Keraguan Publik Menerima Skuter Listrik
Skuter listrik yang hadir di tengah-tengah warga pada awalnya didesain sebagai moda transportasi alternatif. Namun, pada perkembangannya, skuter banyak dipakai untuk kebutuhan lain di jalur yang bukan peruntukannya.
Keberadaan skuter listrik dalam mendukung sistem transportasi ramah lingkungan masih menuai pro dan kontra. Alat mobilitas pribadi itu dipercaya mampu mendukung kegiatan warga sehari-hari dalam menempuh perjalanan jarak pendek. Masalahnya, masih belum ada regulasi yang mengatur moda transportasi tersebut.
Karena itu, aspek keselamatan skuter listrik belum terjamin. Begitu juga dimensi, kualitas klakson, lampu, atau helm belum terstandardisasi. Di sisi lain, sarana jalan dan budaya berlalu lintas sejauh ini belum mendukung penggunaan transportasi semacam skuter listrik. Meskipun jalur sepeda mulai dibangun tahun ini secara bertahap, keselamatan penggunanya belum terjamin karena masih banyaknya pengendara kendaraan bermotor yang menerobos jalur ini.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi berpendapat, penggunaan skuter listrik cocok di kawasan lingkungan, seperti Gelora Bung Karno (GBK), Ancol, atau Taman Mini Indonesia Indah. Namun, untuk jalan raya atau tempat umum lain, penggunaan skuter listrik masih diragukan karena kurangnya pengawasan.
”Dengan kondisi infrastruktur kita saat ini, penggunaan skuter listrik di jalan raya atau tempat umum masih menuai lebih banyak bahaya dibanding keuntungan. Jalur sepeda yang ditandai dengan marka tidak menjamin keselamatan pengguna. Kesadaran masyarakat untuk mematuhi marka jalan masih rendah,” ujar Budi, Rabu (20/11/2019), di Jakarta.
Baca juga: Skuter Tunggu Regulasi
Saat ini, pihak kepolisian belum bisa menindak pengguna skuter listrik karena belum adanya regulasi yang mengaturnya. Mereka hanya bisa mengimbau pengguna tidak menggunakan skuter listrik di jalan raya. ”Jika sekarang, misalnya mau menyita otopet, apa dasar hukumnya? Sementara kami hanya beri teguran,” ujar Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Fahri Siregar pekan lalu.
Seperti diberitakan sebelumnya, enam pengguna skuter listrik GrabWheels tertabrak mobil di jalan layang Senayan, Jakarta, Minggu (10/11/2019) dini hari. Dua pengguna skuter listrik meninggal dunia setelah peristiwa itu. Dari pemeriksaan polisi, pengemudi mobil dalam pengaruh alkohol saat kejadian.
Setelah insiden itu, manajemen Grab Indonesia berupaya memperbaiki standar keselamatan skuter listrik. Salah satunya dengan mengenakan denda sebesar Rp 300.000 terhadap pengguna skuter listrik GrabWHeels. Pengguna juga harus mengenakan helm, tidak boleh berboncengan, dan membiarkan anak di bawah umur mengendarai skuter itu.
Baca juga: Pengguna Skuter Listrik Tewas Setelah Ditabrak Mobil
”Kami ingin skuter bisa digunakan seterusnya. Karena itu, Grab akan memperkenalkan standar keselamatan tambahan, yaitu educate (mengedukasi), melengkapi, dan enforce (menegakkan),” kata Kepala Hubungan Masyarakat Grab Indonesia Tri Sukma Anreianno.
Revisi undang-undang
Menurut Budi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan belum mengakomodasi kendaraan sejenis skuter listrik. Berdasarkan peraturan tersebut, kendaraan hanya diklasifikasikan dalam dua kategori, yakni kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor.
Budi menjelaskan, skuter listrik sulit dianggap sebagai kendaraan bermotor. Skuter tidak bakal lulus uji tipe karena tidak memenuhi aspek keselamatan lalu lintas. ”Kalau skuter dilakukan uji tipe, jelas enggak lulus. Lampunya belum tentu ada. Klakson dan dimensinya juga tidak memenuhi syarat,” ujarnya.
Selain itu, skuter listrik juga sulit dianggap sebagai kendaraan tidak bermotor karena kecepatannya bisa lebih dari 20 kilometer per jam. Budi menjelaskan, yang dianggap kendaraan bermotor adalah kendaraan yang kecepatan minimalnya 20 km per jam di jalan rata dan 25 km per jam di jalan menanjak.
Baca juga: Langgar Aturan, Pengguna GrabWheels Bayar Denda Rp 300.000
”Undang-Undang 22/2009 belum berorientasi pada jenis transportasi seperti skuter listrik. Mungkin kita perlu kategori kendaraan lain yang bisa mengakomodasi jenis kendaraan listrik seperti skuter,” kata Budi.
Ia menambahkan, ada kemungkinan pihaknya merevisi UU 22/2009 ke depan. Untuk sementara, pihaknya sedang menyusun surat edaran yang ditujukan sebagai pedoman kepada dinas perhubungan bagaimana mengatur keberadaan skuter listrik. Surat edaran yang diharapkan selesai pekan depan itu salah satunya memperbolehkan penggunaan skuter listrik di kawasan rekreasi, seperti GBK, Ancol, dan Taman Mini Indonesia Indah.
Setelah itu, Kementerian Perhubungan berencana merumuskan aturan berupa peraturan menteri. Diharapkan, peraturan menteri itu bisa diterapkan pada 2020.
Sementara itu, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menargetkan, aturan terkait skuter listrik dan alat mobilitas pribadi lain (seperti skateboard dan sepatu roda) mulai diterapkan pada Desember 2019. Ketentuan berupa peraturan gubernur itu melarang skuter listrik melintas di atas trotoar, jembatan penyeberangan orang (JPO), serta saat hari bebas kendaraan (CFD) digelar. Skuter listrik hanya boleh melintas jalur sepeda di tepi jalan atau trotoar, serta kawasan yang sudah mengizinkan operasi skuter listrik, seperti GBK.
Baca juga: Permenhub Disiapkan untuk Mengatur Penggunaan Skuter Listrik
”First and last mile”
Meskipun meragukan dari segi keselamatan, keberadaan skuter listrik tetap dipercaya sebagai moda transportasi yang bisa membantu warga menempuh perjalanan jarak dekat (first and last mile). ”Prinsipnya, kita mendukung (keberadaan skuter listrik). Ini bisa menjadi salah satu alat transportasi yang digunakan pada first and last mile. Dari rumah hingga stasiun, misalnya, bisa naik skuter,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo.
Meskipun demikian, pihaknya lebih mendorong penggunaan sepeda karena baik untuk kesehatan. Selain itu, biaya perawatan sepeda diperkirakan juga lebih murah dibandingkan dengan skuter listrik.
Safrida Juliany (40), pengguna skuter listrik, menceritakan bahwa skuter listrik membantunya menempuh perjalanan sehari-hari pergi dan pulang dari kantor secara lebih cepat. Dari rumahnya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, ia naik skuter hingga tempat pemberhentian bus terdekat.
Kemudian, ia naik bus Transjakarta hingga kawasan Kampung Melayu. Beberapa kilometer terakhir hingga tiba di kantornya di Mega Kuningan ia tempuh dengan skuter listrik lagi. ”Saya sudah melakukan ini selama satu tahun empat bulan. Naik skuter lebih hemat waktu. Saya kurang suka naik ojek daring karena suka nunggu dan suka di-cancel,” kata Safrida, yang senang bertualang sebagai biker atau pesepeda.
Baca juga: Jadi Alternatif Transportasi, Skuter Listrik Kian Diminati
Waktu perjalanan pergi pulang kantor sebelum ia naik skuter listrik mencapai sejam lebih untuk satu kali perjalanan. Sekarang, berkat skuter, waktu perjalanannya berkurang 40 menit. Setiap kali naik skuter, ia mengenakan helm, jaket, tas ransel, dan sarung tangan. Ia mengatakan belum banyak orang yang nekat pergi pulang kantor dengan menggunakan skuter listrik. Di gedung kantor di mana ia bekerja, misalnya, hanya ia sendiri yang sehari-hari menggunakan skuter.
Sejak tahun 2019, terutama setelah layanan sewa skuter listrik GrabWheels diluncurkan pada Mei tahun ini, penggunaan skuter semakin marak ditemukan. Layanan yang tadinya hanya tersedia di kawasan BSD City, Tangerang, kini dapat ditemukan di beberapa lokasi hiburan dan perkantoran di Jakarta Selatan dan Pusat. Layanan tersebut juga tersedia di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Bintaro Exchange, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, serta Institut Teknologi Bandung.
Kini, saat malam hari, trotoar di kawasan Senayan serta Gelora Bung Karno tidak hanya dipenuhi dengan pejalan kaki atau penggemar jogging, tetapi juga pengguna skuter listrik. Sejumlah besar pengguna itu adalah anak muda yang tertarik mencoba menjelajahi kawasan Ibu Kota dengan teknologi terkini.
Karena baru, tidak sedikit di antara mereka yang tidak memenuhi aspek keselamatan yang ditekankan operator, seperti memakai helm, tidak berboncengan, dan menenteng skuter saat menyebrang jalan atau jembatan penyeberang orang (JPO). Seperti dilaporkan Dinas Bina Marga DKI Jakarta pekan lalu, penggunaan skuter listrik sedikit merusak sejumlah JPO di Jalan Jenderal Sudirman.
Tingkatkan budaya toleran
Bagi Julius Caesar (43), karyawan swasta yang tergabung dalam gerakan Bike to Work, skuter listrik bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong warga beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Namun, pengguna harus memenuhi aspek keselamatan, terutama ketika berada di jalan raya. ”Yang penting keamanannya diperhatikan. Pengguna mengenakan helm, melaju dengan kecepatan rendah, dan dilengkapi lampu,” kata Julius.
Sebagai pesepeda, ia pun tidak keberatan untuk berbagi jalur sepeda dengan pengguna skuter listrik. ”Kita selalu welcome dan menggaungkan prinsip sharing the road,” ujar Julius.
Menurut dia, tantangan terbesar bagi para pesepeda Indonesia adalah budaya setempat yang kurang sabar atau toleran terhadap pengguna jalan yang rentan, seperti pesepeda dan pejalan kaki. ”Kendaraan bermotor, kan, sering enggak sabar dan sering menyerobot. Di luar negeri, pejalan kaki dan pesepeda lebih dihormati. Budaya itu mesti ditingkatkan. Itu akan menarik minat masyarakat untuk bersepeda,” tutur Julius.