Liverpool bak menembus langit kesembilan seusai membekap rival terberatnya, Manchester City, di Liga Inggris. Hanya bencana, seperti cedera pemain bintang, yang bisa merampas gelar juara Liga Inggris dari Liverpool.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
LIVERPOOL, SENIN — Ketakutan Manajer Manchester City Pep Guardiola menjadi realitas. Timnya dikalahkan ”monster” ciptaannya, Liverpool, 1-3, pada laga di Stadion Anfield yang berakhir Senin (11/11/2019) dini hari WIB. ”The Reds” telah menembus batas berkat cambuk dari Guardiola.
Musim ini, Liverpool seperti komputer canggih yang sangat presisi. Hal itu ditunjukkan lewat gol gelandang jangkar, Fabinho, pada menit keenam. Gol itu tercipta lewat tendangan jarak jauh, 18 meter, yang sangat akurat. Padahal, gol, apalagi hasil tendangan jarak jauh, adalah hal langka dari Fabinho. Sebelum laga itu, ia hanya satu kali mencetak gol sejak hijrah ke Liverpool, musim panas 2018.
Liverpool juga seperti mesin, yang berbagai komponen di dalamnya terkoneksi dengan baik ibarat diprogram untuk satu tujuan, yaitu gol dan kemenangan. Hal itu diwakili gol kedua yang dicetak Mohamed Salah menit ke-13.
Dimulai dari sisi kanan pertahanan Liverpool, bola dilambungkan 54 meter ke sisi kiri. Bola disambut bek kiri Andrew Robertson sebelum mengirim umpan silang sejauh 45 meter dan disambut sundulan akurat Salah.
Bagi Manajer Liverpool Juergen Klopp, gol Salah itu adalah sebuah mahakarya. ”Sungguh spesial. Saya kira belum pernah melihat gol semacam itu sebelumnya. Adalah momen bagus untuk bisa unggul dengan gol-gol seperti itu,” ujar Klopp.
Berkat kemenangan itu, The Reds unggul telak, sembilan poin, atas City di puncak klasemen sementara Liga Inggris. Seperti keunggulan dari rivalnya yang kini menempati peringkat keempat itu, penampilan Liverpool musim ini menembus batas langit kesembilan. Satu per satu pemainnya, misalnya Fabinho, melakukan hal di luar kebiasaan seperti mencetak gol.
Sebelumnya, sumbangsih langka serupa diberikan Jordan Henderson. Gol kapten Liverpool itu saat menghadapi Tottenham Hotspur, akhir Oktober, adalah yang pertama dalam empat tahun.
Pada duel di Old Trafford kontra Manchester United, 20 Oktober, giliran Adam Lallana yang mengambil peran lebih. Gol semata wayangnya membuat Liverpool terhindar dari kekalahan. Padahal, ia sempat berpuasa gol selama 29 bulan.
Liverpool juga menghidupkan kembali artefak lama yang terakhir kali mewarnai Liga Inggris di awal 2000-an, yaitu ”Fergie Time”. Istilah itu merujuk mentalitas ajaib Manchester United untuk bangkit dan mencetak gol di menit-menit akhir laga. Musim ini, semangat itu dipraktikkan Liverpool antara lain pada laga kontra Leicester City, MU, Spurs, Arsenal, dan Aston Villa.
Korban kesuksesan
Menurut Mark Ogden, pengamat Liga Inggris, performa menakjubkan Liverpool itu tidak lepas dari peran Guardiola secara tidak langsung. Musim lalu, Liverpool gagal menjuarai Liga Inggris meskipun sempat unggul tujuh poin di pekan ke-20. Pada akhir musim, mereka mengemas 97 poin, angka tertinggi ketiga sepanjang sejarah Liga Inggris.
Namun, perolehan poin besar itu tidak cukup mengantarkan mereka juara. City mengemas satu poin lebih banyak, yaitu 98.
Ogden berkata, pengalaman pahit musim lalu dan poin tinggi City akibat lecutan Guardiola itulah yang membuat Liverpool bak kesetanan musim ini. Mei lalu, Klopp sempat berkata, timnya harus tampil lebih gila, yaitu minimal meraih 98 poin, jika ingin menjadi juara.
”City itu korban kesuksesan mereka sendiri di bawah Guardiola. Dengan membuat batas (poin) sangat tinggi, mereka telah mendorong Liverpool tampil lebih baik dan semakin baik. Barangkali, Guardiola kini menyesalinya,” tulis Ogden lewat kolomnya di ESPN.
Liverpool kini di atas angin dalam perburuan gelar juara Liga Inggris, hal yang telah hampir 30 tahun mereka nantikan. Sejarah berkata, sejak format poin baru diperkenalkan pada 1981, hanya tiga tim yang berprestasi seperti Liverpool saat ini, yaitu unggul delapan poin di puncak seusai 12 pekan. Ketiga tim itu adalah MU pada musim 1985-1986 dan 1993-1994, serta City pada 2017-2018.
Dari ketiga era itu, hanya MU di musim 1986 yang gagal menjadi juara. Mereka finis keempat di akhir musim itu.
”Orang-orang akan berkata, mulai sekarang takdir juara ada di tangan Liverpool sendiri. Anda boleh saja melihat seperti itu. Namun, jujur, kami tidak peduli pandangan itu. Kami ingin menjadi yang pertama pada bulan Mei (akhir musim), bukan November,” ujar Klopp mencoba tetap mawas diri.
Menurut Jose Mourinho, mantan manajer yang tiga kali menjuarai Liga Inggris, Liverpool hampir pasti menjadi kampiun pada akhir musim. Hanya hal dramatis yang bisa menggagalkan Livepool menjadi juara.
”Saya kira perburuan gelar juara telah berakhir tadi malam, terkecuali hal dramatis terjadi, seperti cedera pemain yang bisa mematahkan tim,” ujarnya kepada Sky Sports.
Kekhawatiran Mourinho itu bisa terjadi jika pemain andalan Liverpool, seperti Salah, Roberto Firmino, Sadio Mane, dan Virgil van Dijk, cedera. Mereka hampir tidak memiliki pengganti sepadan.
Masalah cedera itu terbukti sering menghampiri The Reds pada bulan-bulan padat jadwal seperti Desember-Februari. Musim lalu, performa mereka pun menurun dan disalip City akibat masalah laten itu.
Dalam lima pekan ke depan, Liverpool akan menjalani 12 laga, termasuk Piala Dunia Antarklub di Qatar.
”Periode ini vital untuk mereka. Jika tidak beristirahat cukup, Anda bisa menderita cedera otot. Inilah satu-satunya hal yang bisa menjadi masalah bagi Liverpool,” ujar Graeme Souness, mantan pemain Liverpool. (AFP)
Editor:
Johan Waskita
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.