Kegagalan tidak menghancurkan semangat Prima Wisnu untuk mewujudkan mimpinya menjadi atlet panahan elite dan mempersembahkan prestasi untuk Indonesia. Prima menjadikan kekecewaan sebagai bahan bakar untuk berbenah diri.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
Kesuksesan sering kali dibangun dari kegagalan. Moto universal dalam olahraga itu menjadi keniscayaan bagi Prima Wisnu Wardhana (24). Sempat terdepak dari tim nasional, atlet yang pernah mengamen di jalanan ini menjadi salah satu andalan panahan Indonesia.
Prima menjadi buah bibir di panahan Asia Tenggara berkat sepak terjangnya di SEA Games Malaysia 2017. Tidak diunggulkan sama sekali, atlet asal Yogyakarta itu melibas andalan tuan rumah, M Juwaidi Mazuki, di final compound perorangan. Ia ”mencuri” emas di kandang ”Macan”, julukan Malaysia di ajang panahan Asia Tenggara.
Ditemui di sela-sela latihan di Lapangan Panahan Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (15/11/2019), Prima bercerita, kesuksesannya itu sebetulnya berawal dari kegagalannya di SEA Games edisi sebelumnya, yaitu Singapura 2015. Jangankan menembus final, saat itu Prima dilirik sebelah mata oleh tim pelatih dan pengurus Persatuan Pusat Persatuan Panahan Indonesia (Perpani).
Sempat dipanggil mengikuti pemusatan latihan nasional pada 2015, Prima lantas dicoret dan gagal terbang ke Singapura. Nilainya kalah dari tiga atlet lainnya, yaitu Sapriatno, Kuswantoro, dan Yoke Rizaldi Akbar, dalam seleksi untuk tim inti compound putra panahan. Alih-alih terpuruk, kekecewaannya saat itu disalurkan ke hal positif, yaitu menambah latihan.
”Saya sempat syok dan marah dengan diri sendiri. Setelah itu, saya melampiaskannya dengan berlatih lebih keras, baik pagi maupun sore hari. Pokoknya, setiap ada waktu luang (di sela-sela kuliah), saya selalu latihan,” tutur lulusan Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Yogyakarta tahun 2014 itu.
Kisah jatuh bangun peraih medali perak di Piala Asia 2019 seri Bangkok, Thailand, itu mengilhami para pendatang baru di timnas panahan Indonesia. Ia kerap menjadi tempat bertanya sejumlah atlet, salah satunya M Rindarto (38) yang lebih senior darinya secara usia. Sejumlah pihak swasta pun ikut mendekatinya sebagai sponsor.
Seperti prestasinya di Malaysia, hidupnya pun penuh lika-liku. Atlet yang menekuni panahan sejak usia 11 tahun itu pernah menghabiskan sebagian masa remajanya di jalanan, yaitu sebagai pengamen di Malioboro. Sebagian uang dari mengamen itu digunakan membeli perlengkapan panahan. Ia pun tidak malu tampil di kejuaraan-kejuaraan terbuka alias tarkam panahan yang akhir-akhir ini menjamur.
”Menurut atlet-atlet Amerika, selain mendapatkan uang, turnamen-turnamen open itu justru bisa mengasah mentalitas kita. Menang wajar, kalah malu (melawan atlet amatir). Jadi, tuntutan ke diri sendiri sangatlah besar,” ungkap atlet yang tengah menyelesaikan skripsinya di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta itu.
Di SEA Games Filipina akhir bulan ini, Prima pun memiliki tuntutan tinggi terhadap dirinya sendiri. Ia mematok target minimal satu medali emas. ”Itu target saya pribadi (bukan sekadar harapan Perpani),” ujarnya kemudian.