Sasar Semua Produsen, Regulasi "Extended Producer Responsibility" Ditandatangani
Produsen produk manufaktur maupun produsen retail wajib mengurangi sampahnya minimal 30 persen dalam 10 tahun mendatang. Ini juga bisa untuk memenuhi industri daur ulang.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Produsen produk manufaktur maupun produsen retail wajib mengurangi sampahnya minimal 30 persen dalam 10 tahun mendatang. Ini juga bisa untuk memenuhi industri daur ulang.
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan telah menandatangani regulasi yang mengatur peta jalan tanggung-jawab pengurangan sampah oleh produsen. Kewajiban yang dikenal sebagai extended producer responsibility tersebut memberi waktu produsen untuk mengurangi sampahnya minimal 30 persen dalam 10 tahun mendatang.
Aturan main ini merupakan amanat dari UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pengurangan sampah melalui berbagai program yang bisa dipilih dan diinisiasi produsen ini menyasar seluruh level dan kategori produsen, baik usaha kecil dan besar.
Selain produsen produk manufaktur seperti perusahaan penghasil makanan dan minuman, kewajiban pengurangan tersebut juga menjadi tanggung-jawab produsen retail seperti supermarket, toko, dan pasar tradisional serta produsen jasa seperti hotel, rumah makan, kafe, dan katering.
“Ini berlaku buat semuanya, baik (produsen) besar dan kecil,” kata Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (13/11/2019) usai membuka Seminar Nasional Kerangka Kebijakan Circular Economy dalam Penanganan Sampah Plastik.
Ia mengatakan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan “peninggalan” yang ditandatangani Menteri Siti Nurbaya Bakar sebelum jabatan pertamanya di kabinet berakhir. Saat ini, PermenLHK tersebut masih berada di Kementerian Hukum dan HAM untuk diundangkan.
Rosa Vivien mengatakan extended producer responsibility (EPR) ini mengamanatkan produsen menyusun perencanaan dalam pengurangan sampah kemasan maupun produknya. Pengurangan tersebut bisa dilakukan dengan mengganti bahan baku, meredesain kemasan/produk, menarik kembali kemasan dari konsumen, mendaur ulang sampah kemasan, dan menggunakan kembal hasil daur ulang tersebut. “Produsen silakan membuat perencanaan dan mengajukan ke kami,” kata dia.
EPR mengamanatkan produsen menyusun perencanaan dalam pengurangan sampah kemasan maupun produknya.
Ia mengatakan kebijakan EPR ini diproyeksikan dapat berkontribusi pada target pemerintah untuk mengurangi timbulan sampah sebesar 30 persen pada 2025. Target ini tercatat dalam Peraturan Presiden No 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun demikian, menurut catatan Kompas, terdapat ketidaksinkronan karena EPR mengamanatkan pengurangan sampah 30 persen pada 10 tahun mendatang yaitu 2029 atau empat tahun lebih lambat dari target Perpres Nomor 97 Tahun 2017.
Direktur Pengelolaan Sampah Novrizal Tahar mengatakan kebijakan EPR selaras dengan perintah Presiden untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku sampah dalam negeri untuk memenuhi industri daur ulang. Amanat EPR agar produsen berperan aktif menarik kembali kemasan dari konsumen, baik secara langsung maupun melalui dropbox atau bekerjasama dengan bank sampah atau pihak ketiga, akan membantu memberikan pasokan bahan baku sampah yang relatif bersih kepada industri daur ulang.
Ia mengaku selama ini Indonesia sangat ironis karena mengimpor sampah atas nama limbah sebagai bahan baku industri daur ulang. Padahal, di lapangan, bahan baku tersebut melimpah dan setiap hari dihasilkan masyarakat.
Disebutkan, industri kertas membutuhkan bah baku 16 juta ton setiap tahun yang dipenuhi 10 juta -11 juta ton di antaranya dari pulp/alam dan sisanya mengandalkan bahan baku kertas daur ulang. Indonesia mengimpor 2,5 juta ton kertas bekas untuk menutupi kekurangan pasokan kertas bekas dari sampah dalam negeri.
“Industri kertas butuh bahan baku kertas yang sangat besar tapi kenyataan Indonesia masih impor scrap kertas. Artinya ada persoalan dalam sistem pasokan dan pengumpulan serta mungkin perilaku karena tidak memilah,” kata Novrizal.
Hal yang relatif sama terjadi juga pada industri plastik. Ia menyebutkan bahan baku plastik daur ulang dari sampah yang dihasilkan masyarakat mencapai 9 juta ton per tahun namun angka daur ulangnya baru sebesar 11 persen. Artinya, sebagian besar masih dibuang dan membebani lingkungan maupun tempat pembuangan akhir.
Sistem keseluruhan yang dibangun ini merupakan bagian dari penerapan ekonomi sirkular atau memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal, hemat, dan efisien. Saat menjalankan EPR, produsen diberi kebebasan untuk menjalankan strategi dan target tahunan masing-masing untuk menuju pengurangan sampah 30 persen pada 2028/2029.
Karena itu, ia pun mengatakan kewajiban ini menyasar seluruh kalangan produsen, termasuk pasar tradisional dan usaha kecil sesuai kemampuan namun tetap pada target pengurangan 30 persen timbulan sampah. “Ini penting bagi sektor dunia usaha untuk membuat levelling playing semua, semua diberlakukan sama,” kata dia.
Ketua Bidang Organisasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikapi) Imam Hadi Kurnia mengatakan pelaksanaan EPR tersebut disambut baik pedagang pasar. Contohnya melalui EPR, pedagang akan mengurangi maupun meniadakan kantong belanja plastik sekali pakai. Dampak positifnya yaitu biaya operasional berkurang dari sisi pembelian kantong plastik.
Imam Hadi KurniaKetua bidang Organisasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikapi).Difoto pada 13 November 2019 di Jakarta.Hanya saja, ia mengingatkan penolakan atau komplain biasanya datang dari konsumen yang merasa kantong plastik merupakan hak pembeli. “Kami berharap pemerintah bersama-sama kami membantu sosialisasi di pasar-pasar,” kata dia.
Selain itu, Imam pun berharap pengurangan sampah itu bisa implementatif pada produk-produk basah di pasar tradisional seperti ikan dan daging. Ia berharap terdapat solusi untuk mengemas produk-produk tersebut tanpa menimbulkan sampah.