Selamat Jalan Mas Djaduk, Engkau Pembawa Kegembiraan
Djaduk Ferianto (55), musisi dan seniman serba bisa asal Yogyakarta, berpulang untuk selamanya di Yogyakarta, Senin (13/11/2019). Almarhum dikenal sebagai sosok yang selalu membawa kegembiraan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Djaduk Ferianto (55), musisi dan seniman serba bisa asal Yogyakarta, berpulang untuk selamanya di Yogyakarta, Senin (13/11/2019) dini hari. Namun, kiprah hidupnya akan selalu dikenang publik. Sepanjang hidupnya, almarhum dikenal sebagai sosok yang selalu membawa kegembiraan. Itu dilakukannya melalui beragam proyek musik, pertunjukan, hingga festival.
Rabu siang, misa requiem atau misa arwah Djaduk diselenggarakan di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja di Dusun Kembaran, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ribuan orang datang memberi penghormatan terakhir kepada putra bungsu seniman Bagong Kussudiardja itu. Para tamu duduk berjubel di pendopo. Kursi-kursi terisi penuh. Banyak pula yang mengikuti misa dengan berdiri.
Bernadette Ika Sari (52) atau yang akrab disapa Petra, istri Djaduk, duduk tak jauh dari jasad Djaduk di peti yang diletakan di tengah pendopo. Petra mengenakan baju putih, berkerudung hitam. Matanya sembap. Kepergian suaminya itu terasa sangat mendadak.
Selasa malam, Djaduk masih sempat mengikuti rapat persiapan Ngayogjazz, festival musik jazz tahunan yang ia inisiasi dan digelar di pedesaan sejak tahun 2007. Ia pulang ke rumah tengah malam. Sempat beristirahat, Djaduk terbangun mengeluh sakit. Rabu pukul 02.30, ia mengembuskan napas terakhirnya.
Djaduk meninggal tiga hari sebelum gelaran Ngayogjazz 2019. Rencananya, ia juga akan tampil bersama kelompok musik yang ia dirikan, Kua Etnika, dalam kesempatan itu.
Bagi Mas Djaduk, Tuhan adalah sumber kegembiraan. Kegembiraan yang dia rasakan dari Tuhan dibagikan kepada orang banyak.
Namun, Petra tak ingin suasana sedih berlarut-larut saat misa pemberkatan jenazah. Ia meminta Romo G Budi Subanar SJ yang memimpin misa untuk tidak menambah sedih suasana penghormatan terakhir bagi suaminya itu.
“Pagi tadi, saya ditelepon Mbak Petra. Kata dia, ‘Romo, jangan pakai tema sedih, ya’,” tutur Subanar, saat menyampaikan khotbahnya.
Subanar pernah punya pengalaman dengan Djaduk, sewaktu Djaduk sedang membuat album berjudul “Dia Sumber Gembiraku”. Album itu digarapnya bersama grup musik etnik besutannya, Kua Etnika.
“Bagi Mas Djaduk, Tuhan adalah sumber kegembiraan. Kegembiraan yang dia rasakan dari Tuhan dibagikan kepada orang banyak. Keindahan yang dia nikmati dari Tuhan juga dibagikannya,” ujar Subanar.
Djaduk memang selalu sibuk mengurus berbagai acara yang mengajak orang bergembira. Kala bermain di grup musiknya, baik Kua Etnika maupun Sinten Remen, banyolan kerap ia lontarkan khas gaya Yogyakarta. Saat menggarap “Teater Gandrik” misalnya, materinya juga penuh humor. Belum lagi festival jazz yang dikelolanya, seperti Ngayogjazz (Yogyakarta) dan Jazz Gunung (Bromo).
Musisi yang juga gitaris grup band Gigi, Dewa Budjana, menyampaikan, ia sangat kehilangan atas kepergian Djaduk. Bahkan, ia menyebutnya sebagai pukulan tersendiri bagi kancah musik Indonesia. Ia mengenal Djaduk sebagai sosok ramah dan banyak bercanda, sehingga mampu menghangatkan suasana.
“Orangnya sangat enak untuk diajak ngobrol. Dan, selalu membuat suasana menyenangkan dengan bercandanya. Itu yang mungkin teman-teman merasa kehilangan,” kata Budjana.
Pemikiran luas
Budjana juga melihat Djaduk selalu memiliki pemikiran yang luas. Terlebih lagi dalam hal kesenian, khususnya dalam hal bermusik. Aliran musik bukan penghalang untuk dimainkan bersama-sama.
“Dia tidak melihat genre musik berdasarkan pop, jazz, atau apapun itu. Semuanya dilihat dalam konteks berkesenian saja,” kata dia.
Sebagai contoh, sewaktu menggagas Ngayogjazz, Djaduk meyakini jazz merupakan musik yang luwes. Aliran musik itu bisa menembus sekat perbedaan lewat sebuah momen “jamming session”. Perbedaan dijalin menjadi sebuah harmoni dalam suasana gegap gempita. Dari tahun ke tahun, festival musik jazz yang bertempat di kawasan pedesaan itu tak pernah kehilangan ruhnya yang selalu ingin membuat orang larut dalam kebahagiaan.
Sikap tidak membeda-bedakan Djaduk tidak hanya hadir dalam bermusik, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu diamini pendiri Warta Jazz, Aji Wartono. Ngayogjazz juga digagas Djaduk bersama Aji.
“Tidak membedakan orang dari atas ke bawah. Dia bergaul dari atas sampai ke bawah dengan cara yang sama. Dia bisa guyon dengan direktur, tetapi bisa juga dengan tukang becak maupun pedagang asongan. Dalam bergaul dia sangat luwes,” kata Aji.
Butet Kertaradjasa, seniman yang juga kakak kandung Djaduk, mengenang adiknya itu sebagai pekerja keras. Kedisiplinannya juga luar biasa tinggi. Segala sesuatu dipersiapkan matang agar hasilnya maksimal. Total.
“Saya bisa memahami, dari setiap persiapan-persiapan yang dilakukan itu menyedot energi, menyedot konsentrasi yang berlebih dari dosisnya. Dan, itulah Djaduk,” kata Butet. Ia menahan tangis.
Waktu untuk keluarga
Gusti Arirang (26), putri Djaduk, mengatakan, di tengah beragam kesibukan, ayahnya selalu saja punya waktu untuk keluarga. Itu digunakan untuk sekadar berjalan-jalan atau liburan bersama. Di hari-hari besar keagamaan, Djaduk selalu ada di rumah bersama keluarga.
Selain itu, Gusti menambahkan, ayahnya itu juga mudah trenyuh bila membahas anak-anaknya. “Kalau lihat foto-foto kami zaman kecil-kecil, juga mbrebes mili (berurai air mata)," ujarnya.
Saat misa pemberkatan jenazah berakhir, lagu “Srengenge Nyunar” yang sering dimainkan Djaduk dan Kua Etnika dengan ceria, dinyanyikan paduan suara. Alunan intronya membuat para pelayat turut bertepuk tangan. Lewat lagu yang berkisah tentang makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang memuji Sang Pencipta itu, Djaduk tak ingin membuat para tamu yang melayat larut dalam kesedihan.
Tak terhitung berapa banyak tawa maupun kegembiraan yang dibagikan Djaduk kepada orang lain. Terima kasih Djaduk, telah mengingatkan kami untuk selalu bergembira dalam hidup, kabeh podho muji Allah kang mulyo.
Kami akan selalu bergembira bersamamu. Selamat jalan.