Pengorbanan Pohon Pelindung Ibu Kota
Pohon pelindung kembali menjadi korban pembangunan di Ibu Kota. Sejumlah pohon angsana berukuran besar di kawasan Cikini ditebang oleh Pemerintah Provinsi DKI. Kerindangan pohon di Ibu Kota harus dipelihara.
Pohon pelindung kembali menjadi korban pembangunan di Ibu Kota. Sejumlah pohon angsana berukuran besar di kawasan Cikini ditebang Pemerintah Provinsi DKI. Bukan hanya sekali ini pohon peneduh jalan tersebut harus ditebang atau dipindahkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Sebelumnya, peristiwa serupa terjadi di ruas jalan Ibu Kota.
Meski terlihat praktis untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana kota, ada kerugian yang lebih besar mengikuti di belakang tindakan itu. Kemampuan menyerap zat polutan karbon monoksida (CO) dari asap kendaraan, kesejukan karena produksi osigen dan rindangnya tajuk pohon, serta keseimbangan ekosistem mini di wilayah itu jadi terganggu.
Pemprov DKI beralasan pohon-pohon tersebut sudah tua, sewaktu-waktu bisa roboh dan membahayakan warga yang melewatinya. Meski demikian, dari foto sejumlah batang pohon yang ditebang, terlihat sebagian besar relatif masih sehat dan merupakan kayu keras (inti kambium) sehingga alasan soal risiko tumbang jadi meragukan. Apalagi nyatanya di sekitar lokasi pohon berusia tua tersebut sedang berlangsung proyek revitalisasi trotoar.
Belakangan, setelah diprotes banyak pihak, termasuk warganet di media sosial, Pemprov DKI melalui akun Twitter dan Instagram @dkijakarta menyatakan akan menanam pohon pelindung tabebuya bunga pink dan semak soka di sepanjang Jalan Cikini dengan lebar sekitar 1,6 meter.
Postingan yang diunggah 4 November 2019 itu menyebutkan pohon tabebuya tumbuh tidak terlalu besar, tinggi maksimal 10 meter, akar tidak merusak trotoar, mampu menyerap polutan, serta warnanya indah dan menarik.
Semua kelebihan yang dimiliki pohon tabebuya itu, menurut Pemprov DKI Jakarta, berkebalikan dengan pohon angsana yang dinilai menghalangi jalur pejalan kaki, berada di atas saluran, berpotensi merusak sistem drainase, fasilitas pedestrian, dan mudah tumbang. Artinya, Pemprov DKI tampaknya sudah memperhitungkan segi manfaat lingkungan hidup dari ”proyek penggantian pohon” ini.
Namun, apakah hal itu faktual? Nyatanya, secara biologis pohon angsana memiliki fungsi yang lebih baik dari segi penyuplai oksigen, penyerap air, dan peneduh kawasan, dibandingkan pohon berukuran kecil seperti tabebuya (Kompas, 5/11/2019).
Hal itu sejalan dengan rekomendasi resmi dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M/2011 tentang pohon besar yang direkomendasikan untuk ditanam di ruang terbuka hijau. Pohon-pohon itu antara lain angsana, asam, beringin, bintaro, damar, kayu hitam, flamboyan, dan johar.
Tidak tercantum pohon berkarakter seperti tabebuya, yang memiliki ciri sebagai pohon estetika (keindahan) yang memiliki kemampuan perindang dan penyaring udara yang lebih rendah.
Jika alasannya pohon tua dan rawan tumbang, langkah yang harus dilakukan adalah pemeliharaan rutin tanaman. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5/PRT/M/2012 menyebutkan, ada sejumlah upaya pemeliharaan tanaman, seperti penyiraman, penyiangan, pemangkasan, pemupukan, pencegahan dan pemberantasan hama penyakit, serta penggantian tanaman yang rusak yang diperlukan.
Penebangan pohon
Di luar kontroversi penebangan pohon di kawasan Cikini, telah terjadi banyak cerita mengenai pemindahan dan penebangan pohon karena sejumlah proyek infrastruktur kota. Diawali dengan cerita pembangunan Kompleks Pantai Indah Kapuk pada tahun 1990. Atas nama pembangunan realestat mewah tersebut, hutan mangrove di kawasan Kapuk ditebang.
Kisah selanjutnya adalah pemindahan jalur hijau dan 520 pohon palem pada pembangunan jalur bus Transjakarta Koridor VIII di kawasan Pondok Indah. Pemindahan itu dilakukan pada Oktober 2007. Namun, ratusan pohon palem tersebut dipindah dalam jarak dekat dari bulevar pembatas jalan ke pinggir jalan.
Dampak penebangan pohon berlanjut di jalur pembangunan Koridor XII Transjakarta (Tanjung Priok-Pluit) di Jalan Danau Sunter Utara. Saat itu dijanjikan satu pohon yang ditebang akan diganti penanaman 10 pohon.
Baca juga: Daya Dukung Lingkungan Jakarta Terlampaui?
Pembangunan tol Becakayu Bekasi selama satu dekade juga telah mengorbankan 717 pohon berukuran besar dan 200 pohon kecil. Sebagai gantinya, pemerintah bersedia menanam kembali 7.017 pohon di sepanjang jalan Kalimalang.
Pembangunan MRT pada 2017 juga terpaksa menebang 1.560 pohon di sepanjang Jalan Sisingamangaraja, Sudirman, dan Thamrin. Sebagian ditebang sia-sia. Namun, sisanya dipindahkan ke berbagai ruang terbuka hijau di Jakarta.
Selain itu, pemerintah berkomitmen menanam kembali 3.000 pohon di sejumlah lokasi, seperti Jalan Swadarma, Taman Bambu, Jalan Rajiman, Jalan Manunggal, dan Jalan Aselih.
Tahun ini, selain pohon besar di Cikini, penebangan pohon juga dilakukan di Jalan Kramat terkait dengan proyek revitalisasi trotoar.
”Pohon-pohon tersebut akan direvitalisasi/diremajakan karena posisinya terkena lajur ubin disabilitas, merusak saluran, dll”, seperti yang tertulis dalam spanduk yang ditempelkan di sebuah pohon dalam foto Kompas (10/11/2019).
Mengganggu ekosistem
Upaya pemindahan sejumlah pohon seperti pada pembangunan koridor bus Transjakarta Koridor VIII dan proyek MRT tampaknya merupakan langkah yang lebih bijak ketimbang menebang pohon besar yang sudah berusia puluhan tahun dan memberi manfaat lingkungan.
Apalagi, selama sebuah pohon hidup, sudah terbentuk satu kesatuan rantai makanan di kawasan sekitar pohon tersebut. Dalam rantai makanan, selalu berperan sebagai produsen, rantai pertama yang menggunakan sinar matahari untuk menghasilkan makanan dan disimpan dalam biji, batang, buah, dan bagian lainnya.
Bagian dari pohon tersebut dimakan oleh konsumen pertama yang bisa jadi hewan atau manusia. Selanjutnya, setelah mencapai konsumen ketiga atau keempat, konsumen yang mati akan diuraikan oleh bakteri, cacing, dan lainnya yang berperan sebagai dekomposer untuk diubah menjadi zat hara yang akan dimanfaatkan oleh pohon untuk tumbuh dan berkembang.
Ada organisme yang bergantung pada pohon. Hilangnya satu pohon akan membuat rantai makanan terputus. Bisa jadi rumput-rumput akan mengering, cacing akan berpindah tempat atau mati, serta kita tak akan lagi mendengar kicauan burung yang selama ini hidup di pohon tersebut.
Hal tersebut juga ditegaskan arsitek lanskap Nirwono Yoga. Ia mengatakan, setiap kali ada pemindahan pohon, 30-40 persen dari total pohon yang dipindahkan pasti mati. Dia juga menyebutkan, pohon-pohon lama sudah membentuk hidup dan ekosistemnya sendiri dan mempunyai nilai ekologis besar. (Kompas, 26/3/2018).
Pemindahan pohon palem di kawasan Pondok Indah untuk pembangunan Koridor VIII Transjakarta, misalnya. Meski cuma dipindahkan dari bulevar pembatas jalan ke pinggir jalan seberangnya, beberapa pucuk pohon terlihat berwarna coklat seperti pohon mati.
Demikian pula dengan kasus penebangan pohon di Cikini, yang dianggap merusak trotoar. Pohon yang akan ditebang umumnya merupakan pohon tua berukuran besar yang dulu saat ditanam bisa jadi belum merupakan bagian dari trotoar.
Jika alasannya pohon tua dan rawan tumbang, langkah yang harus dilakukan adalah pemeliharaan rutin tanaman.
Selanjutnya, karena ada pembangunan trotoar, pelebaran jalan, dan juga pembuatan drainase, pohon tersebut menjadi bagian dari pembangunan tersebut. Dampaknya, saat pohon itu sekarang tumbuh besar, seolah-olah merusak trotoar atau drainase yang ada.
Nirwono Yoga dalam buku Komedi Lenong: Satire Ruang Terbuka Hijau (2007) mengungkapkan, desain lanskap jalan raya di Jakarta tidak dirancang secara matang dan tidak menyiapkan jalur hijau jalan dengan lebar median yang memadai. Banyak pohon yang ditanam tidak sesuai dengan peruntukan serta standar keamanan dan keselamatan sehingga pohon tumbuh tidak pada tempat semestinya.
Justru kegiatan pelebaran jalan telah mempersempit median jalur hijau dan jalur pedestrian sehingga pertumbuhan batang tercekik dan akar tertekan oleh beton serta aspal jalan. Akar pohon tidak mendapat suplai air sama sekali sehingga akar keluar merusak konstruksi jalan dan jalur pedestrian.
Fungsi pohon
Pohon mempunyai banyak fungsi bagi manusia tanpa disadari. Menurut ”Pedoman Penanaman Pohon pada Jaringan jalan”, pohon bisa berfungsi secara ekologis untuk mengurangi pencemaran udara, pencegah erosi, dan habitat satwa. Selanjutnya, fungsi lain adalah fungsi visual, seperti penyerap kebisingan, penghalang silau, pembatas pandang, pengarah, memperindah lingkungan, pengalih parkir ilegal, dan pemecah angin.
Pohon dalam urusannya sebagai penyuplai oksigen dan penyerap polutan, 16 pohon berdiameter 10 sentimeter mampu menyuplai oksigen sebesar 14.000 liter. Setiap jam, satu hektar daun hijau dapat menyerap 8 kilogram CO2 yang setara dengan CO2 yang diembuskan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama.
Penelitian ”Evaluasi Efektivitas Tanaman dalam Mereduksi Polusi Berdasarkan Karakter Fisik Pohon pada Jalur Hijau Jalan Pajajaran Bogor” (Al Hakim, 2014) menyebutkan, tanaman merupakan penyaring udara yang mampu menyerap gas polutan seperti SO2 dan asam fluorida (HF) serta polutan lain di udara tanpa memperlihatkan efek kerusakan. Pohon dengan diameter 37,5 cm berpotensi menghilangkan 43,5 pon SO2 per tahun jika konsentrasi SO2 di atmosfer 0,25 ppm.
Pohon juga bisa berperan untuk mencegah erosi dan mereduksi aliran air. Hal ini disebabkan sejumlah bagian pohon bisa menyerap dan mengumpulkan air. Akar adalah bagian tubuh tanaman yang terdapat di dalam tanah dan berguna untuk mengisap air tanah serta menjaga agar batang dapat berdiri tegak.
Batang merupakan bagian utama pohon dan menjadi penghubung utama antara bagian akar dan bagian tajuk pohon (canopy), serta sebagai pengumpul air dan mineral, sebagai pusat pengolahan energi (produksi gula dan reproduksi).
Aturan hukum
Penebangan sejumlah pohon pelindung demi pembangunan infrastruktur memang tak terhindarkan di Ibu Kota. Namun, sebenarnya jika ada perencanaan ruang terbuka hijau yang baik yang disinkronkan dengan rencana tata ruang wilayah, penebangan, pemindahan, atau revitalisasi pohon seperti yang dipakai pemerintah sekarang, hal tersebut tak perlu terjadi.
Langkah awal yang dipilih adalah aturan ”Tebang Tanam”. Sebenarnya ini merupakan aturan dalam menebang pohon di hutan, yakni jika menebang satu pohon, wajib mengganti menanam 10 pohon.
Aturan inilah yang diterapkan saat pembangunan Pantai Indah Kapuk dan sejumlah koridor Transjakarta. Namun, sepertinya aturan tersebut tidak efektif karena tidak disebutkan secara jelas di mana harus kembali menanam pohon dan belum ada sanksi tegas bagi yang melanggarnya.
Pemindahan pohon pun sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Pasal 21 Huruf (a) menyebutkan ada larangan untuk mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati.
Bagian (b) juga ada larangan untuk mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
Pada beberapa kasus, pemindahan pohon/tanaman lebih baik ketimbang menebang pohon tua yang telah hidup puluhan tahun. Untuk meminimalkan penebangan pohon, Pemprov DKI mengeluarkan aturan dalam Perda Ketertiban Umum.
Pasal 12 Huruf g menjelaskan, setiap orang atau badan dilarang memotong, menebang pohon atau tanaman yang tumbuh di sepanjang jalur hijau dan taman. Pelanggar akan dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 30 hari dan paling lama 180 hari dan dengan minimal denda Rp 5 juta dan maksimal Rp 50 juta.
Aturan tersebut nyata. Satu tahun lalu, 2018, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengadili 20 kasus penebangan pohon. Denda para pelakunya sebesar Rp 321 juta. Namun, menjadi pertanyaan, bagaimana jika pemerintah yang menebangnya?
Jawabannya, penebangan pohon terkait sejumlah proyek infrastruktur di ruang terbuka hijau publik yang dibatasi secara ketat harus seizin kepala daerah. Dalam hal ini Dinas Kehutanan atau saat itu Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta telah mengizinkan untuk menebang pohon untuk proyek infrastruktur Ibu Kota.
Meski demikian, pohon-pohon pelindung jangan selalu dikorbankan demi proyek infrastruktur kota. Dibutuhkan rencana ruang terbuka hijau yang mengatur di mana lokasi jalur hijau. Saat ada proyek pembangunan infrastruktur transportasi, seperti trotoar, MRT, LRT, ataupun yang lain, pohon pelindung tak perlu lagi dikorbankan. (Litbang Kompas)