Warga marah dan berunjuk rasa setelah pemerintah mengumumkan harga minyak akan naik 50 persen. Mayoritas warga Iran menganggap harga bensin murah adalah hak asasi.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
TEHERAN, MINGGU -- Perekonomian yang memburuk kembali memicu unjuk rasa di Iran. Hingga Minggu (17/11/2019), sedikitnya dua orang tewas dalam unjuk rasa yang terjadi di berbagai penjuru Iran.
Warga marah dan berunjuk rasa setelah pemerintah mengumumkan harga minyak akan naik 50 persen. Dengan harga baru, warga harus membayar setara 13 sen dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 1.820 per liter untuk 60 liter pertama. Untuk pembelian setara 61 liter atau lebih banyak, harga dinaikkan 300 persen.
Mayoritas warga Iran menganggap harga bensin murah adalah hak asasi. Anggapan itu didorong fakta Iran sebagai salah satu negara pemilik cadangan minyak terbesar di bumi.
Namun, Iran kini kesulitan menjual minyak gara-gara sanksi AS, yang dijatuhkan setelah tahun lalu AS menarik diri dari kesepakatan nuklir tahun 2015. Padahal, penjualan minyak adalah sumber utama pendapatan Iran. Iran kesulitan mengimpor aneka kebutuhan tanpa hasil penjualan minyak.
Kesulitan ekonomi pernah memicu unjuk rasa di Iran pada akhir 2017 dan baru padam pada pertengahan Januari 2018. Kini, kesulitan ekonomi ditambah rencana kenaikan harga minyak kembali memicu unjuk rasa.
Warga meninggalkan kendaraan di jalan-jalan, lalu berunjuk rasa. Seorang warga di Sirjan dan seorang polisi di Kermansyah tewas karena luka yang didapat dalam kericuhan akibat unjuk rasa.
Dukungan Khamenei
Unjuk rasa sejak Sabtu lalu memicu sejumlah anggota DPR Iran mencoba membatalkan kenaikan itu. Walakin, rencana itu dibatalkan setelah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mendukung kenaikan harga minyak.
”Saya bukan pakar dan ada perbedaan pendapat (soal harga minyak). Akan tetapi, saya pernah menyatakan bahwa pimpinan tiga cabang (pemerintahan) membuat keputusan, maka saya akan mendukung. Pimpinan telah membuat keputusan berdasarkan pertimbangan para pakar dan itu harus diterapkan,” tuturnya dalam pidato yang disiarkan pada Minggu siang.
Khamenei menyatakan, penolakan atas kenaikan harga minyak itu bisa dipahami. Namun, penolakan tidak bisa dijadikan alasan memicu kericuhan. ”Tentu saja sebagian orang marah. Namun, merusak dan membakar bukan sesuatu yang pantas dilakukan warga. Itu dilakukan perusuh,” katanya.
Khamenei menuduh pericuh termakan hasutan pihak-pihak antirevolusi dan musuh Iran. Secara khusus, ia menuding keluarga mantan shah terakhir Iran, Reza Pahlevi, sebagai penghasut kericuhan. Ia minta aparat menjalankan tugasnya. Sementara warga Iran diminta menjaga unjuk rasa tetap tertib dan tidak ricuh.
”Tindakan ilegal (kericuhan) tak memecahkan masalah dan malah menimbulkan persoalan baru. Ketiadaan keamanan dan ketertiban adalah bencana terbesar negara mana pun. Inilah yang mereka (musuh Iran) inginkan,” kata Khamenei.
Pemutusan internet
Khamenei berpidato setelah unjuk rasa memasuki hari kedua. Aparat memutus layanan internet sebagai bentuk pencegahan unjuk rasa. Salah satu penyedia jasa layanan internet di Iran menyebut perintah itu memicu pemutusan terbesar yang pernah terjadi di Iran.
Pemantau sambungan internet global, NetBlocks, menyebut gangguan pada layanan internet Iran terpantau sejak Jumat malam. Pada Sabtu malam, kapasitas layanan internet Iran hanya tersisa 7 persen dari kapasitas sebelum Jumat siang. ”Gangguan sekarang paling buruk sejak Presiden Hassan Rouhani berkuasa dan paling buruk dibandingkan dengan negara mana pun yang pernah kami pantau,” sebut NetBlocks.
Kantor berita ISNA melaporkan, Dewan Keamanan Nasional Iran memerintahkan pembatasan akses di seluruh Iran. Tidak ada penjelasan lebih lanjut soal itu.
Selain membatasi akses internet, aparat juga menangkap sejumlah orang. Di kota Yazd, 40 orang ditangkap. Kepolisian setempat menyebut sebagian besar yang ditangkap tidak berasal dari kota itu.
Sementara di Shiraz, Isfahan, dan Bushehr, aparat menembakkan gas air mata dan mengerahkan meriam air untuk membubarkan massa. Kepolisian menyatakan aparat tidak ragu untuk melawan para pengganggu ketertiban. ”Aparat akan mengidentifikasi para pemimpin pericuh dan menghadapi mereka,” demikian pernyataan resmi kepolisian.
Departemen Intelijen Iran menyatakan pihak di balik kericuhan sudah teridentifikasi. Sejumlah langkah akan dilakukan terhadap mereka.
Dalam unggahan di media sosial, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyatakan dukungan kepada pengunjuk rasa. ”Seperti telah saya sampaikan kepada warga Iran hampir 1,5 tahun lalu, AS bersama kalian”, tulisnya di media sosial.
Unjuk rasa di Iran menambah daftar protes yang meletus di Timur Tengah sejak Oktober 2019. Selain di Iran, unjuk rasa juga terjadi Irak dan Lebanon.