Data di Neraca Pembayaran Indonesia menunjukkan, surplus jasa perjalanan triwulan III-2019 sebesar 1,371 miliar dollar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II-2019 yang sebesar 1,08 miliar dollar AS. Namun, masih lebih kecil dibandingkan dengan triwulan III-2018 yang 1,605 miliar dollar AS.
Jasa perjalanan dihitung dari biaya perjalanan yang dikeluarkan wisatawan asing ke Indonesia dikurangi perjalanan wisatawan nasional ke luar negeri.
Pada periode Juli-September 2019, jasa perjalanan wisman sebesar 4,744 miliar dollar AS. Adapun jumlah wisman yang datang sebanyak 4,454 juta orang.
Dengan demikian, pengeluaran setiap wisman rata-rata 1.065 dollar AS.
Pada triwulan III-2018, jasa perjalanan wisman 4,647 miliar dollar AS. Jika dibagi dengan jumlah wisman yang sebanyak 4,435 juta orang, rata-rata pengeluaran setiap wisman 1.052 dollar AS.
Dengan perbandingan ini, rata-rata pengeluaran wisman pada triwulan III-2019 lebih besar daripada triwulan III-2018. Belanja wisman yang lebih besar ini dibidik pemerintah sebagai meraup devisa. Tahun ini pemerintah menargetkan devisa 20 miliar dollar AS dari sektor pariwisata.
Mengacu data Neraca Pembayaran Indonesia, jasa perjalanan yang dihitung dari perjalanan pelawat memang selalu surplus. Surplus jasa perjalanan bahkan menjadi andalan untuk menambal defisit jasa transportasi yang nyaris selalu defisit. Pada triwulan III-2019, jasa transportasi yang dihitung dari angkutan penumpang, barang, dan lainnya defisit 1,995 miliar dollar AS.
Sektor pariwisata kian jadi andalan karena efeknya cepat dan memiliki dampak berganda. Sebagai contoh, wisatawan tak hanya disuguhi pemandangan indah. Wisatawan yang datang ke destinasi wisata juga akan menginap di lokasi tersebut, kemudian mencicipi makanan khas, berbelanja cendera mata dan camilan buatan masyarakat lokal, serta mencoba kegiatan yang disediakan penduduk setempat. Menginap pun, tak hanya di hotel, tetapi juga di penginapan, bahkan rumah penduduk yang disewakan sebagai rumah inap.
Asumsinya, semakin lama wisatawan tinggal di suatu destinasi wisata, maka belanja atau uang yang dikeluarkan wisatawan itu semakin banyak. Penjelasannya, misalnya, biaya untuk membayar penginapan selama tiga hari lebih besar daripada dua hari.
Semakin lama wisatawan tinggal di suatu destinasi wisata, maka belanja atau uang yang dikeluarkan wisatawan itu semakin banyak
Indeks Daya Saing Wisata dan Perjalanan 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-40 dari 140 negara. Posisi ini lebih baik dibandingkan dengan indeks yang sama yang dirilis pada 2017, yakni peringkat ke-42.
Berdasarkan data WEF itu, nilai terbaik Indonesia pada daya saing harga. Adapun nilai terendah pada infrastruktur layanan wisatawan. Meski demikian, peringkat keberlanjutan lingkungan di sektor pariwisata dan perjalanan Indonesia ada di 20 persen terbawah.
Untuk mengajak turis berbelanja lebih banyak dan menginap lebih lama, keunggulan Indonesia bisa ditonjolkan. Namun, hal-hal yang masih kurang baik mesti diperbaiki. Dengan cara itu, semakin banyak wisatawan yang tertarik datang ke Indonesia.
Mengacu data BPS, sebanyak 7,396 juta wisman masuk ke Indonesia melalui pintu udara atau naik pesawat pada Januari-September 2019. Dari jumlah itu, lebih dari 60 persen di antaranya atau sebanyak 4,651 juta wisman masuk melalui Bandara Ngurah Rai, Bali. Hal ini menunjukkan Bali masih memiliki daya tarik paling tinggi bagi wisman sehingga mereka memilih Bali sebagai destinasi pertama di Indonesia.
Keunggulan Bali ini bisa dimanfaatkan dengan mengajak wisman mengunjungi daerah lain di Indonesia selepas mereka berwisata di Bali. Namun, daya tarik yang ditawarkan daerah lain itu mesti tinggi sehingga wisman tak ragu untuk mendatangi destinasi itu.
Sekali lagi, daya tarik juga yang bisa membuat wisman berlama-lama berwisata di Indonesia dan membelanjakan uang mereka. Informasi soal daya tarik ini juga mesti sampai ke pelancong.