Kisut Temuan BPK dan Dugaan Monopoli Proyek (2)
Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima di Malioboro, Kota Yogyakarta, diwarnai sejumlah masalah. Selain lelang cepat yang memunculkan pertanyaan, juga ada masalah kekurangan volume pekerjaan dan dugaan afiliasi.
Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, diwarnai sejumlah masalah. Selain metode lelang cepat yang memunculkan pertanyaan, juga ada masalah kekurangan volume pekerjaan dan dugaan afiliasi di proyek itu. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan terkait proyek tersebut.
Kabar gembira itu datang dalam sidang paripurna DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 28 Mei 2019. Dalam sidang itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dengan pemberian opini tersebut, Pemda DIY telah memperoleh opini WTP dari BPK sebanyak sembilan kali berturut-turut. Meski demikian, bukan berarti proyek-proyek yang dijalankan Pemda DIY benar-benar bebas dari persoalan. Sebab, dalam LHP terhadap Laporan Keuangan Pemda DIY Tahun Anggaran 2018, BPK juga mencatat sejumlah temuan.
Berdasarkan salinan dokumen LHP BPK yang diperoleh Kompas, salah satu temuan itu berkait dengan pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL) di kawasan wisata Malioboro, Yogyakarta. Seperti diberitakan sebelumnya, pembangunan tempat relokasi PKL itu merupakan salah satu proyek besar di DIY dengan anggaran lebih dari Rp 60 miliar.
Pengerjaan proyek tersebut dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama, pembangunan konstruksi dengan pagu anggaran sekitar Rp 44 miliar yang dilelang pada 19 Februari 2018. Proyek tahap pertama tersebut berupa pembangunan konstruksi gedung utama hingga selesai serta pembuatan fondasi tiga gedung taman kuliner.
Baca juga: Bau Tak Sedap Lelang Cepat di Sebelah Istana (1)
Tahap kedua adalah pembangunan konstruksi lanjutan dengan pagu anggaran Rp 15 miliar dan dilelang pada 6 Juli 2018. Pada tahap kedua, dilakukan penyelesaian konstruksi tiga gedung taman kuliner. Adapun tahap ketiga adalah pekerjaan penataan lanskap dengan anggaran Rp 3 miliar yang dilelang pada 30 April 2019.
Dokumen LHP BPK tahun 2018 hanya mencakup pemeriksaan terhadap pembangunan tahap pertama dan kedua. Hal ini karena pekerjaan tahap ketiga berupa penataan lanskap baru dilelang dan dikerjakan tahun 2019.
Berdasarkan hasil review dokumen pengadaan dan pemeriksaan fisik, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 27.990.580,38.
Berdasarkan dokumen LHP tersebut, BPK menyatakan, nilai kontrak proyek pembangunan relokasi PKL Malioboro tahap pertama sebesar Rp 43.953.301.910,63. Namun, di tengah jalan, terjadi perubahan nilai proyek sehingga menjadi Rp 43.682.924.000. Seluruh nilai proyek itu telah dibayarkan pada perusahaan pelaksana proyek, yakni PT Matra Karya.
Pembayaran terakhir dilakukan pada 28 Desember 2018 sebesar Rp 6.762.151.160. Akan tetapi, berdasarkan hasil review dokumen pengadaan dan pemeriksaan fisik, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan senilai Rp 27.990.580,38.
Kekurangan itu terdapat pada pekerjaan bored pile. Bored pile merupakan salah satu jenis fondasi dalam dengan desain berbentuk tabung yang berfungsi meneruskan beban bangunan ke lapisan tanah keras.
Saat dikonfirmasi ihwal temuan itu, perwakilan PT Matra Karya—selaku pelaksana proyek tahap pertama—mengaku telah mengembalikan uang terkait temuan BPK tersebut. Staf PT Matra Karya, Lisa Heratami, mengakui adanya temuan BPK itu. Namun, dia menyebut, perusahaannya telah mengembalikan uang berkait kekurangan volume pekerjaan yang dimaksud BPK.
”Memang ada pemeriksaan dari BPK, tapi itu sudah clear, sudah dikembalikan,” kata Lisa saat ditemui di kantor PT Matra Karya di Kabupaten Bantul, DIY, Kamis (26/9/2019).
Menurut Lisa, dalam pekerjaan bored pile, wajar terjadi penyusutan pada volume beton. Penyusutan beton itulah yang kemungkinan dimaksud BPK sebagai kekurangan volume pekerjaan.
Menurut Lisa, dalam pekerjaan bored pile, wajar terjadi penyusutan pada volume beton yang digunakan. Dia menyebut, penyusutan beton itulah yang kemungkinan dimaksud BPK sebagai kekurangan volume pekerjaan. Namun, Lisa menyatakan, penyusutan beton itu tidak mengurangi kualitas pekerjaan.
”Sebenarnya kalau penyusutan di beton itu wajar, ya. Jadi mungkin penyusutan itu yang disebut kurang volume. Tapi ini tidak mengurangi kualitas,” ungkap Lisa.
Tahap kedua
Sementara itu, pada pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro tahap kedua, BPK juga mencatatkan temuan. Dalam proyek tahap kedua ini, nilai proyek dalam kontrak sebesar Rp 14.521.740.000. Namun, nilai ini kemudian menyusut menjadi Rp 14.517.080.000 setelah perubahan komponen pekerjaan.
BPK menyebut, seluruh proyek tersebut telah dibayarkan kepada perusahaan pelaksana, yakni PT Ardi Tekindo Perkasa. Pembayaran terakhir dilakukan pada 28 Desember 2018 sebesar Rp 2.899.688.000. Akan tetapi, dari hasil review dokumen pengadaan dan pemeriksaan fisik, BPK lagi-lagi menemukan kekurangan volume pekerjaan.
Menurut BPK, kekurangan volume pekerjaan pada proyek tahap kedua ini mencapai Rp 417.003.306,32. Kekurangan itu terdapat pada beberapa jenis pekerjaan, misalnya pemasangan rooster atau lubang dinding untuk menciptakan sistem sirkulasi udara yang lebih maksimal, railing atau pagar pembatas, in line duct fan atau peralatan kipas untuk ruangan, serta ducting atau saluran udara yang terbuat dari baja lapis seng.
Saat dikonfirmasi, Wakil Direktur Utama PT Ardi Tekindo Perkasa, Muhammad Lutfi Setiabudi, mengatakan, pihaknya telah mengembalikan uang terkait temuan BPK. ”Kami sudah mengembalikan uang itu,” ujarnya.
Baca juga: Sengketa Lahan Eks Bioskop Indra, Kasasi Pemda DIY Ditolak
Dugaan afiliasi
Selain masalah kekurangan volume pekerjaan, proyek pembangunan tempat relokasi PKL Malioboro tahap dua juga mendapat sorotan lain. Hal ini karena perusahaan pemenang lelang tahap dua diduga memiliki afiliasi atau keterkaitan dengan perusahaan pemenang lelang proyek tempat relokasi PKL Malioboro tahap ketiga.
Dalam lelang tahap kedua dengan pagu anggaran Rp 15,146 miliar itu, ada 33 perusahaan yang mendaftar menjadi peserta. Namun, hanya tiga perusahaan yang mengajukan harga penawaran, yakni PT Inneco Wira Sakti Hutama dengan harga penawaran Rp 12,597 miliar, PT Total Tanjung Indah yang mengajukan harga penawaran Rp 14,442 miliar, serta PT Ardi Tekindo Perkasa yang menawar dengan harga Rp 14,521 miliar.
Berdasarkan hasil evaluasi, pokja lelang memenangkan PT Ardi Tekindo Perkasa meski perusahaan itu memiliki harga penawaran tertinggi. Alasannya, dua perusahaan saingannya tidak menyertakan beberapa dokumen yang dibutuhkan. Oleh karena itu, PT Ardi Tekindo Perkasa kemudian ditetapkan sebagai pemenang dengan nilai kontrak sama persis dengan harga penawaran yang diajukan.
Sementara itu, dalam lelang tahap ketiga, Pemda DIY melelang penataan lanskap tempat relokasi PKL Malioboro dengan pagu anggaran Rp 3,066 miliar. Menurut informasi di situs Lembaga Layanan Pengadaan secara Elektronik (LPSE) Pemda DIY, ada 63 perusahaan yang mendaftar menjadi peserta lelang.
Namun, hanya CV Setiabudi Jaya Perkasa yang menyampaikan harga penawaran dalam lelang tersebut. Perusahaan itu kemudian ditetapkan sebagai pemenang dengan harga penawaran Rp 2,618 miliar.
Secara sekilas, PT Ardi Tekindo Perkasa dan CV Setiabudi Jaya Perkasa tidak memiliki kaitan. Sebab, dua perusahaan itu mempunyai alamat yang berbeda. PT Ardi Tekindo Perkasa tercatat beralamat di Jalan Gayungsari VII Nomor 12, Surabaya, Jawa Timur, sementara CV Setiabudi Jaya Perkasa beralamat di Jalan Imogiri Timur Kilometer 10, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DIY.
Meski demikian, pemeriksaan terhadap data pengurus kedua perusahaan itu memunculkan dugaan afiliasi. Hal ini karena ada satu orang yang sama-sama tercantum di dalam data pengurus kedua perusahaan tersebut.
Baca juga: Pro dan Kontra Rencana Penataan PKL Malioboro
Berdasarkan data perusahaan PT Ardi Tekindo Perkasa tertanggal 16 Januari 2018 yang diperoleh dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terdapat nama Muhammad Lutfi Setiabudi yang menjabat sebagai Wakil Direktur Utama.
Nama Lutfi juga tercantum dalam data pengurus PT Ardi Tekindo Perkasa yang ada di situs Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Berdasar informasi di situs LPJK yang diakses pada 31 Oktober 2019, Lutfi terdaftar sebagai Wakil Direktur PT Ardi Tekindo Perkasa.
Sementara itu, berdasarkan data CV Setiabudi Jaya Perkasa di situs LPJK yang diakses pada 31 Oktober 2019, nama Muhammad Lutfi Setiabudi tercatat sebagai komanditer.
Lutfi mengakui, dulu memang pernah masuk sebagai pengurus di CV Setiabudi Jaya Perkasa untuk membantu temannya yang juga pemilik perusahaan itu.
Namun, saat dikonfirmasi terkait hal itu, Lutfi membantah adanya afiliasi. Lutfi menyatakan, dirinya sudah tidak lagi menjadi pengurus di CV Setiabudi Jaya Perkasa. Lutfi mengakui, dulu memang pernah masuk sebagai pengurus di CV Setiabudi Jaya Perkasa untuk membantu temannya yang juga pemilik perusahaan itu.
Akan tetapi, Lutfi menyebut, dirinya sudah keluar dari CV Setiabudi Jaya Perkasa. Keputusan keluar itu pun sudah disahkan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) perusahaan. ”Jadi saya sudah tidak di perusahaan itu,” katanya.
Mantan ketua pokja lelang proyek tempat relokasi PKL Malioboro tahap kedua, Sugeng Iswitono, mengatakan, tidak ada pengaturan untuk memenangkan perusahaan tertentu. Sugeng menyebut, pokja tidak bisa mencegah dua perusahaan yang diduga memiliki afiliasi untuk berpartisipasi dalam lelang tahap kedua dan ketiga. Apalagi, dua perusahaan itu tidak terlibat dalam lelang di tahap yang sama.
”Di lelang tahap ketiga itu, kan, yang menawar hanya satu. Kami tidak bisa mengatur siapa saja yang menawar,” kata Sugeng, yang juga menjadi anggota pokja lelang proyek tempat relokasi PKL Malioboro tahap ketiga.
Akan tetapi, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Laits Abied menyatakan, apabila dugaan afiliasi tersebut benar, hal itu bisa menjadi indikasi adanya dugaan monopoli dalam pengerjaan proyek di DIY. Abied menyebut, masalah monopoli memang belum diatur dalam regulasi yang ketat, tetapi bukan berarti praktik tersebut bisa dibenarkan.
”Seharusnya ada aturan yang melarang praktik monopoli semacam itu karena bisa menghilangkan kesempatan pelaku usaha lain,” ungkap Abied.
(bersambung ke bagian 3)