Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia melirik potensi jasa lingkungan, khususnya ekowisata dan perdagangan karbon, sebagai salah satu celah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang noneksploitatif dan berkelanjutan.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia melirik potensi jasa lingkungan, khususnya ekowisata dan perdagangan karbon, sebagai salah satu celah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang noneksploitatif dan berkelanjutan. Potensi jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu yang diperkirakan mencapai 95 persen dari nilai kayu berpeluang dieksplorasi dan dimanfaatkan di daerah luar selain Jawa.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) ini masuk dalam peta jalan atau "Road Map Pembangunan Hutan Produksi 2019-2045" yang diluncurkan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin (11/11/2019), di Jakarta. Dalam road map serupa periode 2011 maupun 2016, pengelolaan HHBK belum menjadi bahasan.
“Kami ingin membalikkan anggapan bahwa industri kehutanan itu sunset (senjakala) menjadi masa depan bagi Indonesia. Dengan syarat kita tidak lagi jualan sumber daya alam tapi jualan nilai tambah,” kata Indroyono Soesilo, Ketua Umum APHI, dalam peluncuran Peta Jalan atau Road Map Pembangunan Hutan Produksi 2019-2045, di sela-sela pembukaan Rapat Kerja APHI.
Kami ingin membalikkan anggapan bahwa industri kehutanan itu sunset (senjakala) menjadi masa depan bagi Indonesia. Dengan syarat kita tidak lagi jualan sumber daya alam tapi jualan nilai tambah.
Ia mengatakan orientasi pembangunan kehutanan yang semula berfokus pada kayu kini memiliki banyak pilihan lain. Contohnya, industri bioenergi melalui pellet kayu dan arang, agroforestri, dan jasa lingkungan. Jasa lingkungan ini bisa berupa ekowisata maupun stok karbon untuk menyasar pasar karbon.
Pengelolaan jasa lingkungan, khususnya ekowisata telah banyak dikembangkan Perum Perhutani di wilayah hutan-hutan Jawa, kecuali wilayah DI Yogyakarta. Jasa lingkungan berupa ekowisata berpotensi dikembangkan oleh para pengelola konsesi izin kehutanan seperti Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA), IUPHHK Hutan Tanaman, IUPHHK restorasi Ekosistem (RE), dan Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Mengacu pada Road Map Pembangunan Hutan Produksi 2019-2045, tahun 2020 ditargetkan 155 unit IUPHHK dan KPH menjadi destinasi ekowisata yang dikunjungi 233.000 orang. Pada tahun 2045, jumlah lokasi wisata di IUPHHK dan KPH mencapai 600 unit dengan jumlah wisatawan mencapai 6 juta pengunjung.
Menurut peta jalan itu, terdapat 37 jenis produk HHBK pada 93 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dari total 345 unit KPHP di seluruh Indonesia. Sebaran terbesar yaitu madu dengan potensi produksi 884,3 ton yang tersebar di 49 KPHP disusul rotan dengan potensi 204.711,3 ton yang tersebar di 37 KPHP.
Road Map yang disusun tersebut juga berisi target investasi, produksi dan ekspor serta penyerapan tenaga kerja di sektor kehutanan dari hulu ke hilir, baik kayu maupun jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. “Kami ingin menjawab kebijakan Presiden Joko Widodo untuk mendorong investasi, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja,” katanya.
Dari sisi nilai ekspor, APHI dalam Road Map tersebut meyakini bisa meningkat tajam dari 12,17 miliar dollar AS (2018) menjadi 11 kali lipatnya atau 132 miliar dollar AS (2045). Indroyono mengatakan hal ini bisa tercapai bila industri kehutanan dari hulu ke hilir saling bersinergi dan pemerintah juga melakukan terobosan maupun aksi korektif seperti yang telah mulai dilakukan saat ini.
Menanggapi Road Map itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sri Adiningsih mengatakan target peningkatan 11 kali lipat dinilai amat optimistis. “Ini kayakmission imposible, tidak mudah. Tapi mudah-mudahan mereka (APHI) punya strategi untuk dijalankan,” ungkapnya.
Sri Adiningsih menambahkan, hal itu membutuhkan dukungan pemerintah, dalam hal ini lintas kementerian seperti KLHK, Perindustrian, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Pertanian serta permodalan/perbankan. Kebijakan dari pemerintah serta kemudahan investasi fiskal dan nonfiskal diperlukan pelaku bisnis kehutanan maupun produk kehutanan untuk mencapai target yang disebutnya mission imposible itu.
Ia mengapresiasi langkah APHI untuk tak lagi berkutat pada bisnis kayu. Perubahan paradigm untuk menaruh perhatian pada potensi HHBK dan jasa lingkungan dinilai sebagai terobosan untuk meningkatkan potensi pemanfaatan hutan secara berkelanjutan. Hal ini pun dinilai selaras dengan arah dukungan pada ketahanan pangan melalui agroforestri serta menekan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Memudahkan investasi
Direktur APHI Purwadi Soeprihanto mengatakan perizinan multi usaha dalam setiap izin kehutanan diperlukan untuk mempermudah investasi swasta dalam melirik HHBK dan jasa lingkungan. “Selama ini kebijakan multi usaha secara luas terkendala UU 41 (tahun 1999 tentang Kehutanan) yang masih terpisahkan pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin usaha pemanfaatan nonkayu. Kami ingin agar izin itu diberikan gelondongan tidak seperti sekarang urus izin satu-satu,” ujarnya.
Ia mengakui KLHK telah menerbitkan peraturan menteri yang membuka peluang-peluang penggunaan konsesi IUPHHK untuk agroforestri maupun peruntukan lain. Namun implementasinya canggung karena hanya diatur dalam peraturan menteri.
Anggota Komisi IV DPR yang diantaranya membidangi Kehutanan, Darori Wonodipuro mengatakan siap untuk merevisi UU 41 tahun 1999. “HPH (IUPHHK-HA) harus bisa buat apa saja, tidak sedikit-sedikit izin. Agar konsesi HPH itu bisa digunakan untuk tanaman produktif juga,” katanya.
Ia mencontohkan penanaman tanaman keras yang menghasilkan buah seperti rambutan, manggis, pete, dan jengkol. Penanaman produk-produk ini pun bisa menjadi strategi perusahaan/pemilik izin kehutanan untuk mengatasi konflik sosial dengan masyarakat.
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono pun menilai revisi UU 41 tersebut sangat penting. Ia sepakat terkait peluang multi usaha pada areal HPH untuk diperkuat serta mendorong klaster-klaster pengembangan hulu-hilir industri kehutanan.