Tubuh lemas. Tangan gemetar. Pikiran sulit berkonsentrasi, padahal masih harus menyelesaikan satu berita. “Kum, awakku, kok, ra penak. Koyo arep semaput," kata saya.
Oleh
Wisnu Aji Dewabrata
·3 menit baca
Pesawat Hercules TNI AU mendarat mulus di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, Sulawesi Tengah, setelah penerbangan dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, selama 3,5 jam. Pesawat mendarat sekitar pukul 14.30 Wita.
Hari itu hari Minggu (1/10/2018), atau dua hari setelah gempa dan tsunami menyapu Palu, Donggala, dan Sigi. Penumpang yang terdiri dari sukarelawan dan wartawan, termasuk saya, membantu menurunkan bantuan yang dibawa dari Jakarta berupa ratusan paket bahan makanan dan tiga unit genset beroda lengkap dengan gulungan kabel.
Paket tersebut cukup berat karena berisi macam-macam bahan makanan. Paket diturunkan dari pesawat secara berantai. Saat itu kondisi saya sudah lemah karena hanya sarapan pagi dan belum makan siang. Hal itu diperparah dengan kurang tidur dan lelah menunggu pesawat Hercules di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma sejak pukul 03.00.
Saya hanya sempat membawa bekal lima bungkus mi instan, dua botol besar air mineral, dua bungkus cokelat, tiga kotak biskuit, kopi instan, dan minuman serbuk yang berkhasiat memperlancar buang air besar. Sayangnya, karena keberangkatan mendadak, saya tak sempat menyiapkan peralatan memasak.
Sampai di bandara Palu, saya kelaparan, lalu mengunyah beberapa potong biskuit dan minum air mineral. Lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan. Rombongan wartawan lalu menumpang truk TNI ke Markas Korem 132/Tadulako yang menjadi posko bencana.
Di Markas Korem tersedia dua hal yang paling dicari wartawan: colokan listrik dan sinyal. Sampai hari kedua gempa dan tsunami, pasokan listrik dan sinyal belum normal.
Mulailah para kuli tinta dengan kesibukan masing-masing. Ada yang mengetik berita dan ada yang membuat laporan langsung di depan kamera. Hari mulai gelap. Saya merasa ada yang tidak beres dengan tubuh saya.
Tubuh terasa lemas. Tangan saya gemetar. Pikiran sulit berkonsentrasi, padahal masih harus menyelesaikan satu berita. Saya tahu penyebabnya karena saya belum makan sejak siang. Saya paksakan untuk tetap terjaga sambil mengetik berita dengan ponsel.
Saya mengunyah lagi beberapa potong biskuit, tapi tidak membantu. Saya khawatir jatuh sakit. Masak, baru hari pertama sudah sakit, di lokasi bencana pula.
”Kum, awakku, kok, ra penak. Koyo arep semaput (Badanku, kok, rasanya enggak enak. Kayak mau pingsan),” kata saya kepada fotografer Kompas, Heru Sri Kumoro yang berinisial KUM.
”Kae ono klinik kesehatan. Mrono njaluk obat (Itu ada klinik kesehatan. Sana minta obat),” ujar Heru.
”Iki dudu masalah obat. Aku ngelih. Yen mangan sego mari (Ini bukan masalah obat. Aku lapar. Kalau makan nasi, sembuh),” kata saya.
Mendengar ucapan saya, Heru malah tertawa. ”Nanti kalau saya pingsan, kamu yang menggotong saya,” kata saya dalam hati.
Saya lalu teringat membawa bekal cokelat. Cokelat adalah makanan yang biasa dikonsumsi saat mendaki gunung karena kadar gulanya tinggi. Tidak percuma dulu semasa SMA dan kuliah sering naik gunung.
Saya kunyah cokelat yang sudah jadi bubur karena kepanasan. Benar saja, kadar gula dalam darah naik setelah saya makan cokelat. Badan jadi lumayan segar. Saya menggelar jas hujan, lalu terlelap selama sekitar sejam.
Malam itu tiga wartawan dan satu fotografer Kompas sudah berkumpul di Markas Korem. Saya, M Final Daeng, dan Reny Sri Ayu yang berangkat dari Makassar melalui jalan darat, serta Heru Sri Kumoro yang berangkat dari Jakarta dengan pesawat.
Kami kelaparan karena tidak ada rumah makan atau warung makan yang buka. Kami berkeliling kota Palu naik mobil mencari rumah makan. Hampir tengah malam, kami menemukan rumah makan ”ajaib” yang masih buka seolah tidak terjadi apa-apa.
Namanya Depot Mawar. Letaknya tidak jauh dari rumah jabatan Gubernur Sulawesi Tengah. Saya melahap nasi putih, bistik sapi, dan teh manis hangat.
Makan malam yang luar biasa nikmat setelah seharian menahan lapar, bahkan nyaris pingsan. Sambil makan, saya teringat pada korban gempa dan tsunami yang juga kelaparan. Gempa-gempa susulan malam itu masih terasa....