Kekurangan rumah pada 2015 sebanyak 11,4 juta unit. Sementara, kebutuhan rumah bertambah 800.000 unit per tahun.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Lima tahun sudah Program Sejuta Rumah dijalankan. Dengan program itu, pemerintah ingin mendorong pembangunan hunian, baik rumah tapak maupun hunian vertikal, sebanyak-banyaknya. Pertanyaannya, masih perlukah Program Sejuta Rumah dilanjutkan?
Dari sisi hunian terbangun yang diklaim pemerintah dalam Program Sejuta Rumah -termasuk yang mendapat bantuan swadaya dan stimulan, rumah khusus, maupun swadaya masyarakat- jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Berturut-turut sejak 2015 hingga 2018 sebanyak 699.770 unit, 805.169 unit, 904.758 unit, dan 1.132.621 unit. Hingga akhir tahun ini, pemerintah memroyeksikan hunian terbangun 1.250.000 unit.
Apakah klaim pencapaian tersebut serta-merta menyelesaikan masalah papan masyarakat? Atau sebenarnya angka capaian itu justru mereduksi masalah perumahan dan permukiman masyarakat yang kompleks menjadi sebatas angka.
Di satu sisi, komitmen pemerintah dalam Program Sejuta Rumah patut diapresiasi. Dalam program yang masuk dalam program strategis nasional, sejak 2010 hingga per 12 November 2019, pemerintah menyalurkan dana bergulir fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sebesar Rp 43,59 triliun.
Sementara, sejak 2015 hingga kini, dana yang disalurkan mencapai Rp 27 triliun. Dana tersebut untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Fasilitas itu berkonsep dana bergulir, yang diharapkan mandiri pada titik tertentu. Namun, hingga kini belum terjadi. Sumber pendanaan dari APBN masih diperlukan tiap tahun.
Sementara, angka kekurangan rumah masih tetap besar meskipun pemerintah mengklaim ada penurunan. Pada 2010 kekurangan hunian sebanyak 13,5 juta unit, yang pada 2015 diklaim turun menjadi 11,4 juta unit. Secara sederhana, jika pasokan hunian per tahun rata-rata 1 juta unit, sedangkan kebutuhan hunian per tahun rata-rata 800.000 unit, maka menyelesaikan angka kekurangan rumah tersebut butuh 50 tahun lagi!
Sumber pendanaan dari APBN masih diperlukan tiap tahun.
Di sisi regulasi, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 untuk memudahkan pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, peraturan ini terkesan tidak bergigi saat berhadapan dengan pemerintah daerah.
Yang terjadi, hunian yang terjangkau, termasuk rumah subsidi, semakin jauh dari pusat kota karena harga lahan di kota semakin mahal. Akibatnya, masyarakat semakin terbebani ongkos transportasi yang mahal karena lokasi rumah jauh dari kota atau tempat kerja. Cita-cita menyejahterakan rakyat justru bisa berbalik menjadi menyengsarakan rakyat.
Hingga kini, tidak ada evaluasi komprehensif mengenai efektivitas dari berbagai program perumahan. Pemerintah (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) asyik dengan program pembiayaan maupun subsidi di sisi hilir, namun tidak menyentuh di sisi hulu.
Meskipun Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah mengamanatkan konsep kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun, namun tidak juga dijalankan karena alasan ketiadaan bank tanah. Padahal, dengan konsep itu, harga hunian terjangkau dapat diwujudkan.
Kebijakan perumahan di Indonesia perlu dievaluasi dan diperbaiki. Penyediaan hunian tidak cukup hanya dengan mengalokasikan subsidi, FLPP, atau bantuan stimulan karena cakupannya hanya sedikit. Sementara, yang diperlukan penyediaan hunian terjangkau skala besar atau massal.
Sebagai regulator pemerintah punya wewenang untuk mengatur maupun mengonsolidasikan lahan yang dimiliki beserta tata ruangnya. Kemauan menggunakan kewenangan itu dinanti. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)