Waspadai Perulangan Gempa dan Tsunami di Laut Maluku
Laut Maluku merupakan zona tektonik sangat aktif yang memiliki jejak panjang gempa bumi dan tsunami dengan skala lebih besar dan merusak.
JAKARTA, KOMPAS — Laut Maluku merupakan zona tektonik sangat aktif yang memiliki jejak panjang gempa bumi dan tsunami dengan skala lebih besar dan merusak. Gempa berkekuatan M 7,1 pada Kamis (14/11/2019) pukul 23.17 WIB harus menjadi pelajaran untuk mengantisipasi potensi bencana di masa datang.
Berdasarkan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pusat gempa kali ini berada di kedalaman 73 kilometer dengan koordinat 1,67 Lintang Utara dan 126,39 Bujur Timur atau 134 kilometer barat Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. Pusat gempa ini hanya sekitar 50 kilometer dari pusat gempa tahun 2014.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, berdasarkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa yang terjadi merupakan jenis menengah akibat penyesaran dalam Lempeng Laut Maluku. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault).
Baca juga: Gempa M 7,1 di Maluku Utara dengan Susulan 74 Kali
Sekitar lima menit setelah gempa, BMKG telah mengeluarkan peringatan dini tsunami dengan status ancaman "waspada" untuk daerah Minahasa Utara bagian selatan, Sulawesi Utara. Status "waspada" artinya potensi tsunami kurang dari 50 sentimeter dan masyarakat diminta menjauh dari pantai dan sungai.
Berdasarkan monitoring tide gauge Badan Informasi Geospasial (BIG), terdeteksi adanya kenaikan muka air laut di Ternate, Maluku Utara setinggi 6 cm sekitar 23.43 WIB atau sekitar 26 menit setelah gempa bumi. Di Jailolo terdeteksi kenaikan muka air laut setinggi 9 cm juga pada pukul 23.43 WIB dan di Bitung terjadi kenaikan muka air laut 10 cm pada pukul 00.08, Jumat.
Setelah terkonfirmasi adanya kenaikan muka air laut relatif kecil ini, BMKG kemudian mengakhiri peringatan dini tsunami pada Jumat pukul 01.45 WIB. Hingga pukul 16.00 WIB, telah terjadi 112 gempa bumi susuan dengan kekuatan yang secara fluktuatif menurun.
Hingga pukul 16.00 WIB, telah terjadi 112 gempa bumi susuan dengan kekuatan yang secara fluktuatif menurun.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Agus Wibowo mengatakan, gempa ini menyebabkan 19 bangunan di Ternate rusak ringan, meliputi 15 rumah, 3 gereja, dan 1 sekolah. "BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Ternate juga melaporkan dua orang mengalami luka ringan karena tertimpa material bangunan," kata dia.
Sangat aktif
Sekalipun gempa kali ini hanya menimbulkan tsunami kecil dan kerusakan relatif sedikit, namun masyarakat di sekitar zona kegempaan Laut Maluku, meliputi Maluku Utara dan Sulawesi Utara, perlu tetap waspada. Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, zona tektonik Laut Maluku sangat aktif dan memiliki riwayat panjang gempa bumi dan tsunami.
Laut Maluku berada di persimpangan antara lempeng-lempeng besar Sunda, Lempeng Australia, Pasifik dan Filipina. Selain itu, di zona ini juga terdapat pecahan lempeng-lempeng kecil yang saling menekan. "Laut Maluku dijepit oleh dua subduksi arah busur Sangihe dan busur Halmahera yang saling berhadapan. Jadi selain ditekan, juga dijepit sehingga tektoniknya sangat kompleks dan aktif," kata dia.
Kondisi tektonik di Maluku Utara ini berbeda dengan zona subduksi lain, di mana energi yang terakumulasi di zona gempa hanya terkonsentrasi pada satu lengan lempeng saja. Namun di Laut Maluku dua lengan lempeng sama-sama bergerak. Akibatnya, potensi gempa yang dapat memicu tsunami tentu menjadi lebih besar.
Di Laut Maluku dua lengan lempeng sama-sama bergerak. Akibatnya, potensi gempa yang dapat memicu tsunami tentu menjadi lebih besar.
Catatan sejarah menunjukkan, Laut Maluku beberapa kali terjadi gempa lebih kuat dan merusak dibandingkan saat ini. Misalnya, Gempa Sangir 1 April 1936 yang guncangannya mencapai skala intensitas VIII - IX MMI yang merusak ratusan rumah.
Selain itu, Gempa Pulau Siau pada 27 Pebruari 1974 juga memicu longsoran dan kerusakan banyak rumah di berbagai tempat. Pada 22 Oktober 1983 kembali terjadi gempa Sangihe-Talaud yang merusak banyak bangunan rumah.
Beberapa gempa yang pernah terjadi di antaranya, tahun 1858 yang memicu tsunami yang merusak kawasan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe. Pada tahun 1859 kembali terjadi gempa yang memicu tsunami di Banggai dan Ternate yang mengakibatkan banyak rumah di pesisir disapu laut.
Beberapa gempa yang pernah terjadi di antaranya, tahun 1858 yang memicu tsunami yang merusak kawasan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe.
Gempa Kema-Minahasa pada 1859 juga memicu tsunami setinggi atap rumah-rumah penduduk. Tsunami Gorontalo 1871 juga menerjang di sepanjang pesisir Gorontalo. Tsunami pada 1889 menerjang kawasan pesisir Tahuna setinggi 1,5 meter, tsunami Kepulauan Talaud 1907 menerjang pantai setinggi 4 meter, dan tsunami Salebabu 1936 menyapu pantai setinggi 3 meter.
Selain sejarah gempa dan tsunami masa lalu, catatan terbaru gempa kuat di Laut Maluku cukup banyak. Sebagian besar diantaranya diikuti tsunami, seperti yang pernah terjadi pada 1979 yang berkekuatan M 7,0, tahun 1986 M 7,5, 1989 M 7,1, 2001 M7, 2007 M 7,5, 2009 M 7,1, 2014 M 7,1, 2019 M 7,0, dan kali ini M7,1.
"Gempa kali ini lebih mirip gempa tahun 15 November 2014, dan sumber gempanya hanya berjarak sekitar 50 km ke utaranya," kata Daryono.
Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Nasional 2017 menyebutkan potensi gempa dari zona subduksi di Laut Maluky bisa mencapai maksimal M 8,2. "Kalau semakin besar kekuatan gempanya, waktu tiba tsunami di daratan bisa lebih cepat. Gempa kemaren M 7,1 bidang batuan yang runtuh sekitar 50 x 25 km. Jika gempanya M 8.5 area yang runtuh menjadi 350 x 100 km. Artinya, saat terjadi guncangani akan segera diikuti tsunami," kata ahli tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko.
Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Nasional 2017 menyebutkan potensi gempa dari zona subduksi di Laut Maluky bisa mencapai maksimal M 8,2.
Menurut Widjo, ancaman bencana di Laut Maluku bisa lebih besar dari yang terjadi saat ini. Padahal, kesiapsiagaan di masyarakat masih mengkhawatirkan. "Gempa kali ini harus jadi peringatan untuk menyiapkan diri menghadapi kemungkinan yang lebih buruk. Edukasi evakuasi mandiri menjadi opsi yang penting untuk kawasan ini, mengingat waktu tiba tsunami yang bisa sangat singkat," kata dia.
Daryono menambahkan, baik di Maluku Utara maupun di zona bahaya Sulawesi Utara belum ada sirine tsunami. "Itu kewenangan Pemerintah Daerah untuk pengadaan sirine, termasuk juga perintah evakuasi jika terjadi tsunami," kata dia.
Latief Hamzah, Nanang T Puspito, dan Fumihiko Imamura dalam kajiannya yang dipublikasikan di jurnal Natural Disaster Science (2000) menyebutkan, dari tahun 1600 hingga 1999 telah terjadi 105 tsunami di Nusantara, sebanyak 35 kali (32,3 persen) terjadi di Busur Banda dengan korban meninggal 5.570 orang.
Sedangkan Laut Maluku telah dilanda tsunami 32 kali (30,8 persen) dengan jumlah korban mencapai 7.576 orang. Bisa disimpulkan, lebih dari 60 persen lebih kejadian tsunami di Indonesia terjadi di perairan Maluku dan Maluku Utara.