Peningkatan Utang Luar Negeri untuk Menambal Defisit Anggaran
Utang luar negeri pemerintah pada September 2019 mencapai 194,4 miliar dollar AS atau tumbuh 10,3 persen dibandingkan September 2018. Peningkatan utang salah satunya untuk menambal defisit APBN yang semakin dalam.
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri pemerintah pada September 2019 mencapai 194,4 miliar dollar AS atau tumbuh 10,3 persen dibandingkan September 2018. Peningkatan utang salah satunya untuk menambal defisit APBN yang semakin dalam.
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri Indonesia hingga akhir September 2019 sebesar 395,6 miliar dollar AS. Rinciannya, utang pemerintah dan bank sentral sebesar 197,1 miliar dollar AS serta utang swasta, termasuk BUMN, sebesar 198,5 miliar dollar AS.
Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat (15/11/2019), yakni Rp 14.069 per dollar AS, total utang luar negeri Indonesia setara Rp 5.565,69 triliun.
Pada triwulan III-2019, utang pemerintah sebesar 194,4 miliar dollar AS atau tumbuh 10,3 persen dibandingkan periode sama tahun 2018. Adapun utang luar negeri swasta sebesar 198,5 miliar dollar AS atau tumbuh 10,4 persen, sementara bank sentral 2,8 miliar dollar AS atau negatif 8,9 persen.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede berpendapat, peningkatan utang pemerintah disebabkan tingginya penyerapan lelang obligasi pemerintah. Pada Januari-September 2019, pemerintah menyerap lelang obligasi senilai Rp 728 triliun. Angka itu lebih tinggi dibandingkan periode Januari-September 2018, yakni Rp 637 triliun.
Baca juga: Penerbitan Surat Utang Global Menopang Cadangan Devisa
”Peningkatan utang dibutuhkan pemerintah untuk pembiayaan tambahan mengingat adanya shortfall pajak tahun ini,” kata Josua yang dihubungi di Jakarta, Jumat.
Defisit APBN 2019 diproyeksikan kembali melebar pada kisaran 2-2,2 persen PDB atau senilai Rp 322,08 triliun-354,29 triliun. Sejauh ini pemerintah sudah mengubah proyeksi defisit APBN 2019 sebanyak dua kali dari target 1,84 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi 1,93 persen PDB.
Peningkatan utang pemerintah disebabkan tingginya penyerapan lelang obligasi pemerintah. Pada Januari-September 2019, pemerintah menyerap lelang obligasi senilai Rp 728 triliun. Angka itu lebih tinggi dibandingkan periode Januari-September 2018, yakni Rp 637 triliun.
Pelebaran defisit APBN ditengarai realisasi penerimaan pajak yang diperkirakan lebih rendah dari target (shortfall). Pemerintah memproyeksikan nilai shortfall pajak bisa lebih dari Rp 140 triliun.
Kendati meningkat, sebagian besar utang luar negeri pemerintah digunakan untuk pembiayaan sektor produktif, seperti jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 19 persen dari total utang pemerintah, konstruksi (16,5 persen), jasa pendidikan (16 persen), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,3 persen), serta jasa keuangan dan asuransi (13,7 persen).
Menurut Josua, sejauh ini posisi utang luar negeri pemerintah relatif aman. Di tengah risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik, pemerintah justru harus mewaspadai pertumbuhan utang luar negeri swasta yang stabil di kisaran 10 persen. Pertumbuhan utang swasta dibarengi kinerja ekspor dan investasi yang lesu.
Selain mewaspadai utang swasta, pemerintah perlu mengelola rasio pembayaran cicilan pokok dan bunga utang terhadap ekspor (debt service ratio/DSR) yang cenderung meningkat. DSR pada triwulan III-2019 sebesar 27,35 persen. Rasio ini lebih tinggi dari indikator DSR aman menurut Dana Moneter Internasional (IMF), yakni 25 persen.
”Pengelolaan keseimbangan eksternal termasuk pengelolaan utang luar negeri perlu ditingkatkan prinsip kehati-hatiannya. Semakin buruk kondisi pengelolaan utang, keluarnya dana asing akan lebih signifikan,” ujar Josua.
Produktif
Sejatinya, pemerintah sah saja untuk berutang guna menutupi anggaran belanja negara, terlebih kalau diperuntukkan hal-hal yang produktif. Namun, menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, utang pemerintah yang membengkak selama 5 tahun terakhir ini memang kurang digunakan untuk hal-hal yang produktif.
Contohnya porsi belanja barang/jasa dari total belanja pemerintah pusat APBN 2018 mencapai 24 persen atau sekitar Rp 247 triliun dan diikuti belanja pegawai 24 persen. Adapun, porsi belanja modal yang memiliki daya ungkit ekonomi terbilang kecil hanya 13 persen.
Belanja yang tak produktif juga kian jelas manakala porsi belanja pembayaran bunga utang mencapai 18 persen. Kondisi itu berbanding terbalik pada 2014, di mana porsi belanja modal masih lebih besar ketimbang pembayaran bunga utang.
”Artinya, semakin ke sini anggaran negara yang dihabiskan lebih banyak untuk bayar utang ketimbang membiayai pengeluaran produktif belanja modal,” ujarnya.
Utang pemerintah yang membengkak selama 5 tahun terakhir ini memang kurang digunakan untuk hal-hal yang produktif.
Bhima menilai persoalan utang pemerintah sebenarnya bisa dikendalikan jika pemerintah dapat merealisasikan target penerimaan pajak. Selama ini, target penerimaan pajak kerap meleset dan membuat defisit kian melebar.
”Walaupun porsi utang masih sekitar 30 persen dari PDB, saya pikir dengan kondisi penerimaan negara tidak bagus pemerintah bisa menahan untuk tidak jorjoran berutang,” tuturnya.
Surat utang
Dihubungi terpisah, Jumat, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pelebaran defisit APBN menyebabkan target penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto meningkat. Pada 2019, target penerbitan SBN neto meningkat dari Rp 388,96 triliun menjadi Rp 439,03 triliun.
Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemkeu, realisasi SBN neto per 6 November 2019 mencapai Rp 428,8 triliun atau 97,67 persen dari proyeksi APBN, yakni Rp 439,03 triliun.
”Sejauh ini, semua penerbitan SBN neto sesuai rencana, tidak ada penambahan lagi. Masih ada lelang (obligasi) di sisa tahun 2019,” kata Luky.
Pelebaran defisit APBN 2019 salah satunya diatasi dengan pembiayaan asing. Pada Oktober lalu, pemerintah kembali menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi dollar AS dan euro masing-masing senilai 1 miliar. Di dalam negeri, pemerintah juga menyerap dana segar sebesar Rp 24,25 triliun melalui lelang SUN pada 5 November lalu.
Selain dari penerbitan obligasi, kata Luky, pembiayaan asing untuk menutup defisit APBN 2019 berasal dari pinjaman Bank Pembangunan Asia (ADB) berbasis kebijakan atau policy-based loan senilai 500 juta dollar AS.
Menurut Luky, saat ini momentum tepat untuk penerbitan obligasi global karena kondisi pasar keuangan global yang relatif stabil, didukung tren penurunan suku bunga acuan. Obligasi berdenominasi dollar AS tenor 30 tahun memiliki imbal hasil 3,75 persen, sementara obligasi berdenominasi euro tenor 12 tahun memiliki imbal hasil 1,41 persen.