Bisnis transportasi publik sejatinya bukan sekadar memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lain. Unsur keselamatan, ketepatan waktu, dan keterjangkauan moda menjadi penentu moda diminati atau ditinggalkan.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·5 menit baca
Bisnis transportasi publik sejatinya bukan sekadar memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lain. Bukan juga untuk mengejar keuntungan finansial semata. Unsur keselamatan, ketepatan waktu, dan keterjangkauan moda transportasi amat menentukan seseorang akan memakai angkutan umum atau memilih di belakang setir kendaraan pribadinya.
Atas nama keselamatan itu pula, transportasi modern terus berbenah. Di bidang perkeretaapian, kemajuan teknologi juga menyasar peningkatan keselamatan. Cerita tentang kereta anjlok, perjalanan terhenti karena kereta mogok, atau yang paling berat adalah tabrakan antarkereta terus dihindari dengan perkembangan teknologi terus-menerus.
MRT Jakarta, sebagai sistem perkeretaapian modern, juga menerapkan teknologi modern. Apa yang modern?
Abad ke-20, perkeretaapian di Indonesia amat bergantung pada kecermatan manusia. Pergantian sinyal, perpindahan wesel rel, dan jalan-berhentinya kereta ada di tangan manusia.
Tenaga kerja banyak terserap dengan sistem ini. Di sisi lain, keselamatan perjalanan kereta sangat bergantung pada kecermatan orang per orang. Apabila salah seorang lalai, kelelahan, atau mengabaikan tanda serta sinyal, kecelakaan bisa terjadi.
Tragedi Bintaro 19 Oktober 1987 dengan sekitar 150 korban meninggal merupakan salah satu kecelakaan kereta api (sering disebut peristiwa luar biasa hebat/PLH) yang diduga kuat akibat unsur kelalaian manusia.
Meskipun bukan faktor tunggal, seperti temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tabrakan antara kereta listrik di Stasiun Juanda, 23 September 2015, pun tidak luput dari faktor manusia, antara lain kecakapan masinis untuk membaca sinyal dan meresponsnya.
Di dunia, faktor manusia belum sepenuhnya tergantikan oleh teknologi. Di Jepang, misalnya, masinis masih mengoperasikan kereta meskipun peran masinis tidak lagi sevital di masa lalu.
Sistem yang mumpuni
Beragam kejadian di Indonesia pun direspons oleh operator perkeretaapian dengan menyediakan sistem yang lebih mumpuni. Perbaikan persinyalan dan kecakapan awak kereta, misalnya, dilakukan PT Kereta Api Indonesia.
Sebagai pendatang baru, MRT Jakarta pun mengadopsi sistem perkeretaapian modern. Sebut saja penggunaan sinyal blok bergerak (moving block signalling/communication-based train control/CBTC) sebagai pengganti sinyal permanen yang berbentuk seperti lampu pengatur lalu lintas di jalan raya lengkap dengan tiangnya.
Dengan CBTC, sinyal berada di setiap rangkaian kereta. Sinyal ini akan memberikan tanda yang ditangkap kereta di belakangnya sehingga kereta yang satu bisa menyesuaikan jarak aman dengan kereta di depannya. CBTC memungkinkan perjalanan kereta kian rapat, tentu saja tanpa mengabaikan faktor keselamatan perjalanan.
Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Muhammad Effendi mengatakan, keamanan dan keselamatan menjadi bisnis MRT. ”Safety and security adalah bisnis kami, fokus utama kami,” katanya.
Ia menambahkan, MRT Jakarta juga memakai sistem Grade of Automation 2 (GoA2) yang memungkinkan hampir seluruh perjalanan kereta listrik ini diatur oleh pusat pengendali. Pemakaian CBTC menjadi vital untuk menjaga keamanan perjalanan setiap kereta.
”Masinis tidak lagi mengatur kereta jalan atau berhenti karena itu diatur dari control room yang juga ada di Depo Lebak Bulus ini,” ujarnya, Jumat (15/11/2019), dalam kelas jurnalis peserta Fellowship MRT 2019.
Meskipun dalam teknologi perkeretaapian sudah dikenal GoA4 yang bisa membuat kereta melaju tanpa ada masinis di dalamnya, MRT masih memakai masinis di setiap rangkaian kereta.
Peran masinis terbatas, terutama pada saat keadaan darurat, seperti ketika listrik di hampir seluruh wilayah Jakarta padam pada Agustus lalu. Saat itulah, masinis mengambil kendali untuk memimpin proses evakuasi penumpang.
Tentu saja, meskipun teknologi canggih berperan penting, aspek keahlian tenaga manusia masih penting, antara lain untuk proses pengawasan pengaturan perjalanan kereta, perawatan sarana dan prasarana, dan manajemen perkeretaapian. Sejumlah pelatihan dengan operator mancanegara pun dilakukan.
Proses pengaturan perjalanan kereta yang sebagian besar dilakukan otomatis ini, kata Effendi, tidak hanya meningkatkan aspek keselamatan, tetapi juga memungkinkan kereta MRT menjaga waktu tempuh 30 menit untuk rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia sejauh 16 kilometer.
”Ketepatan waktu perjalanan kereta MRT sampai 99 persen,” katanya. Perjalanan kereta MRT disebut terlambat, kata Effendi, apabila melampaui 5 menit dari jadwal.
Satu rangkaian MRT saat ini bisa mengangkut 1.800 penumpang. Effendi mengakui, saat ini daya angkut MRT belum mencapai angka maksimalnya. Dari catatan PT MRT Jakarta pada Oktober 2019, jumlah penumpang berkisar 49.000-109.000 pengguna per hari.
Keberadaan MRT tak dimungkiri membawa daya tarik tersendiri. Kecepatan dan keamanan moda ini membuat 49,6 persen dari 500 responden dalam survei Kompas, 1-2 April 2019, menyatakan bakal memakai MRT ketimbang moda lain yang mempunyai rute yang sama. Hanya, seperti diungkapkan 28,4 persen responden, rute MRT saat ini masih sedikit.
Barang kali, minat warga naik MRT bakal meningkat apabila 230 kilometer rute MRT yang direncanakan benar-benar terbangun kelak.
Biaya tinggi
Dengan beragam keunggulan moda transportasi publik ini, seluruh investasi dan perawatan sistem MRT ini pun membutuhkan biaya tinggi. Untuk perawatan saja, Effendi menyampaikan, dibutuhkan Rp 500 miliar per tahun.
Apabila dihitung, tarif yang dibebankan untuk jarak terjauh idealnya Rp 30.000 per penumpang. ”Akan tetapi, Pemerintah Provinsi DKI memberikan subsidi kepada penumpang sehingga tarif untuk jarak terjauh sekarang Rp 14.000,” ucapnya.
Subsidi serupa adalah berupa public service obligation (PSO) antara lain diterapkan pemerintah pusat untuk penumpang KRL Commuterline dan Pemprov DKI untuk bus Transjakarta.
Untuk rute MRT lanjutan, yakni Bundaran HI-Kota, kebutuhan dana pembangunan ditaksir mencapai Rp 16 triliun. Belum lagi jika benar nanti akan dibangun 230 kilometer jalur MRT. Dalam pemberitaan Kompas, 17 April 2019, kebutuhan dana untuk pengembangan jaringan rel MRT menjadi 223 kilometer sebesar Rp 214 triliun.
Biaya awal yang dibutuhkan untuk membangun sistem perkeretaapian memang tinggi. Akan tetapi, jika dihitung dengan pengurangan kerugian ekonomi akibat kemacetan yang mencapai Rp 65 triliun setahun, pengurangan kebutuhan pembangunan jalan, serta kualitas hidup yang lebih baik, barang kali pembangunan sistem kereta api perkotaan yang luas di Jakarta adalah jawaban yang rasional.