Refleksi Relasi TNI dan Kepolisian Negara RI
Meski memiliki perbedaan fungsi dan tugas, TNI dan Polri sangat dekat dan berkorelasi dalam upaya menjaga pertahanan dan keamanan.
Reformasi tahun 1998 membuahkan hasil pada bidang keamanan, yakni pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI. Meski memiliki perbedaan fungsi dan tugas, TNI dan Polri sangat dekat dan berkorelasi dalam upaya menjaga pertahanan dan keamanan.
Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara (Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No VII/MPR/2000), terjadi perubahan mendasar relasi TNI- Polri.
Secara konstitusional, ada perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terpisah dengan Tentara Nasional Indonesia, sesuai peran serta fungsi masing-masing. Polri menjadi entitas yang lebih bercorak non militer dengan penekanan tugas menjaga tertib hukum dan keamanan dalam negeri. Adapun TNI menghadapi musuh negara.
Tarik-menarik berbagai unsur politik ataupun militer pascakemerdekaan menyebabkan unsur pejuang kemerdekaan Indonesia yang semula bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan diubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Nama TKR berubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan mulai 3 Juni 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada tanggal 21 Juni 1962, TNI berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri. Baru pada tahun 2000, ABRI berubah lagi menjadi TNI setelah dilakukan pemisahan Tentara Nasional Indonesia dengan Polri.
Hubungan TNI dan Polri tersurat dalam sejumlah aturan perundangan, yaitu UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI ataupun UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Relasi kedua lembaga salah satunya disebutkan pada Pasal 41 Ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang menyatakan, dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara RI dapat meminta bantuan TNI yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Sebaliknya, pada Ayat 2 pasal yang sama dikatakan bahwa dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara RI dapat memberikan bantuan kepada TNI sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas yang bersifat bantuan dari TNI kepada aparat kepolisian diatur dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 7 Ayat (2) Poin 10 yang menyebutkan, dalam rangka tugas operasi militer selain perang, TNI bertugas membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat.
Selain tugas tersebut, dalam pasal yang sama, dinyatakan bahwa TNI bertugas mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan obyek vital, serta membantu tugas pemerintah di daerah dan sejumlah tugas lainnya, termasuk membantu menanggulangi peristiwa bencana.
Ada pasal pada dua UU tersebut yang sama-sama menyebutkan, baik TNI maupun Polri memiliki kewenangan yang sama untuk menumpas terorisme.
Meskipun demikian, dua undang-undang yang mengatur TNI dan Polri ini belum memadai sebagai pijakan dalam berkoordinasi menghadapi ancaman yang terjadi. Masih banyak kendala dan persoalan yang dihadapi terkait relasi antara TNI dan Polri.
Penanganan terorisme
Peran Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di bawah Polri lebih tampak menonjol dalam kasus-kasus penanganan terorisme selama ini. Kerja sama TNI dan Polri tampak misalnya dalam operasi besar-besaran mengejar pelaku terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa tahun lalu, serta pengejaran pelaku terorisme di wilayah perbatasan yang juga melibatkan pasukan TNI.
Dalam menangani terorisme, prajurit TNI AD, TNI AU, dan TNI AL juga bisa berperan. Detasemen 81/Gultor dari Kopassus TNI-AD, Detasemen Bravo dari Kopaskhas TNI AU, dan Detasemen Jala Mengkara dari Marinir TNI AL merupakan prajurit militer yang memiliki kapabilitas intelijen mumpuni.
Pada situasi tertentu, ada kemungkinan polisi tak dapat mengatasi serangan terorisme. Ancaman yang dinilai sangat besar dan melebihi kapasitas polisi, seperti penyanderaan dengan kekuatan bersenjata ataupun aksi semi-militer, seperti dalam kasus serangan bersenjata Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata di Papua (KKSB), memerlukan dukungan TNI. Dalam situasi ini, prajurit militer bahu-membahu dengan aparat Brimob Polri mengejar anggota KKSB.
Pengerahan kekuatan militer untuk penanggulangan terorisme harus mengikuti standar internasional penggunaan kekuatan dan senjata dalam rangka penegakan hukum dengan tetap menghormati prinsip hak asasi manusia.
Mengingat ancaman terorisme semakin meningkat dari segi intensitas dan kualitas, seperti kasus bom bunuh diri di Surabaya dan Medan, perlu satu peraturan perundangan yang mewadahi semua elemen aparat pertahanan keamanan nasional. Peraturan perundang-undangan tersebut bukan saja berisi sistem, prosedur dan tata caranya, melainkan juga memuat tata cara penindakan secara terpadu, penyediaan dana, sarana, dan prasarana pendukung.
Pada pengamanan hajatan demokrasi Pemilu 2019, kerja sama TNI dan Polri makin tampak erat dan kompak terutama dalam mengamankan persiapan, pelaksanaan, dan pasca kegiatan pemilu. Pada pengamanan dan penanganan aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Gedung DPR yang menolak pengesahan RUU KPK dan RUU KUHP, aparat TNI dan Polri juga mampu bekerja sama dengan baik serta mencegah bentrokan yang meluas antara aparat dan pendemo.
Dalam upaya mengatasi situasi dan kondisi keamanan yang kian memanas saat unjuk rasa, aparat Polri tampak melakukan upaya penegakan hukum yang diimbangi dengan strategi pembendungan (containment) berupa pendekatan lunak kepada massa pengunjuk rasa.
Sinergi dan terpadu
Pada dasarnya, dalam menciptakan hubungan TNI-Polri yang harmonis, masalah paling mendasar dan esensial adalah terintegrasinya pelaksanaan tugas dan kegiatan di semua aspek dalam unsur-unsur keamanan nasional.
Pada masa lalu, berbagai benturan antaroknum kepolisian dan TNI kerap terjadi. Beberapa di antaranya bahkan terjadi cukup masif karena mengakibatkan pembakaran dan perusakan kantor polisi, bahkan merenggut korban jiwa. Saat ini, kondisinya membaik dan diharapkan mampu senantiasa terjaga, apalagi ancaman di masa depan semakin bervariasi dan kompleks, di antaranya penggunaan teknologi siber (cyber). Penanggulangan ancaman ini lebih rumit dan kompleks karena tak mengenal waktu dan batas wilayah geografis nasional.
Penanganan ancaman semacam ini membutuhkan kekuatan relasi kelembagaan TNI dan Polri tanpa harus meninggalkan profesionalisme di koridor domain tugas masing-masing. Bukan waktunya lagi terjadi perseteruan.
Kerukunan dua kekuatan bersenjata di Indonesia ini akan mendapatkan apresiasi di masyarakat. Sebaliknya, perseteruan hanya akan meluruhkan apresiasi dan kepercayaan. Jajak pendapat telepon Litbang Kompas dalam periode 2011–2019 mendapati kinerja dan citra TNI terus meningkat. Kinerja TNI dalam menjunjung tinggi HAM memulihkan keamanan konflik, menjaga negara dari tekanan asing, dan menjaga kedaulatan NKRI dipandang masyarakat semakin baik dari tahun ke tahun.
Demikian pula kinerja Polri. Apresiasi positif terhadap lembaga ini oleh masyarakat kini mencapai tingkat tertinggi sebagaimana tecermin dalam jajak pendapat Kompas 26-27 Juni 2019. Kinerja positif Polri yang paling menonjol adalah penanganan terorisme dan kemampuan mengungkap kasus. Tak bisa disangkal, Polri merupakan salah satu satuan kepolisian di dunia yang senantiasa mampu mengungkap berbagai kasus terorisme, kriminalitas, dan penyelundupan narkoba secara cemerlang.
Penguatan relasi TNI-Polri semestinya terus dilakukan secara kelembagaan dan komprehensif dimulai dari tingkat pimpinan lembaga hingga prajurit di tingkat terbawah. Sistem kerja sama dan hubungan baik harus terus dipupuk agar para bayangkara negara mampu terus menjaga napas perdamaian negeri ini.
(LITBANG KOMPAS)