tenggelam dalam memori kelam itu. Pengalaman pahit menjadi pelajaran berharga untuk memahami alam.
Suara tonggeret memecah kesunyian malam di Kampung Dewata, Desa Tenjolaya, Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (25/10/2019). Jarum jam baru menunjukkan pukul 19.30, tetapi kampung di tengah perkebunan teh itu sudah disergap sepi.
Udara dingin khas pegunungan membuat warga lebih nyaman berada di dalam rumah, mulai dari menonton televisi, bercengkerama dengan keluarga, ataupun sekadar menunggu waktu terlelap di peraduan.
Akan tetapi, kenyamanan itu menyelipkan cemas. Pegunungan di sekitarnya menyimpan potensi longsor yang sewaktu-waktu bisa melanda warga, terutama saat musim hujan tiba.
Hujan perdana di akhir musim kemarau yang turun Sabtu pagi seperti mengantar kecemasan itu. Perasaan Yulis (44), warga Dewata, campur aduk. Dia senang musim kemarau akan segera berakhir. Namun, cemas karena hujan berpotensi memicu longsor.
Rintik hujan dengan cepat mengembalikan ingatannya pada peristiwa kelam pada 23 Februari 2010. Di hari itu, Yulis kehilangan ibu, anak, dan cucunya, sekaligus.
”Saya masih suka teringat pada mereka kalau hujan seperti ini,” ujarnya sambil menatap foto anak dan cucunya yang tewas tertimbun longsor.
Saya masih suka teringat pada mereka kalau hujan seperti ini. (Yulis)
Yulis dan suaminya, Odang (50), sedang berada di pabrik PT Chakra saat longsor melanda. Keduanya bekerja sebagai penyortir di perusahaan yang mengelola 573 hektar kebun teh di Dewata tersebut. Sekitar pukul 08.00, Yulis dan pekerja lainnya dikagetkan suara gemuruh. Mereka berlarian keluar pabrik untuk melihat apa yang terjadi.
Tanah berwarna cokelat kehitaman bergulung-gulung seperti ombak.
Material longsor itu menyapu permukiman warga yang berada di bawah pabrik. Mereka berteriak ketakutan. Lari kocar-kacir menyelamatkan diri.
Ada juga yang memanjat ke atap pabrik. Sebagian melompat ke halaman rumah warga yang tidak terdampak longsor. Tanah bercampur air dan batang pepohonan mengubur permukiman warga.
Baca Juga : Kearifan Lokal Indonesia dalam Mitigasi Bencana
Yulis menangis histeris saat ibunya, Ena (65); anaknya, Iis (25); dan cucunya, Vanesa (1), ditemukan tewas. Menantunya, Adhe (27), selamat setelah tertimbun selama delapan jam. Hari kelabu itu masih membekas dalam ingatannya. Namun, dia dan keluarganya tetap melanjutkan hidup di Dewata.
”Sudah turun-temurun tinggal dan bekerja di sini. Ibaratnya, tempat ini telah menjadi sumber rezeki dan kehidupan kami. Jadi, berat untuk pindah,” ujarnya.
Mitigasi
Longsor pada 2010 menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dan perusahaan di Dewata. Sejak itu, mereka sadar pentingnya mitigasi untuk mengurangi dampak bencana. Yulis dan korban longsor lainnya tidak kembali bermukim di lokasi bekas longsor. PT Chakra membuka permukiman baru yang berjarak sekitar 300 meter dari permukiman lama. Lokasinya lebih tinggi dan tidak berada di jalur lembah.
Dalam pemanfaatan lahan, perusahaan mematuhi rekomendasi Badan Geologi agar tidak tinggal di lokasi bekas terdampak longsor. Penentuan lahan relokasi berdasarkan kajian ahli geologi.
Baca Juga : Musim Hujan Dimulai, Warga Diminta Waspada
”Kami belajar memahami alam. Mengurangi potensi longsor dengan menanam pohon dan tidak tinggal di lokasi berisiko tinggi bencana, seperti jalur lembah,” ujar Kurniawan, Kepala Tata Usaha PT Chakra. Kini, 3.000 pohon sudah ditanam untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Pohon ditanam di lereng serta perbatasan kebun teh dan Cagar Alam Gunung Tilu.
Warga juga meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Mereka kini lebih tanggap mengamati tanda-tanda longsor, seperti munculnya rekahan pada lereng dan aliran air bercampur lumpur dari hulu.
”Dua hari sebelum longsor, terlihat air bercampur lumpur berwarna cokelat. Karena keawaman kami, itu dianggap biasa. Ternyata, itu salah satu pertanda longsor,” ujar Kurniawan.
Dua hari sebelum longsor, terlihat air bercampur lumpur berwarna cokelat. Karena keawaman kami, itu dianggap biasa. Ternyata, itu salah satu pertanda longsor. (Kurniawan)
Selain itu, sarana komunikasi juga ikut dibenahi. Berjarak 60 km dari Kota Bandung dan 41 km dari Soreang, ibu kota Kabupaten Bandung, jaringan telekomunikasi di Dewata amat terbatas. Warga sangat bergantung pada radio panggila (HT) untuk berkomunikasi jarak jauh. Sinyal telepon seluler masih jadi barang langka di sana.
Sebelum terjadi longsor, hanya 10 keluarga yang mempunyai HT. Saat ini, 90 persen dari 420 keluarga di Dewata telah memiliki HT. Dukungan sarana komunikasi dibutuhkan untuk warga agar dapat saling bertukar informasi saat menyadari gejala bencana.
Tanggul tanah setinggi dua meter dibangun di dekat permukiman warga. Fungsinya untuk menahan material longsor jika kejadian serupa berulang. Mereka juga menyiapkan tiga tempat evakuasi. ”Jadi, saat terjadi bencana, kami tahu mau lari ke mana. Tidak lagi kebingungan seperti longsor sebelumnya,” ujarnya.
Adaptasi bencana
Kepala Subbidang Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Sumaryono mengatakan, mitigasi warga Dewata merupakan upaya untuk beradaptasi dengan potensi bencana. Sebab, di lokasi berlereng, seperti Dewata, sulit menemukan lokasi bebas dari risiko bencana.
Menjelang musim hujan, Sumaryono mengingatkan warga agar lebih aktif mengamati curah hujan. Tidak hanya memantau per hari, tetapi juga akumulasi dalam beberapa hari.
Jangan hanya terpaku curah hujan tinggi per hari. Di beberapa kasus, longsor terjadi saat akumulasi curah hujan hingga 300 mm dalam 7-8 hari. (Sumaryono)
”Jangan hanya terpaku curah hujan tinggi per hari. Di beberapa kasus, longsor terjadi saat akumulasi curah hujan hingga 300 mm dalam 7-8 hari,” ujarnya.
Menjelang sore, hujan di Dewata perlahan reda. Namun, hal itu tidak membuat Yayat Samsudin (53) kehilangan fokus. Longsor masih membekas dalam benak petugas keamanan perkebunan itu. Petugas keamanan perkebunan teh itu masih waspada.
Baca Juga : Manajemen Bencana Pada Mulanya Adalah Kesadaran
Hingga sembilan tahun kemudian, ia masih tak habis pikir longsor besar menghajar pemukiman warga. Selain karena tidak pernah terjadi sebelumnya, titik longsor yang berada di Cagar Alam Gunung Tilu berjarak sekitar 300 meter dari permukiman.
”Istri saya, Entini, belum ditemukan hingga saat ini. Diduga, ia tertimbun longsor,” katanya.
Kini, meski trauma masih ada, Yayat lebih tegar. Bersama pohon maniih, cemara, damar, dan sengon setinggi 25 meter, semangatnya tegak menjulang menjaga hidup di kawasan bencana. Yayat dan petugas keamanan lainnya rutin mengecek titik-titik potensi longsor setiap dua pekan sekali. Warga menyadari, longsor sangat dipengaruhi curah hujan.
Oleh sebab itu, mereka rutin mencatat. Jika curah hujan di atas 30 milimeter per hari, warga akan mengecek kondisi tebing bekas longsor di hulu. Mereka bahkan punya standar khusus. Lonceng sebanyak tujuh kali menandakan terjadi bencana alam.
”Ini kode untuk memberi tahu warga. Jadi, warga bisa cepat menyelamatkan diri. Jangan ada lagi korban,” ujarnya.
Kemandirian di Dewata bisa jadi teladan bagi penyintas bencana di banyak daerah di Indonesia yang kembali ke daerah bencana tanpa ilmu mitigasi. Daerah itu jelas masih bisa ditempati. Namun, butuh usaha lebih keras memahami alam agar pengalaman kelam itu tak datang lagi.